27.3 C
Jakarta

Menulis dengan Cinta (Bagian XXXIX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenulis dengan Cinta (Bagian XXXIX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Basecamp Caffe. Tempat Diva menulis dan menghindar dari segala bentuk keramaian ibu kota. Kebiasaan di pesantren ngobrol di kafe menjadi kebiasaan berkelanjutan saat lama berada di Jakarta. Diva menatap laptop yang menyala. Seakan ide yang terngiang dalam benaknya siap ditumpahkan dalam deretan kata yang indah.

Menulis, bagi Diva, sudah menjadi passion, hobi yang menghasilkan. Menulis adalah cara terbaik mengabadikan hidup di tengah kerasnya kehidupan ibu kota. Dari situlah pundi-pundi dapat Diva tabung setiap ia menulis. Selain mendapat biaya hidup dari beasiswa, Diva mengantongi uang dari menulis. Seakan terasa berharga menjadi penulis: selain dapat berbagi kepada semesta, juga dapat honor.

Masih ingat kebiasaan menulis di pesantren yang selalu membuat Diva termotivasi. Mendapat honor dari menulis, kendati tidak seberapa, terasa berkesan banget, bahkan saking bahagianya honor yang dikirim redaksi media tidak diapa-apain, tapi disimpan. Kalau ditanya selama menulis dapat apa, kertas uang honor menulis itu dapat dipamerkan. Aneh plus lucu, bukan?

Honor menulis membuat Diva bisa hidup mandiri di tanah rantau. Diva sadar, hidup tidak selamanya bergantung kepada orangtua. Alasannya sederhana, takut merepotkan Abah dan Ummi. Mungkin, dengan kemandirian ini Diva dapat membahagiakan mereka. Inginnya, Diva tidak meminta, tapi memberi.

Perkembangan zaman mengubah cara berpikir banyak santri di pesantren. Bahwa yang disebut tulisan bagus tidak selamanya dimuat di media cetak, seperti koran atau majalah. Media tulis-menulis kini sudah banyak bertebaran di media online berbentuk laman website. Laman ini dapat dikunjungi oleh siapa saja di penjuru dunia, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kata demi kata dijahit menjadi kalimat yang bermakna, lalu selesai menjadi sebuah tulisan yang lengkap dengan judul dan nama penulisnya. Setelah melewati tahap first-draft (draf awal) diikuti dengan tahap editing (penyuntingan), naskah itu siap dikirimkan ke sebuah media. Harakatuna, salah satu dari sekian media online di mana Diva menulis seban hari tentang isu-isu keislaman dan kebangsaan. Tulisan Diva biasanya mengkritik kelompok radikalis yang banyak bertebaran di tengah-tengah masyarakat.

Topik Islam yang dibahas dalam tulisan Diva sungguh mencuri perhatian pembaca. Diva menulisnya:

Islam akhir-akhir ini dikenal sebagai nama agama yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Searah dengan akar katanya Salam yang berarti “kesejahteraan” dan “keselamatan”, Islam harus menjadi agama yang dapat menyejahterakan dan menyelamatkan manusia, bukan menjadi agama yang membuat persatuan terpecah, menjadikan pertumpahan darah, dan menindas kaum yang lemah.

Berhenti sejenak. Membiarkan tombol keyboard tak disentuh jari-jemarinya. Tak lama gagasan tentang Islam kembali dilanjutkan.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Banyak kelompok yang getol mengatasnamakan Islam untuk berbuat kekerasan. Di Suriah ada ISIS. Islam garis keras ini merambah di Indonesia. Salah satu yang diperjuangkan oleh kelompok ini adalah pendirian Daulah Islamiyyah (Negara Islam) dengan menggunakan sistem Khilafah. Negara yang menggunakan sistem selain itu disebut dengan negara kafir, sehingga wajib diperangi dan halal darahnya.

Menulis tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Penulis membutuhkan ide yang menarik untuk dihidangkan dalam deretan kalimat yang memukau. Penulis harus banyak membaca tulisan orang lain. Karena, kata Hernowo, “Penulis yang baik adalah pembaca yang baik”. Membaca bisa membaca buku atau bisa juga membaca realitas.

Sayup diskusi dan obrolon pengunjung kafe mencipta alunan ritme yang mampu menghapus kesunyian dan menghadirkan gagasan-gagasan menarik dalam benak Diva. Diva duduk seorang diri. Hanya ditemani laptop, buku, dan juz buah kesukaannya. Menulis memang butuh kesendirian. Karena, deretan kalimat akan terkesan indah saat ditulis dengan hati, sehingga tulisan itu nanti sampai di hati juga. Menulis dengan hati biasanya membutuhkan kefokusan. Mungkin, lewat kesendirian itu Diva lebih fokus menulis.

Karena itu, ciptakan Islam yang ramah, menyejukkan, bahkan menyenangkan. Islam agama yang membenci kekerasan, karena Islam agama yang mencintai perdamaian. Bersyukurlah menjadi muslim, karena muslim itu sosok yang disenangi dengan membawa perdamaian dan generasi yang dirindukan dengan menggenggam kesejahteraan.

Selesailah satu tulisan yang tak begitu panjang. Laptop yang ditatapnya masih nyala. Memandangi suasana kafe yang dikerubuni pengunjung yang sedang asik dengan teman yang duduk berdekatan di samping dan di depannya. Basecamp Caffe yang berada di lantai dua menghadirkan suasana yang berbeda. Seakan udara malam menyapa dengan keramahan.

Sendiri. Satu kata yang Diva rasakan malam itu. Keramaian orang di sekelilingnya tiba-tiba mengubah menjadi kesunyian. Hanya menulis yang dapat mengubah kesunyian menjadi keramaian dalam hidup Diva.

Begitulah kehidupan. Tidak selamanya kesedihan akan menutup pintu kebahagian. Tidak selamanya kesendirian akan mengakhiri kebersamaan. Tuhan pemilik kasih. Kasih-Nya terbentang luas di tengah semesta. Tuhan selalu tahu kapan menghadirkan kebahagiaan kepada makhluk-Nya. Bahagia itu bukan soal seberapa sering tidak sendiri, namun seberapa banyak bersyukur. Bersyukur adalah cara mengetuk pintu kebahagiaan. Percayalah!

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru