33.2 C
Jakarta

Menelanjangi Propaganda Film Jejak Khilafah (1/2)

Artikel Trending

Milenial IslamMenelanjangi Propaganda Film Jejak Khilafah (1/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Film Jejak Khilafah di Nusantara. Hari-hari ini, publik ramai berbicara tentang khilafah. Bermula dari kasus pencatutan Peter Carey sebulan yang lalu, hingga tayang perdana film besutan Khilafah Channel tersebut sepuluh hari yang lalu, HTI dan khilafah menjadi sentral perhatian masyarakat. Tentu, para aktivis HTI bergembira, karena semua pihak, sekarang, mengenalnya. Sekaligus euforia, sebab filmnya ditonton jutaan umat. Tetapi, apakah benar film tersebut memuat propaganda khilafah?

Dalam Blak-Blakan, talkshow Detik, beberapa hari yang lalu, Peter Carey mengaku, dirinya kecewa dan marah, lantaran namanya dicemarkan oleh para pengasong khilafah. Ia menegaskan tidak akan mendukung apa pun agenda para aktivis khilafah. Menurutnya, isi film tersebut khayalan belaka, tidak ditemukan di Arsip Turki Utsmani, Istanbul. “Propaganda,” demikian Peter mendeskripsikan film Jejak Khilafah. Azyumardi Azra, sejarawan, seperti Peter, juga menegasikan validitas film tersebut.

Ada tiga rumusan masalah yang diulas film Jejak Khilafah: 1) Nusantara dan jalinannya dengan Turki Utsmani, yang dipersonifikasi sebagai simbol Islam adikuasa, 2) Khilafah sebagai payung besar umat Islam menjadi satu (ummah wahidah), dan 3) Jejak kekhilafahan di Nusantara.  Wali Songo, Majapahit, Sriwijaya, Samudera Pasai, dan raja-raja beragama Islam di Nusantara banyak disebut dalam film ini. Namun sayang, apa yang dipaparkan, tidak sama dengan, bahkan membelokkan dari, sejarah Nusantara yang selama ini kita bersama ketahui.

Tulisan ini berusaha menelanjangi film Jejak Khilafah, bertolak dari ketiga rumusan masalah tadi. Sebagai literatur tandingan, beberapa riset ilmiah tentang Turki Utsmani dan relasinya dengan Kesultanan Aceh, atau peradaban Islam di Asia Tenggara, akan digunakan sebagai referensi. Film Jejak Khilafah didesain seolah-olah meluruskan sejarah Islam di Nusantara, dengan tesis utama: “Islam Nusantara berjaya di bawah kekhilafahan”. Lalu umat ditarik untuk mendukung HTI dan khilafahnya. Bukankah itu sebuah propaganda?

Sebagai penegasan, film Jejak Khilafah, yang disutradarai Nicko Pandawa itu, memiliki konsep dan videografi yang bagus. Terutama di menit-menit pembuktian artefak, situs makam, atau naskah kuno. Sekilas, tampak sangat meyakinkan dan, tanpa kejelian, akan memengaruhi kita. Tetapi, itulah propaganda. Ismail Yusanto—kita semua tahu siapa dia—menyanggah ketika film tersebut dianggap propaganda, dalam suatu talkshow daring di TVOne. Tetapi, mari, film Jejak Khilafah kita telanjangi bersama!

Awal yang Fatal

Kekeliruan film ini bahkan kita bisa baca di menit pertama, ketika narator mengatakan: “Khilafah, sebuah institusi pemerintahan Islam yang berjalan sejak masa sahabat sampai tahun 1924.” Penyataan pembuka yang cukup optimistis. Tetapi, benarkah khilafah merupakan institusi Islam saja? Benarkah era sahabat sama dengan era Turki Utsmani; sama-sama menerapkan khilafah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, titik tolaknya ialah merunut definisi dari khilafah itu sendiri.

Kh-l-f, artinya ‘menggantikan’. Bentuk mashdar-nya ialah khilâfatan, yang artinya pergantian, atau kita bisa memaknainya sebagai ‘suksesi’, dalam konteks kepemimpinan. Kata al-khilâfah, dengan demikian, ketika berkaitan dengan politik, maka bermakna ‘pemerintahan’. Orang yang memegang pemerintahan tersebut disebut amîr, artinya ‘pemimpin’. Dengan demikian, al-imârah, yang berarti ‘kepemimpinan’, merupakan fungsi dari tugas pemerintahan. Pemerintah, tujuannya, ialah memimpin.

Di situ, khilafah memang merupakan institusi. Sampai di sini, maka pernyataan pembuka film Jejak Khilafah tadi benar: khilafah merupakan institusi. Sebab, pemerintahan, atau al-khilâfah, itu mencakup beberapa elemen, yaitu pemimpin (amîr) dan rakyat (ra‘iyyah). Yang keliru fatal ialah ketika narator film mengatakan, bahwa khilafah sudah diterapkan sejak kepemimpinan Abu Bakar hingga runtuhnya Turki Utsmani. Khilafah/pemerintahan yang seperti apa yang dimaksud? Bukankah khilafah belum mencakup “sistem”? Inilah awal kesalahan mereka, para aktivis HTI, sang pembuat film Jejak Khilafah.

Karena al-khilafah itu berarti pemerintahan, maka ia belum mencakup sistem (manhaj). Sejujurnya, HTI selalu berkata, mereka memperjuangkan al-khilafah ala manhaj an-nubuwwah (pemerintahan berdasarkan sistem yang dipakai Nabi). Itu artinya mereka tahu, kata al-khilafah saja masih general, tidak termasuk sistem yang dipakainya. Tetapi bagaimana bisa kemudian mereka menggeneralisasi kata khilafah sebagai institusi yang sudah ada sistem di dalamnya? Sangat distorsif.

Kesalahan awal, atau kesalahan epistemologis HTI dalam memaknai khilafah, berdampak terhadap kesalahan-kesalahan mereka berikutnya. Dan ini ada di keseluruhan menit film. Misalnya, mereka menyamakan khilafah ala Nabi dengan khilafah ala Umayyah-Utsmani sebagai ‘khilafah Islamiyah’. Memangnya sistemnya sama? Jelas Tidak. Sistem pemerintahan Nabi adalah teokrasi. Suksesi kepemimpinan sahabat juga berbeda-beda, mulai dari menunjuk, membentuk komite, dan dipilih secara parlementer, yang justru lebih mirip dengan demokrasi.

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Sementara Umayyah hingga Utsmani, itu bersistem monarki absolut, yang suksesi kepemimpinannya dilanjutkan oleh keturunan mereka sendiri. Muawiyah merampas pemerintahan Sayyidina Ali, dan Yazid bin Muawiyah menggantikan takhta ayahnya ketika meninggal. Imam as-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafâ’-nya menceritakan, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Umar protes, dengan mengatakan: “Ini tidak dilakukan oleh Nabi dan keempat khalifah setelahnya.

Apakah Nabi menunjuk Fatimah sebagai pengganti? Apakah Abu Bakar menunjuk Abdurrahman anaknya? Apakah Umar bin Khattab menunjuk Abdullah putranya? Sama sekali tidak. Pemerintahan (al-khilâfah) yang ideal sudah terhapus, sejak Hasan bin Ali menyerahkan otoritasnya demi persatuan umat. Lalu apakah ini yang dianggap khilafah oleh para aktivis HTI dan dianggapnya ajaran Nabi? Sungguh, ini adalah kesesatan dan kebodohan sejarah.

Nicko Pandawa, sang sutradara film Jejak Khilafah, ketika membuat argumentasi, dia mengatakan bahwa as-Suyuthi pun mengistilahkan pemerintahan Nabi hingga Abbasiyah sebagai khilafah, melalui karyanya, Tarikh al-Khulafâ’, yang menurutnya berarti ‘Sejarah Para Khilafah’. Sungguh, ini adalah ketololan memahami literatur. Kata al-khulafâ itu bentuk plural dari kata ‘al-khalîfah’ (pemerintah), maka terjemah judul kitab as-Suyuthi itu yang benar adalah Sejarah Para Pemerintah, alias Sejarah Para Pemimpin. Sistem yang dipakai pemerintah tersebut beragam, sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Epistemologi yang salah, maka berdampak terhadap kesalahan aspek ontologis dan aksiologisnya. Kekeliruan yang fatal dalam memaknai khilafah, berdampak terhadap apa yang mereka inginkan dengan khilafah yang dipahaminya itu. Mereka ingin menegakkannya di Indonesia, menganggap Indonesia sebagai thaghut. Padahal Indonesia sudah menerapkan al-khilâfah (pemerintahan), namun mamakai sistem demokrasi. Apakah kita, sebagaimana narasi film tersebut, harus berkiblat kepada Turki Utsmani dengan sistem monarkinya? Itukah tuntutan film Jejak Khilafah melalui nostalgia peradaban Nusantara?

Peradaban Nusantara di Film Jejak Khilafah

Kalau diuraikan singkat, siklus Nusantara yang dinarasikan dalam film Jejak Khilafah ialah sebagai berikut: Nusantara berada dalam abad kegelapan kepercayaan lokal, lalu Islam datang menyatukan umat dan menjadi vassal serta berbai’at kepada Turki Utsmani sang peradaban umat Islam seluruh dunia, lalu Portugis datang menjajah menggantikan khilafah yang ada di Nusantara, lalu khilafah runtuh dan sistem thaghut penjajah Eropa dipakai Indonesia hingga sekarang, lalu kenapa tidak kita terapkan saja kembali kekhalifahan tersebut agar Islam kembali berjaya?

Jalan menuju tujuan akhir, yaitu meng-Indonesia-kan khilafah ala HTI, itulah yang disebut propaganda di dalam film tersebut. Nicko Pandawa benar, film tersebut tidak mengajak makar atau konfrontasi apapun. Tetapi bukankah penyelewengan sejarah Nusantara sangat cukup untuk memicu umat lalu ramai-ramai emosi ingin menerapkan khilafah seperti yang aktivis HTI inginkan? Memaksa-hubungkan Nusantara dengan Utsmani sebagai hubungan ‘perwakilan’, ‘vassal’, bukan hubungan sebagai ‘sekutu’, adalah nrasi yang perlu diluruskan.

Ismail Hakki Göksoy dari Universitas Suleyman Demirel, Turki, dalam esainya, Ottoman-Aceh Relations According to the Tourkish Sources, mengatakan bahwa relasi Aceh dengan Turki Utsmani bisa dikonfirmasi melalui surat Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Kahhar () kepada Sultan Sulaiman () pada 12 Juni 1562 yang meminta bantuan untuk melawan Portugis, lau Turki mengirimkan utusannya ke Ace pada tahun 1565. Aceh bukanlah wakil Utsmani, tetapi relasi baik keduanya memang terjalin sejak jauh sebelum itu. “The year 1547 should be accepted as the first diplomatic Acehnese mission to Instanbul,” tegas Göksoy.

Propaganda film Jejak Khilafah memang samar, sebab film tersebut berformat dokumenter, yang membuat orang yang tidak teliti mudah terpengaruh. Lagi pula, kalau memiliki hubungan dengan Turki Utsmani lalu mau apa? Bukankah relasi internasional itu lumrah-lumrah saja? Mem-vassal-kan Kesultanan Nusantara kepada Turki Utsmani merupakan ketidakpercayadirian sebagian umat Islam, yaitu aktivis HTI, terhadap sejarah Islam di negeri mereka sendiri. Kecuali untuk menghasut umat agar mendelegitimasi pemerintah, apa gunanya mereduksi sejarah Nusantara dan mangait-paksakannya dengan Turki Utsmani? Apakah itu karena runtuhnya Utsmani jadi simbol awal khilafah palsu la HTI? Apakah karena propaganda-propaganda tersebut film Jejak Khilafah dibuat?

Berlanjut ke bagian dua. Bersambung…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru