26.9 C
Jakarta

Meneladani Nilai-nilai Perdamaian dan Nirkekerasan ala Rasulullah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeneladani Nilai-nilai Perdamaian dan Nirkekerasan ala Rasulullah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama Islam dikenal sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin, namun fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, baik menyangkut terorisme maupun bentuk kekerasan lain yang mengatas-namakan Islam. Benar-benar meleburkan keniscayaan (perdamaian), dan menghilangkan karakter keagamaan yang telah lama dibangun oleh Rasulullah Saw.

Disadari maupun tidak, aksi-aksi kekerasan yang dilandasi semangat keagamaan akan lebih sulit untuk diselesaikan daripada kekerasan yang tidak dilandasi dengan semangat keagamaan. Hal ini sangatlah wajar, karena dalam beragama setiap individu pasti memiliki sifat subjektifitas terhadap agama yang dianut, yakni meyakini bahwa agama yang dianut adalah agama yang mutlak kebenarannya.

Nirkekerasan merupakan salah satu prinsip yang menekankan pentingnya menghadapi setiap masalah tanpa menggunakan kekerasan dan lebih mengarah kepada permusyawaratan, prinsip ini yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai landasan dalam menghadapi konflik-konflik yang terjadi.

Mengutip pendapat Abu Nimer, kekerasan yang biasanya muncul disebabkan karena adanya sikap melawan yang melebihi kebutuhan, serta tidak adanya keinginan untuk mencari damai. Seperti konflik tragis antara suku Dayak dan suku Madura. Hal ini berlangsung hampir 1 tahun, dalam kasus ini selain karena ada faktor-faktor tertentu yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut, juga disebabkan karena tidak adanya keinginan untuk melakukan permusyawaratan dan penyelesaian permasalahan tanpa kekerasan.

Islam di Era Rasulullah

Jika kita menengok ke zaman Rasulullah Saw, pasti akan kita temukan nilai-nilai perdamaian yang beliau tanam di Jazirah arab. Terdapat banyak hal yang beliau lakukan untuk bisa memanusiakan manusia sebagaimana mestinya, seperti menghilangkan perbudakan, beliau melakukan perubahan ini secara bertahap. Oleh karena itu, jika kita relasikan dengan hukum syara’, maka akan kita temukan bahwa diantara bentuk tebusan kesalahan seperti qisash, diat, kafarat, terdapat pula salah satu bentuk yang lain yakni dengan “Ithqu Raqabatin” atau memerdekakan budak, setidaknya hal ini bisa dijadikan petunjuk yang kuat, bahwa Islam telah menghilangkan nilai-nilai ketidakadilan, dan meminimalisir konflik-konflik.

Dalam pemerintahan, beliau memberi sebaik-baiknya teladan bagi para pemimpin yang ada sampai saat ini. Ketika beliau memutuskan sesuatu, beliau sangat mempertimbangkan berbagai aspek yang ada. Meskipun beliau berstatus sebagai imam al-anbiya’ (pemimpin para Nabi) beliau terbuka dengan segala usulan yang diberikan oleh para sahabat-sahabatnya. Seperti dalam permusyawaratan, kegiatan ini telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. sebelum dan sesudah menjadi kepala pemerintahan, hal ini menunjukkan betapa tingginya perhatian Rasulullah terkait keadilan.

Begitu juga dalam menyelasaikan konflik, terutama konflik dalam ruang lingkup kepemerintahan, Rasulullah dan para sahabatnya ketika memimpin selalu mengutamakan unsur-unsur kemashlahatan umat, maka dalam menyelesaikan masalah, bisa dilakukan oleh kedua pihak atau jika tidak bisa maka dilakukan oleh pihak yang ketiga atau lebih dikenal dengan meditasi.

Meskipun Islam pada saat itu sebagai agama minoritas, namun asas-asas perdamaian dan nirkekerasan telah ditunjukkan. Terlebih dalam medan peperangan, terdapat larangan yang keras untuk membunuh musuh yang telah mengucapkan syahadat, tidak membabi buta dalam menyerang, tidak pula membunuh anak kecil dan perempuan. Hal ini berlaku baik saat perang sariyyah maupun ghazwah.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Pada akhirnya, etika seperti ini tidak bisa kita temukan di zaman sekarang, jangankan untuk berperang, pada saat ini beberapa kelompok seperti ISIS, mereka melakukan pemboman massal di tempat-tempat tertentu, tanpa melihat siapa korban dan akibat yang dilakukan. Mereka melegitimasi aksi teror tersebut hanya atas nama jihad dan tanpa ada penyerangan terlebih dahulu oleh orang non-Islam.

Esensi Perdamaian

Gus Dur pernah menuliskan buah pemikiran beliau tentang perdamaian dalam tulisan yang berjudul, bersumber dari pendangkalan. Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi).

Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan yang dijadikan pelegalan terhadap perbuatan kekerasan.

Mengutip pendapat dari Abu nimer dalam bukunya yang berjudul Nirkekerasan dan bina damai dalam Islam, beliau menyatakan bahwa semua madzab hukum sepakat tentang keadilan ilahiyah adalah Islam, keadilan Ilahiyah disini adalah keadilan yang hakiki. bagi penulis ajaran islam yang terkait dengan beribadatan tidak akan bisa disalahkan, namun pada satu sisi hal itu bisa berubah atau diperingan yang disebabkan oleh beberapa hal. Dalam menetapkan keadilan, selayaknya bagi setiap orang; bukan hanya pemimpin, dapat menghilangkan sifat kesubyektifan yang ada pada dirinya, dan mencoba sebisa mungkin untuk mengapikasikan keadilan ilahiyah yang menjadi nilai-nilai ajaran Islam.

Sejatinya, tindakan kekerasan yang terjadi, sangatlah dipengaruhi oleh pemahaman yang salah atas naskah-naskah keagamaan itu sendiri. Karena ajaran-ajaran yang ada, merupakan bentuk aplikatif dari teori-teori teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits). Di sisi lain, Islam selalu menekankan terhadap sikap tawassuth, ‘adil, kasih sayang dan cinta damai. Teks keagamaan saat ini tidak bisa selalu menjadi subjek dalam pengkajian, namun harus bisa menjadikan teks tersebut sebagai objek yang non-tekstual. Namun kenyataannya, dalam memahami sesuatu sarjana-sarjana muslim kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan kondisi sekarang serta sumber makro dan mikronya.

Hal ini merupakan tugas kita bersama untuk mengembalikkan tujuan asli diturunkannya al-Qur’an dan Hadits sebagai The Elementary Source, yang didukung dengan ijtihad serta nilai mashlahah mursalah bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya perdamaian yang terjadi tidak hanya terkait dengan agama Islam, karena setiap agama dapat berperan sebagai pembangun perdamaian di dunia ini.

Moh. Nailul Muna
Moh. Nailul Muna
Penulis adalah seorang santri, akademisi, dan mahasantri.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru