29.7 C
Jakarta
Array

Mengesampingkan Sikap Emosional dalam Beragama

Artikel Trending

Mengesampingkan Sikap Emosional dalam Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selama ini, sejak awal perkembangan pemikiran dan pengetahuannya, Islam sangat lekat dengan budaya dan kultur teks. Apa-apa selalu dikaitkan dengan dalil dan ta’bir. Bahkan sampai sekarang dalam hal pemecahan berbagai masalah sehari-hari utamanya dalam hal ibadah umat Islam akan selalu mengacu pada teks utama yaitu al-Quran dan Hadis. Tidak hanya itu, dalam forum-forum dan kebiasaan diskusi, bila tanpa adanya landasan berupa dalil, maka kemungkinan besar pendapat itu tidak akan diterima meski sebenarnya masuk akal.

Hal ini bukan tanpa alasan, sebab secara fundamental, ajaran dan pokok-pokok nilai Islam berasal dari sebuah kitab suci yang dianggap sudah menjadi panutan seluruh umat sampai akhir zaman. Apapun dan kapanpun acuannya kalau tidak al-Quran ya Hadis. Tanpa bermaksud keberatan atau apapun, akan tetapi ketergantungan umat islam atas menyerahkan segala persoalan terhadap teks-teks kegamaan tanpa dibendung oleh lapisan etika serta toleransi, bisa saja akan membawa kita pada watak dan sikap keberagamaan yang emosional, tempramental, mudah tersinggung, dan kaku. Bahkan Amin Abdullah mengungkapkannya dengan istilah sektarian-primordialistik, artinya akan mudah melontarkan tuduhan murtad, bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya kepada orang yang tidak sepaham, sealiran, atau bahkan bukan semadzhab.

Hal ini bukan lagi hanya sebagai argumen dalam pikiran semata melihat sudah banyak timbul percikan atau bahkan goncangan kecil pada tubuh Islam sendiri. Munculnya kelompok-kelompok orang seperti yang dikhawatirkan tadi adalah nyata dan tidak hanya memunculkan sikap dalam bentuk verbal saja, tindakan-tindakan yang berbentuk fisik pun terasa sangatlah keras dan sangat provokatif sehingga berpotensi dapat memecah belah umat dalam skala yang sangat besar. Bahkan peperangan internasional pun muncul tak terelakan.

Rentetan perselisihan tadi secara akar masalah dapat dikatakan muncul sebab sikap konservatisme dan keeksklusifan pemahaman pada sejumlah orang dan kelompok. Tidak hanya penolakan atas golongan yang berbeda pendapat saja, bahkan mereka seolah menolak dan tidak mau menerima inovasi serta hal-hal baru yang banyak muncul setelah perkembangan zaman. Alasan yang paling mudah ditebak adalah karena menurut mereka hal itu tidak sesuai dengan al-Quran sebagai dasar pokok Islam.

Perlu kita sadari lagi, bahwa jargon-jargon destruktif yang biasa kita dengar dari penghujung abad pertengahan bahwa pintu ijtihad sudah ditutup akan sangat mengerdilkan potensi dan ghirah kemajuan pada generasi Islam sendiri. Sebab bagaimana pun meski memang banyaknya madzhab dan aliran diakui dalam Islam, namun efek selanjutnya hal tersebut akan berimbas pada pembedaan golongan secara sosial-politik. Maka yang terjadi adalah yang tidak semadzhab dan sepemahaman akan dianggap sebagai lawan. Ya, lawan untuk saling mengklaim siapa yang paling benar. Umat Islam pun terkotak-kotak dan tak bisa bersatu membangun peradaban.

Bukan lantas tidak menyetujui adanya banyak madzhab, namun lebih dari hal itu, kita juga perlu memberi batas etika sosial terhadap diri kita sendiri. Bahwa bagaimanapun dan apapun madzhabnya, kita masih sama tetap dalam satu nama agama, yaitu agama Islam. Satu spirit dan sama landasan, yaitu hadis dan al-Quran.

Selain menerapkan etika sosial berkelompok seperti toleransi, para ulama terdahulu juga telah merumuskan berbagai konsep perumusan hukum-hukum dalam Islam. Bahwa selain dikenal ijtihad dalam rangka merumuskan hukum (ijtihad istinbathi) ada juga ijtihad yang merumuskan tata cara penerapan hukum dalam konteks lingkungan tertentu (ijtihad tathbiqi).

Bahwa hasil ijtihad istinbathi dilihat dari kashahihan dan korelasinya dengan dalil-dalil pokok sementar hasil ijtihad tathbiqi dilihat dari seberapa bermanfaatnya penerapan hukum di lapangan. Dengan kata lain mafsadat dan maslahat menjadi tolak ukur atas baik dan tidaknya hasil ijtihad tathbiqi tadi. Sebab bagaimanapun pembebanan hukum terhadap para mukallaf tetaplah bertujuan untuk tercapainya kemaslahatan umat manusia. Bisa jadi hukum tertentu berlaku di suatu daerah tapi tidak di tempat lain.

Maka dari itu, selain para mujtahid diharuskan agar dapat menguasai dan memahami dalil-dalil Islam seutuhnya untuk merumuskan hukum, mereka juga hendaknya dapat mengerti akan realitas dan konteks lapangan yang akan menjadi objek penerapan hukum tadi. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan dapat menjadi aturan yang membawa maslahat bagi seluruh umat manusia. Lebih jauh lagi, bila maslahat dalam kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya sudah terpenuhi, maka gairah untuk mengembangkan serta memajukan peradaban akan tumbuh dengan sendirinya.

Bila hal ini terus digelorakan dan dikorelasikan, artinya ada hubungan timbal balik yang konstruktif antara hukum dan perkembangan zaman serta dapat diterapkan secara intens dalam internal umat Islam maka bisa saja agama ini akan menjadi jaya seperti yang pernah sediakala kita rasa.

Oleh: M. Fakhruddin Al-Razi, Penulis adalah mahasiswa rantau asal Madura yang sekarang sedang mukim di kota Malang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru