29 C
Jakarta

Najiskah Kotoran Ayam yang Menempel pada Telor?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamNajiskah Kotoran Ayam yang Menempel pada Telor?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa tahun lalu, entah kapan tepatnya, saya melihat ayah saya mencuci telor dan bilang: kalau telornya ada najisnya, dicuci dulu supaya najisnya hilang. Dan ternyata beberapa hari lalu, ada postingan muncul di beranda -seingat saya ada dua gambar pada postingan tersebut-, yang pertama gambar kue dan yang kedua gambar telor sebanyak satu ember yang sedang dicuci di bawah kran air. Saya kira postingan tersebut sedang jualan kue, tetapi ternyata pas saya klik, pada postingan tersebut tertulis anjuran bagi para penjual kue untuk mencuci telornya terlebih dahulu sebelum mencampurkan telor ke adonan, mencucinya pun harus dengan mengalirkan air, tidak hanya direndam, alasannya kotoran ayam yang menempel pada telor adalah najis, dan jika tidak dicuci, bisa saja najis tersebut pindah dan tercampur ke adonan kue, jika kuenya tercampur dengan barang najis, otomatis kue tersebut menjadi haram dimakan, ya karena terkena najis tadi.

Lalu saya baca di kolom komentar, ternyata banyak yang menanggapi postingan tersebut. Sebagian besar setuju dengan postingan tersebut -artinya mereka menganjurkan untuk mencuci telor yang masih ada bercak kotoran ayamnya-, sedangkan sebagiannya lagi mengatakan tidak perlu dicuci atau dicuci dengan direndam saja sudah cukup, mereka yang berpendapat terakhir ini beralasan bahwa kotoran ayam tidak najis.

Nah, saya perhatikan kedua kubu tersebut memiliki “senjata” masing-masing, kelompok pertama yang menganggap najisnya kotoran ayam merasa bahwa postingan yang sedang dikomentarinya tersebut adalah “dalil” akan najisnya kotoran ayam, di sisi lain, pihak kedua tak mau kalah, sebagian dari mereka mengcopy-paste tautan yang berisi artikel yang menyatakan bahwa kotoran ayam tidak najis. Yang di sana mengutip artikel ini, dan yang sebelah sini mengutip artikel itu. Terus saja begitu, sampai saya melihat komentar-komentar tersebut menumpuk dan sampai pada kesimpulan bahwa “perselisihan” tersebut tidak ada ujungnya -setidaknya ketika saya meninggalkan perdebatan itu-.

Lalu bagaimana sebenarnya status kotoran ayam tersebut, najis atau tidak?

Biasanya untuk melihat perbedaan pendapat di antara para Ulama, saya sering merujuk kepada kitab Bidayatul Mujtahid atau Subulussalam, alasannya karena kedua kitab ini menyajikan hal tersebut dan isi keduanya singkat, padat dan jelas, juga karena kedua kitab ini pernah diajarkan oleh guru-guru kami secara mendetail, setidaknya sebagian besar isinya pernah kami dengar dan baca. Oleh karena itu, dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut saya tidak terlalu kesusahan untuk mencari dimana posisi pembahasan sebuah masalah di dalamnya. Adapun untuk masalah ini, saya mencoba mengutip al-Musu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (pada kata “najasah”), karena sebagian guru saya (hafidzohullah) senang sekali dan menyarankan untuk membaca kitab ini dan kitab al-Fiqhul Islami, berangkat dari kecintaan terhadap beliau dan ingin mengikutinya, kali ini saya akan mengutip pembahasan masalah ini di kitab tersebut:

  1. Ulama Ahli Fikih sepakat bahwa air kencing dan kotoran manusia dan hewan yang dagingnya haram dimakan (seperti cicak, singa dll) adalah najis. Dalilnya adalah hadits yang sangat terkenal yang menceritakan ada seorang A’robi (badui) yang kencing di masjid, kemudian setelah dia menyelesaikannya, Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh Shahabatnya radhiyallahu anhum untuk menyiram tempat yang dikencinginya tadi.
  1. Ulama Ahli Fikih berbeda pendapat mengenai air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya (termasuk ayam), apakah dihukumi najis atau tidak:
BACA JUGA  Hukum Non Muslim Masuk Masjid

A. Tidak Najis

Pengikut madzhab Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Muhammad (santri Imam Abu Hanifah) dan lainnya berpendapat bahwa kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya (termasuk ayam) adalah suci atau tidak najis, baik ketika hewan tersebut masih hidup atau setelah disembelih. Tentu saja mereka memiliki dasar atas pendapatnya, ada pun dalil yang mereka gunakan di antaranya adalah hadits shahih yang menceritakan tentang perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Uroniyyin (sekelompok orang) untuk meminum air kencing dan susu unta. Kalau saja air kencing unta (hewan yang bisa atau halal dimakan dagingnya) adalah najis, maka beliau tidak akan menyuruh mereka meminumnya.

Pendapat ini biasanya dipraktikkan di negara Sudan, Saudi Arabia dan lainnya.

B. Najis

Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf -santri Imam Abu Hanifah- (pendapat mereka berdua banyak perinciannya, tetapi secara garis besar, mereka menganggapnya najis) dan Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan kotoran hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah najis. Ada pun di antara dalil yang digunakan oleh mereka adalah hadits shahih yang menceritakan bahwa ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam hendak istijmar (bersuci setelah buang hajat dengan tidak menggunakan air) beliau diberikan dua buah batu dan kotoran hewan ternak (seperti sapi, unta dan semisalnya) yang sudah kering, beliau shallallahu alaihi wasallam hanya mengambil dua batu tersebut dan tidak menerima kotoran yang kering tadi, lalu beliau bersabda: “Ini najis”. Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa kotoran dan air kencing hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah najis.

Pendapat ini dipakai di negara yang (mayoritas) mengikuti Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i, seperti di Indonesia, Yaman dan lainnya.

Kesimpulan:

Ada dua pendapat yang berbeda mengenai hal ini; ada yang mengatakan kotoran ayam dihukumi najis, ada pula yang mengatakan tidak najis.

Jalan keluar:

Para Ulama menyampaikan bahwa keluar dari perselisihan adalah hal yang disukai. Maksudnya, baik mau ikut pendapat yang mengatakan najis atau pendapat yang mengatakan tidak najis, sebaiknya dicuci dulu telornya, karena bagi orang yang mengikuti pendapat “tidak najis” kan tidak ada masalah jika telornya dicuci terlebih dahulu, dan bagi yang mengatakan “najis” memang seharusnya dia mencuci telor (yang terkena najis) tadi.

Intinya, kalau telornya dicuci terlebih dulu sebelum digunakan, kedua kelompok tadi merasa aman. Sedangkan kalau tidak dicuci (padahal ada kotoran ayamnya), maka kue yang (jika) terkena kotoran ayam saat proses pengolahannya dianggap (terkena) najis oleh salah satu dari kedua kelompok tadi.

Ustad Saeful Rohman

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru