26.7 C
Jakarta

Mengeja Humanisme Pancasila dalam Kacamata Teologi Gus Dur

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMengeja Humanisme Pancasila dalam Kacamata Teologi Gus Dur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dua bulan yang lalu, tepatnya pada pertengahan bulan Maret 2020, ketika semua lini masyarakat dan pemerintah tengah memikirkan solusi bagaimana melewati masa pandemi covid-19, terdapat kelompok untuk tidak mengatakan perorangan yang menyuarakan pendapatnya bahwa terjadinya pandemi ini karena bangsa ini telah menggunakan sistem yang tidak diperintahkan Allah, terjadinya ketidakadilan, kemiskinan. Dan banyaknya problem kemanusiaan adalah karena sistem pemerintahan dan ideologi (Pancasila) yang dianut adalah thagut dan bukanlah sistem Islam. Lagi-lagi, solusi yang diwarkan adalah khilafah.

Dalam beberapa pertemuan dan gagasan yang dikeluarkan, selalu saja mengarah pada tujuh kata yang di-”hilangkan” yang seharusnya ada pada sila pertama, bahwa secara formal, syariat Islam seharusnya ditegakkan bagi para pemeluknya. Sila pertama yang kini terpampang dan diakui dengan hanya mencantumkan ketuhanan Yang Maha Esa dianggap tidak cukup menjadi ideologi yang harus diyakini dan dijalankan.

Pada akhirnya, Pancasila dianggap sebagai thagut dan tidaklah bernilai Islami, sehingga ini yang menjadi penyebab terjadinya banyak masalah kemanusiaan di negri ini. Namun benarkah demikian? Dalam tulisan ini, kita akan mengeja di mana letak ketauhidan dan bagaimana tauhid di hadapan kemanusiaan.

Pancasila dan Fitrah Sebagai Basis Tauhid

Jika etimologi mengambil alih dalam pengertian kata ini, fitrah memiliki arti sifat asal, kesucian, bakat dan pembawaan. Namun, dalam konteks lain, kata ini pula digunakan sebagai salah satu nama zakat yang wajib dikeluarkan di bulan ramadhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Jika dikaji lebih jauh, kata ini berasal dari bahasa arab yaitu  (فطر ) di dalam kamus al-mu’jam al-wasith kata ini bermakna ibtida` (permulaan) wa ikhtira’ (menciptakan) dan juga syaqqa (pecah) (Syauqi Dhaif: Mu’jam Al-Wasith, 2011). Kata fitrah menempati sighat fi’lah, di mana ia adalah salah satu bentuk mashdar yang bermakna al-hayiah yang berarti keadaan atau jenis perbuatan, seperti halnya kalimat rikbah yang mempunyai arti keadaan berkendara. Fitrah memiliki arti suatu keadaan awal penciptaan atau pecahnya sesuatu.

Beberapa ulama mendefinisikan fitrah berbeda, yang paling mendekati secara linguistik adalah Ibnu Atsir, ia mengatakan bahwa fitrah adalah keadaan dari hasil penciptaan itu. Maksudnya, fitrah merupakan sejenis ciptaan khusus memiliki keadaan tertentu, sebagaimana diumpamakan dengan kata al-jislah dan ar-rikbah, yang memiliki arti keadaan duduk dan keadaan mengendarai, artinya yang duduk dan mengendarai binatang tunggang dengan keadaan tertentu (Murtadha Muthahhari: 1989). Sedang al-Qurtubi menuturkan lewat penafsiran ayat 30 dari surah ar-Rum, bahwasannya fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah di sini adalah fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa.

Murtadha Muthahari menulis sebuah buku berjudul al-Fitrah, dari pemaparannya dia menyebutkan kecenderungan-kecenderungan fitrah, dan yang menjadi kecenderungan utama yang dimiliki fitrah adalah Keyakinan kepada wujud awal berikut keesaan dan kesempurnaannya. Bahwa dalam diri manusia sudah tertanam suatu keyakinan adanya suatu zat yang menjadi sebab utama, yang dari sebab utama itulah lahir semua yang ada di seluruh jagat raya. Dan ia pun meyakini sifat-sifat yang ada padanya, seperti sempurna dan tunggal (Murtadha Muthahhari: 1989). Setelah dipahami bahwa penuhanan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terlepas dari manusia, lalu mengapa masih terdapat penindasan dan problem kemanusiaan?

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Teologi Pembebasan Gusdur

Sudah sangat diketahui bahwa Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering dikenal dengan Gusdur adalah seorang Ulama sekaligus negarawan pejuang kemanuasiaan. Pembelaannya terhadap minoritas dan kaum tertindas menjadi bukti bahwa dalam pandangannya, manusia memiliki hak yang patut diperoleh.

Dalam beberapa kesempatan, baik itu seminar, pengajian maupun pertemuan dengan tamu, kerap kali Gusdur memaparkan pesan Alquran yang erat kaitannya dengan asas kemanusiaan. Salah satu Ayat Alquran yang sering ia jelaskan adalah Surat al-Baqarah ayat 177. Ia menjelaskan bahwa konsekwensi logis dari beriman adalah lahirnya nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, ayat ini juga mengobarkan semangat kemerdekaan dan menghapus sistem penghambaan (Ensiklopedia Abdurrahman Wahid, 2013).

Pandangannya ini bertumpu pada pemahaman mendalam tentang ketauhidan, ia menyatakan: “Ajaran paling penting dalam agama adalah tentang Allah, struktur agama memperkuat ajaran semula dan ajaran semula pada gilirannya memperkuat struktur agama, pada saat yang sama ia menjalankan peranan membebaskan manusia” (Islam Kosmopolitan, 2007).

Jika dirumuskan dalam sebuah kerangka, terdapat beberapa macam penyembahan tuhan. Pertama, menyembah yang bukan tuhan, statment ini hadir ketika sebuah keniscayaan tidak tersalurkan pada objek yang seharusnya. Keniscayaan untuk menuhankan zat yang maha sempurna telah salah dipahami karena berbagai kepentingan. Ketika fitrah mengajak untuk mencari perlindungan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, kesalahan epistimologis karena ketidaktahuan atau kepentingan mengakibatkan seseorang akan menjadikan sesuatu yang seharusnya tidak disembah sebagai tuhan, baik itu ketakutan maupun hasrat pada kebendaan.

Kedua, menyembah diri pribadi, ketika manusia itu tidak menyembah Tuhan yang seharusnya menjadi pegangan, juga tidak menjadikan hal lain sebagai tuhan. Maka, ia menjadi tuhan bagi dirinya sendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai objek yang ingin disembah. Pada saat yang sama, ia menindas dan menzalimi sesama makhluk. Ketiga, penyembahan yang membebaskan, di mana seseorang yang pada dirinya terdapat fitrah untuk menyembah suatu zat yang maha sempurna dan Tunggal tersalurkan dengan pengetahuan dan tidak tercampur dengan kepentingan, sehingga menghasilkan manusia yang dengan penuh kesadaaran sebagai manusia yang merdeka, karena tidak ada lagi yang dijadikan sembahan selain Zat Yang Esa itu.

Ketauhidan semacam ini pula yang menimbulkan sikap toleransi, bahwa Islam menghargai perbedaan pendapat dan keragaman keyakinan. Jika dalam hal keimanan saja setiap pandangan dapat ditoleransi, tentunya sikap tenggang rasa dapat diperkenankan lagi dalam hal perbedaan pandangan politik dan teologi. Dari sini, sudah sangat jelas bahwa Islam memiliki pandangan universal yang berlaku bagi seluruh umat manusia (Gusdur: 2007).

Jika agama telah dipahami sebagai paradigma yang berwatak membebaskan, ia akan memberikan sumbangsih bagi proses demokratisasi. Karena pada dasarnya, toleransilah yang mampu melakukan transformasi sosial dalam skala masif. Sila pertama yang tercantum dalam Pancasila yang dikaji secara mendalam bukan saja akan menjawab persoalan bahwa Pancasila benar-benar kental dengan nilai Islam, tapi juga bisa menjawab pesoalan banyaknya permasalahan kemanusiaan yang ada, baik itu ketimpangan juga keadilan sosial.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru