26.6 C
Jakarta

Metode Dakwah yang Diajarkan Al-Qur’an

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anMetode Dakwah yang Diajarkan Al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dakwah merupakan salah satu bagian dari bangunan islam, sebagaimana islam jika tidak didakwahkan maka tidak akan tersebar hingga kesluruh antero dunia. Islam yang saat ini kita nikmati adalah hasil dakwah dari para Nabi dan Rasul yang kemudian diteruskan oleh para Sahabat dan Ulama. Ulama sepakat bahwa tujuan adanya dakwah adalah selain untuk mengenalkan islam juga untuk mengajak manusia menuju jalan yang lebih baik guna mendapatkan ridha dari Allah. (Halim, 1995: 29)

Seluruh umat Muslim tentu mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan pendakwah yang sukses memperkenalkan islam kepada seluruh antero dunia. Tentu hal itu menjadi sebuah pertanyaan terkait bagaimana Nabi dalam mendakwahkan islam sehingga Islam benar-benar bisa diterima oleh berbagai kalangan pada masa itu. (Baidowi, 2014: 31)

Benar bahwa nabi merupakan al-Qur’an berjalan, sebagaimana dalam sebuah hadis yang menyatakan Kāna khulūquhu al-Qur’ān. Hadis tersebut menjelaskan bahwa segala sesutu yang terdapat dalam al-Qur’an pasti melekat pada diri Nabi. Maka berangkat dari asumsi tersebut penulis akan memaparkan metode dakwah yang diajarkan oleh al-Qur’an yang tentu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebelum masuk pada pemabahas pokok tertkait metode dakwah yang diajarkan al-Qur’an, akan lebih baik jika mengetahuai makna dakwah secara konprehensif, dakwah pada dasarnya merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Da’wah, yaitu bentukan asal kata dari دعا – يدعو – دعوة yang berarti “menyeru, memanggil, mengundang atau meminta tolong” (Munawwir, 1997: 406-407). sedangkan term Da’wah dalam al-Qur’an bisa berarti, berdo’a (meminta), seperti dalam firman Allah ادعني استجب لكم (memintalah kepadaku maka akan aku kabulkan untuk kalian), namun ada juga dengan artian menyeru, contohnya ادع الى سبيل ربك بالحكمة… (menyerulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah).

Berdasarkan beberap term Da’wah diatas, penulis hanya akan menjelaskan Da’wah yang diartikan sebagai “seruan” atau yang disebut dalam bahasa Indonesia sebagai Dakwah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Definisi dakwah secara umum adalah seruan atau ajakan kepada umat manusia agar mengenal islam dan mengetahui segala hal yang berkaitan dengan keislaman dengan harapan dapat menunjukan kepada umat manusia menuju jalan yang benar dan diridhai oleh Allah. (Rahmat, 2015: 31)

Setelah mengetahui definisi dakwah, selanjutnya adalah bagian pokok dari pembahasan, yaitu bagaimana al-Qur’an dalam mengajarkan metode dakwah. Berangkat dari sebuah ayat yang sudah sedikit disinggung pada bagian sebelumnya yaitu Q.S al-Naḥl [16]: 125. Firman Allah:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dengan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

Dari ayat ayat tersebut setidaknya terdapat 3 pokok pembahasan terkait metode dakwah, yaitu, ḥikmah, al-Mau’idzoh al-ḥasanah dan al-jidāl.

Pertama, al-ḥikmah. Sebagian mufassir memaknai kata ḥikmah pada ayat tersebut sebagai ḥujjah atau dalil, adapun dalil yang dimaksud adalah dalil yang bersifat rasional, yaitu ḥujjah atau dalil yang tertuju pada akal. Dalam kata lain ḥikmah, argumentasi yang masuk akal dan tidak dibantah kebenarannya. Sehingga dengan argumentasi yang masuk akal inilah dapat mempengaruhi pikiran manusia. Sebab manusia dalam menangkap segala fenomena tentu tidak pernah meninggalkan peran akal. (Baidowi, 2014: 38)

Kedua, al-mau’idzah al-ḥasanah, sebagaian mufassir memaknainya sebagai seruan-seruan yang baik dan memberikan manfa’at. Namun tidak hanya itu, al-Mau’idzah al-Ḥasanah, juga dimakanai sebagai seruan atau peringatan yang baik sehingga dapat mempengaruhi perasaan manusia tatkala akal mereka diseru dan mempengaruhi pikiran mereka tatkala perasaanya diseru. (Baidowi, 2014: 39)

Dengan demikian, seruan tidak hanya diterima oleh akal manusia, akan tetapi masuk dalam hati dan dapat diresapi sehingga mampu menggerakan jiwa manusia kepada kebeneran yang didakwahkan.
Ketiga, jidāl bi al-latī hiya aḥsan. Sebagaian mufassir menafsirkan kata tersebut dengan “debat”, debat disini dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat, dengan kata lain jidāl bi al-latī hiya aḥsan merupakan sebuah upaya dalam membela keyakinan yang benar dan tanpa menghinakan atau mencelakan lawan debat akan tetapi berusaha meyakinkan untuk sampai kepada kebenaran. (Baidowi, 2014: 40)

Berdasarkan beberapa ulasan diatas, tiga metode dakwah yang diajarkan oleh Al-Qur’an alm Q.S al-Naḥl [16]: 125, yakni al-ḥikmah, al-mau’idzah al-ḥasanah, jidāl bi al-latī hiya aḥsan tidak ada yang menyebutkan bahwa dakwah haruslah dengan kekerasan dan paksaan.

Tiga metode tersebut sekaligus mengajarkan bahwa dalam berdakwah harus dengan jalan perdamaian dan kesantunan. Disamping itu juga dakwah yang sesuai dalam ayat tersebut adalah dakwah yang tidak saja diterima akal dan argumentasinya benar, melainkan dakwah juga harus dapat diresapi dan nikmati oleh hati umat manusia. Sehingga manusia benar-benar tergerak dari lubuk hati yang terdalam untuk menuju kebenaran, bukan karena ketakutan, paksaan, atau bahkan intimidasi.

Latif Sulton, M.A
Latif Sulton, M.A
Pegiat Kajian Islam dan Politik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru