29 C
Jakarta

Menghapus Kurikulum Sejarah untuk Memberangus Propaganda Sejarah ala HTI

Artikel Trending

EditorialMenghapus Kurikulum Sejarah untuk Memberangus Propaganda Sejarah ala HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ibarat sejoli hiperseksual, para aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah sange untuk mendirikan khilafah. Apa pun akan dilakukan untuk menggaet massa. Apa pun akan ditempuh untuk membuat mereka percaya. Al-Qur’an dimaknai sembarang. Hadis dipahami sesuai nafsunya. Dan qaul-qaul para ulama dipelintir sedemikian rupa. Dai bodoh seperti Felix Siauw dipuja, dan ulama sekaliber Quraish Shihab dicerca. Ironisnya, umat mau saja dibohongi: berkomplot dengan para pembuat propaganda.

Kita sudah mengulas mereka, kelicikan dan siasat buruknya, dalam narasi yang panjang sekali. Selama itu pula, mereka belum juga sirna. Alih-alih sadar akan kesalahan, justru mereka menganggap para penentangnya sebagai sekutu setan—thaghut. Belum lupa, kan, dengan polemik film dokumenter manipulatif Jejak Khilafah di Nusantara beberapa minggu yang lalu? Itulah manipulasi sejarah paling halus, tapi barbar, tentang sejarah raja-raja Nusantara. Sampai kini, manipulasi terus berlanjut.

Bermula dari rencana prototyping Kemendikbud pada 2021 di Sekolah Penggerak, bukan dalam skala nasional, misalnya tentang penyederhanaan kurikulum. Tetapi, Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan bahwa penyederhanaan tersebut tidak akan dilakukan hingga 2022. Ternyata yang beredar di masyarakat adalah wacana penghapusan mata pelajaran sejarah. Bahkan tersiar rumor, bahwa rezim saat ini berusaha menghapus sejarah kekejaman PKI dan sejarah kejayaan khilafah di Nusantara.

Kepada kita, disuguhkan video berdurasi 9:20, yang kini sudah ditonton 6.000 kali, di kanal YouTube Muslimah Media Center, berjudul “Mendikbud Revisi Sejarah, Ini Kurikulum Sejarah dalam Khilafah” pada Selasa (22/9) kemarin. Tidak ada yang tahu pasti, siapa sang pemilik kanal tersebut. Tetapi melihat narasinya, itu jelas HTI sang maniak khilafah. Ini mengindikasikan bahwa propaganda mereka semakin masif, dan identitasnya disembunyikan. Mereka ingin mengadu domba, ibarat lempar batu sembunyi tangan. Jelas, setiap langkah mereka adalah langkah penuh intrik jahat dan kepalsuan.

Kurikulum Sejarah Palsu

Dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga SLTP-SLTA, kurikulum sejarah sudah lengkap dan penerapannya selalu sesuai kebijakan sekolah itu sendiri. Di sekolah negeri, umumnya, sejarah yang diajarkan adalah sejarah Nusantara dan pluralitasnya. Kita diajari tentang para raja pra-kolonial, diajari bagaimana kejamnya kolonial sehingga anak-anak tidak asing dengan istilah ‘Romusha’. Kita diajari tentang situs agama-agama di Indonesia, sehingga jiwa kemajemukan kita mendarah-daging.

Sejauh itu, sejarah adalah pelajaran yang positif. Muaranya ialah mencetak generasi berprinsip Bhinneka Tunggal Ika. Sampai tiba di jenjang SLTP-SLTA, terutama di sekolah swasta, kita diajari tentang sejarah kebudayaan Islam. Umumnya yang di-framing adalah era keemasan Islam, dengan mengesampingkan seluruh pernak-pernik intrik politik yang menyertainya. Kita tahu perihal jasa Abdul Malik bin Marwan,  umpama ya, tetapi kita dibuat tidak tahu tentang jejak hitam selama masa pemerintahannya.

Kurikulum sejarah yang ada di sekolah-sekolah tidak sebening kelihatannya, ketika sejarah yang dimaksud adalah sejarah keislaman. Kita memang tidak masalah bernostalgia tentang kejayaan Islam di masa lalu, tetapi itu hanya akan meninabobokan jika tanpa disertai hasrat untuk meraih kembali. Atau disertai hasrat Renaissans Islam, tetapi hanya tahu bahwa Islam maju karena superioritas politiknya. Sebab, Islam dulu maju karena keilmuannya. Para cendekiawan lahir dari berbagai negara, dan inklusivisme beragama menjadi tatanan hidup. Tidak seperti sekarang yang hanya ngebet khilafah terus.

BACA JUGA  Deteksi Teroris Menjelang Pemilu 2024

Kurikulum sejarah palsu, secara tolok ukur, bukanlah lantaran invaliditasnya, melainkan pemelintiran terhadap validitas itu sendiri. Mata pelajaran sejarah rawan untuk dimanfaatkan oleh pendidik yang berafiliasi dengan HTI. Buktinya, hanya karena wacana penyederhanaan kurikulum, mereka sangat reaktif, seolah diganggu teritorialnya. Rezim pun dianggap sengaja melakukan itu agar rakyat buta sejarah. Kata mereka, khilafah mesti ditegakkan, bukan malah dihapus dari kurikulum.

Sekali memelintir isu, maka yang dipojokkan pasti pemerintah. Ada kasus ini, pasti menyalahkan Jokowi. Ada kasus itu, pasti menyalahkan  pemerintah. Bahkan kabar miring yang sudah diklarifikasi oleh Nadiem Makarim sendiri itu tidak mempan. Pokoknya rezim dianggap sengaja ingin mengaburkan masyarakat Indonesia dari pengetahuan sejarah. Penghapusan ini sengaja, agar fakta khilafah Nusantara tidak umat kenang. Apakah dengan demikian, para aktivis HTI itu memang tidak pernah jera bikin propaganda?

HTI Nonstop Propaganda

Bahwa kita sejarah itu memiliki kedudukan yang teramat penting, adalah fakta yang tidak bisa dipertentangkan. Kita memerlukan fakta sejarah, agar tahu apa yang harus dilakukan. Kita juga bisa menambah spirit kebhinnekaan, misalnya, dengan berkunjung ke Museum Pahlawan, melihat langsung sisa-sisa senjata yang dulu digunakan perang. Itu penting. Tetapi dengan demikian, yang penting bukan tragedi sejarah itu sendiri, melainkan nilai yang dikandungnya.

Sejarah mengandung nilai sosial, itulah sebabnya kita bisa belajar pluraltas darinya. Sampai di sini maka menjadi tidak salah, misalkan kurikulum sejarah disatukan dengan pelajaran ilmu sosial. Tragedi sejarah sendiri justru bertendensi menghadirkan perasaan traumatis tentang masa lalu, sehingga seringkali ia dimanfaatkan untuk mengingatkan kembali kebencian yang pernah ada. Misalnya, kita menonton film G30S PKI, yang sepekan lagi ramai pemutarannya, bahkan diputar massal oleh PA 212.

Apa yang hadir dalam memori kolektif ketika mengingat tragedi pembantaian tersebut? Kebencian mendalam kepada PKI. Kebencian tersebut hingga kini tidak sembuh, sehingga umat Islam sensitif sekali dengan wacana komunisme. Sayangnya, sensitivitas tadi dimanfaatkan oleh segelintir umat Islam yang memiliki kepentingan politik: pemerintah yang berkuasa ditengarai keturunan komunis sehingga masyarakat membencinya. Apakah itu yang penting dari sejarah? Bukan. Itu palsu. Manipulatif.

Kita tak lagi membenci komunisme, melainkan membenci personal terhadap semua orang yang dituduh komunis bahkan dengan bukti yang tidak jelas. Begitu pula dengan khilafah ala HTI. Apakah dengan menonton film dokumenter palsu garapan Nicko Pandawa, Ismail Yusanto, Felix Siauw itu spirit kejayaan muncul? Tidak. Yang muncul adalah kebencian kepada pemerintah saat ini yang dianggapnya thaghut karena tidak menerapkan sistem pemerintahan seperti dalam film.

Itulah alasan kenapa menghapus kurikulum sejarah itu penting, bahkan kita harus mendukung bila Kemendikbud kemudian ingin menyatukannya dengan ilmu sosial. Itu bukan disebut reduksi, melainkan menghindari kemungkinan terburuk penyalahgunaan sejarah oleh iblis-iblis HTI yang bertebaran di Indonesia. Bukan sejarahnya yang mau dihapus, toh nilai sejarahnya diajarkan melalui ilmu sosial. Kebhinekaan tetap diajarkan, dan yang mesti diberangus adalah propaganda terhadap sejarah itu sendiri. Kita harus belajar dari sejarah juga, bahwa iblis HTI memang harus dibenci untuk selamanya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru