25.7 C
Jakarta

Mengapa HTI Jarang Mengutip Pendapat Taqiyyuddin An-Nabhani?

Artikel Trending

Milenial IslamMengapa HTI Jarang Mengutip Pendapat Taqiyyuddin An-Nabhani?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah saya menulis Penipuan-penipuan HTI dalam Film Jejak Khilafah, sementara masyarakat menyadari, selama ini mereka telah menjadi sasaran manipulasi sejarah para aktivis HTI. Tidak sedikit yang mulai memahami, bahwa segala cara dilakukan untuk menegakkan khilafah di Indonesia bukanlah wacana adu domba belaka. Spirit mengkhilafahkan Nusantara, tentu yang dimaksud ialah khilafah ala HT-nya Taqiyyuddin An-Nabhani, benar-benar ada, dan pelakunya ialah para maniak khilafah Nusantara.

Ternyata, yang sudah saya ulas, pada tulisan sebelumnya itu, tidak menyeluruh. Beberapa penipuan-penipuan HTI yang lainnya terlewatkan. Memang, yang namanya siasat, sifatnya dinamis. Bisa jadi yang dilakukan hari ini, besok tidak lagi dipakai. Boleh jadi sarana, taktik, dan intriknya berbeda. Demikian karena siasat itu hanyalah jalan, bukan tujuan. Selama tujuan belum tercapai, maka segala jalan dibuka lebar-lebar. Satu penipuan dibongkar, jangan-jangan justru kita terperangkap ke dalam kubangan tipuan yang lainnya. Mungkin.

Misalnya, kita mengkritik film Jejak Khilafah garapan mereka, bahkan sebelum film tersebut tayang. Launchingnya dilakukan jauh hari sebelum pemutaran. Tidak menutup kemungkinan, itu dilakukan untuk mengetahui respons kita, yang jika mengkritik, nanti dituduhnya fobia Islam. Kendati jumhur ulama sudah jelas-jelas menolak gagasan khilafah ala Hizbut Tahrir, mereka tidak bergeming, dan kukuh mengatasnamakan diri sebagai penegak kejayaan Islam.

Itu masuk pada persoalan Taqiyuddin an-Nabhani, pendirinya, yang tidak pernah dikutip oleh para pengusung khilafah itu sendiri. Dari situ kita melihat, terjadi manipulasi identitas, di mana yang mulanya murni pergolakan politik, karena banyak yang mengetahui kedoknya kemudian diislam-islamkan. Al-Mawardi, Al-Ghazali, Az-Zuhaili, hingga Peter Carey pun dicatut seolah-olah membenarkan agenda mereka. Itu semua tidak terjadi, kalau bukan karena kesadaran mereka bahwa tokoh mereka sendiri, seperti An-Nabhani, atau yang lokal seperti Ismail Yusanto dan Felix Siauw, tidak otoritatif sama sekali.

Kedok dusta para maniak khilafah Nusantara itu yang perlu dikuliti. Umat perlu tahu, saya sama sekali tidak ada tujuan provokasi. Yang seharusnya diulas, membiarkannya hanya merugikan semuanya. Saya tidak memiliki kepentingan dengan Felix, apalagi berniat merugikannya. Tetapi, arus narasi khilafah sangat kuat dan, bisa jadi, nanti, khilafah Nusantara yang diinginkan itu terbentuk. Karenanya, menguliti di sini tidak berorientasi negatif. Siasat buruk harus dibuka, agar masyarakat terhindar kemudaratannya.

HTI Bubar, Aktivisnya Berjaya

Penting untuk dicatat, saat ini, di Facebook, fanspage ‘Jejak Khilafah Nusantara’ sudah dibuat. Jika yang lalu, kita melihat poster yang mencatut nama Peter Carey, baru-baru ini beredar poster quote Rokhmat S Labib—semua orang tahu siapa dirinya—dengan klaim diri sebagai Ulama Aswaja. Kita juga tidak asing ketika poster kajian mereka memberi label Ismail Yusanto sebagai ulama, Felix Siauw sebagai pemerhati Islam, dll, di samping bermain gelar-gelar akademik, demi membuat masyarakat percaya.

Main-main gelar akademik, main-main label keulamaan, tampak menjadi siasat baru para pendukung khilafah Nusantara. Label sebagai ‘ulama HTI’, atau mengutip pendapat ‘menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani’, itu tidak pernah terdengar dari aktivitas mereka. Bukankah ketidakberanian mereka untuk jujur jelas menunjukkan ada agenda yang disembunyikannya? Menyembunyikan identitas ialah trik menutupi kedok buruk, memanfaatkan orang lain demi tujuan tidak baik mereka.

BACA JUGA  Cara Jitu Menangani HTI dan Gerakan Bawah Tanah Khilafahers

Harus kita sebut ini sebagai fenomena kejayaan para aktivis HTI di sela-sela pembubaran organisasinya. Mereka memiliki militansi yang tinggi. Alih-alih berhenti menyiarkan khilafah, justru semakin berani. Karena selain bergerak di bawah tanah, mereka seakan-akan punya invisible hands yang dapat memuluskan setiap gerak-geriknya. Tak ada tindakan tegas pemerintah. Entah karena sibuk permasalahan negara yang lainnya atau apa, yang jelas maniak khilafah Nusantara semakin berjaya.

Mereka berjaya, karena sering dicaci. Semakin mantap melakukan indoktrinasi dan intrik licik, karena menemukan ruang gerak yang absen dari tindakan pencegahan. Jika demikian, HTI bubar atau tidak itu sama saja. Sebab, toh para aktivisnya tetap leluasa. Sejauh ini memang mereka belum menciptkan perubahan signifikan, dalam konteks politik kekuasaan. Artinya, belum mencapai tujuan politiknya. Namun, jumlah pengikutnya kiat bertambah. Pada saatnya nanti, gerakan mereka adalah raksasa.

Dusta demi dusta dilakukan, tipu menipu menjadi kebiasaan. Memelintir masalah, memfitnah ulama, mendelegitimasi pemerintah, dan mengkultuskan diri merupakan serangkaian kedustaan yang bisa jadi tidak punya titik ujung, hingga khilafah Nusantara yang diimpikan terwujud. Bagaimana mereka memanipulasi sejarah kerajaan Islam Jawa, Ternate, dll di masa lalu diproyeksikan untuk membingungkan umat yang berakhir pada pembelaan terhadap mereka. Hari ini, umat mulai bertanya-tanya penuh sangsi, “Jangan-jangan benar apa yang dikatakan mereka bahwa kerajaan Islam Jawa dll itu menganut sistem khilafah?”

Khilafah Nusantara dalam Sorotan

Objek kedok dusta para maniak khilafah Nusantara ialah sejarah Nusantara itu sendiri. Bertolak dari premis bahwa Islam jaya di bawah khilafah Turki Utsmani, premis ditarik lebih jauh bahwa peradaban Nusantara itu maju, di zaman para raja masa lalu. Oleh karena ada kemiripan sistem pemerintahan dengan Turki Utsmani, maka dibuatlah sandiwara seolah-olah Nusantara memiliki jejak khilafah yang membuat jaya peradaban mereka.

Situasi absurd-dilematis ini, di mana satu sisi mereka berusaha me-Nusantara-kan khilafah ala HTI, dan di sisi lainnya anti dengan kebudayaan Nusantara, semakin memperjelas benang kusut propaganda mereka. Selama ini, para aktivis khilafah menganggap kebudayaan Nusantara sebagai bid’ah, juga menolak gagasan Islam Nusantara. Giliran tentang politik monarki Nusantara, mereka berada di garis terdepan sembari menyumbat fakta sejarah Nusantara yang sebenarnya. Sampai kapan kedok dusta mereka ini berhenti? Sekali lagi, tidak akan, sampai tujuan mereka benar-benar tercapai.

Oleh karena itu, tugas kita bukan mengafirkan para maniak khilafah Nusantara itu, karena bagaimanapun mereka masih saudara setanah air kita. Yang harus diantipati ialah pergerakan politiknya, wajib ditentang dan dilawan karena menyangkut kemaslahatan masyarakat secara umum. Umat harus sadar dari lamunan: Islam di masa lalu berjaya tidak melulu karena unggul secara politik, dan Nusantara bukan ladang Turki Utsmani.

Kalau pun dahulu sistem monarki dipakai raja-raja Islam Jawa, itu sama sekali bukanlah khilafah ala HTI—khilafah yang murni lahir sebagai perlawanan atas pemerintahan yang sah. Itu semua, tanpa pengecualian sedikit pun, adalah akal-akalan para maniak khilafah Nusantara saja. Kelak, kalau kedok tersebut sukses, dan agenda mengkhilafahkan Indonesia itu terwujud, maka bukan Islam yang jaya; mereka dan para koloninya yang akan berjaya. Islam, bagi mereka, hanya kendaraan belaka. Tidak lebih.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru