26.1 C
Jakarta

Mencintai Indonesia Lewat Kritikan Lagu ‘Lathi’

Artikel Trending

KhazanahOpiniMencintai Indonesia Lewat Kritikan Lagu ‘Lathi’
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kowe ora iso mlayu seko kesalahan…” Saya pertama kali mendengar cuplikan lagu berjudul ‘Lathi’ ini, yang terlintas adalah betapa saya banyak dosa. Kenapa begitu? Iya saya bukanlah orang suci tanpa kesalahan. Jadi, pasti saya tidak akan bisa lari dari berbagai kesalahan yang sengaja atau tidak, di masa lalu. But, today I won’t talk about that thing to you.

Iya, kita tahu kalau Indonesia baru-baru ini kedatangan karya yang bisa dibilang cukup menguncang dunia hiburan. Tidak hanya di domestik, tapi sampai ke mancanegara. Pasalnya karya fenomenal itu ternyata jadi salah satu bahan kritikan (baca: bahan cemoohan) karena beberapa hal.

Bukan karena dibajak, melainkan karena dianggap mengandung unsur-unsur mistis, memasukkan ritual pemujaan setan. Tarian dalam lagu tersebut dinyatakan mengandung budaya Jawa yang sarat kesyirikan dan khurafat. Ini sontak menjadi lebih memanas karena disampaikan oleh pemuka agama, misalnya, di Malaysia.

Di samping bagaimana hukum mendengarkan musik dalam agama, yang tentunya saya punya penilaian dan pendirian sendiri soal ini justru mengkhawatirkan terjadinya gelombang politik baru yang dimulai dari sektor hiburan. Bagaimana maksudnya? Kita tahu sekitar tahun 2008, pedangdut asal Gempol, Inul Daratista, ditolak untuk mengadakan perhelatan di Johor Baru.

Kita pun tidak lupa bahwa tidak ada sama sekali alasan jelas lugas mengapa penolakan itu terjadi. Soal manajemen perusahaankah? Sebab perizinan yang terbengkalai? Saya melihat ini soal politisasi belaka. Informasinya, karena mereka konsisten dengan prinsip yang menganggap Inul punya citra negatif di Indonesia, dan penampilannya tidak cocok bagi Malaysia, sebagaimana dituturkan Ketua Federal Territory PAS Youth kala itu.

Terlepas dari prinsip pribadi, saya masih menyakini kalau setiap negara itu ibarat dua sisi mata uang. Dikenal hebat macam apapun, tentu ada sisi gelapnya, tidak terkecuali negara maju. Jadi pertanyaannya, bukannya Malaysia punya artis seperti Inul juga? Sampai di sini bukannya saya bermaksud menghujat pemerintah Malaysia terhadap kasus penolakan itu.

Coba kita lihat lagi lebih dekat. Bagi penggemar Korea Selatan mungkin sesekali pernah mendengar nama BTS, Shinee dan lainnya. Mereka adalah satu dari banyaknya penyokong program Hallyu (Gelombang Korea). Suatu gelombang yang tidak hanya memperkenalkan Korea, melainkan juga budaya, hiburan, masyarakat, bahkan ideologinya.

Dari sanalah, pemerintah melalui kaki tangannya, mulai mengepakkan sayap-sayap  dan mencengkeramkan kuku mereka untuk dapat bersaing dengan negara lainnya dari berbagai sektor. Apa jadinya kalau penggemar para oppa-oppa itu bertebaran di jagat raya? Para wanita pastinya tidak cuma mengikuti Instagram-nya saja, tapi segala tentang sang idola.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Terus tanya, berapa harga outfit-mu? Tidak begitu juga. Seiring meningkatnya kekaguman mereka dengan berbagai idola yang dipujanya, seiring banyaknya drama Korea yang dikonsumsinya, terlebih di masa banyak stay di rumah, intensitasnya makin meningkat.

Semakin mereka, dan apa yang dibawa gelombang itu menjerat siapapun segmen pasarnya, konsumen akan dibawa untuk semakin penasaran dan penasaran dimana tempat syuting filmnya, pakaian apa yang lagi trending di kalangan mereka. Semakin kepo mereka, mereka akan acuh sama uangnya. Jadi mulailah mereka mencari pakaian yang sama dengan sang idola, mulai booking tiket buat langsung datengin tempat syutingnya langsung.

Tidak sampai di situ, mereka akan melihat make-up apa yang sang idola gunakan, hingga cantik merona atau ganteng tak ketulungan. Karena tentunya menginginkan hal yang sama terjadi sama mereka, dan sialnya tidak menemukan make-up atau barang yang sama, maka terjadilah impor pakai dolar.

Di titik inilah para produsen negeri itu mulai saling berkompetisi produk apa yang bisa diproduksi dengan hasil riset pasar, menjadikan para artis atau public figure sebagai patokan. Semakin para penggemarnya tergila-gila, maka bukan tidak mungkin akan semakin menggila juga produk fashion, kecantikan dan lainnya yang membanjiri produk local. Padahal, hebatnya, kualitas produk lokal pun berani diadu.

Nah, sebenarnya saya melihat booming ‘Lathi’ ini bagian dari rebranding Indonesia di mata global. Dimulai adanya #LathiChallenge di berbagai platform, misalnya Tik Tok, dengan berbagai kreasinya dan direview sama para conten creator luar negeri. Mula-mula ini akan jadi interest tersendiri bagi penduduk online mancanegara, terlepas gayanya yang unik, langka bahkan tidak bisa ditemukan di negara mereka.

Bermula dari sana, perjalanan keingintahuan lainnya akan muncul. Mulailah cari tahu dimana Indonesia, mulailah belajar bahasa Indonesia, dan tinggal di wilayah Nusantara. Meningkatlah kunjungan dari mancanegara, dan masyarakat lokal juga mulai membuka mata: ternyata ada budaya keren sekali di negerinya. Entah lagu ‘Lathi’ itu dibuat dengan tujuan demikian atau tidak, tetapi saya yakin, bakal banyak sektor yang  restarting their engine better and faster.

Dari pandangan saya, kenapa ‘Lathi’ dicemooh, pemerintah Malaysia engga mau melihat Hallyu bangkit dari Indonesia—entah apa namanya. Jadi, dari mana kita mulai mencintai Indonesia atau memulainya lagi? Berkarya, berkreasi yang mengangkat citra rasa positif Indonesia dengan sentuhan perkembangan teknologi. Dengan begitu kita tidak hanya akan mengembangkan banyak skill luar biasa di tanah air. Indonesia bakal dipertimbangkan kembali di mata dunia.

Jepri Walistian, Tinggal di Kota Bandung, Senang mengulik asyik tentang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru