26.2 C
Jakarta
Array

Memetik Inspirasi dari Dua Penulis Kelahiran 1994

Artikel Trending

Memetik Inspirasi dari Dua Penulis Kelahiran 1994
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jumlah penulis dan orang yang mengaku penulis di Indonesia sangat banyak. Tetapi, penulis yang benar-benar hebat, yang karyanya telah diakui di mana-mana dan meraih pencapaian prestisius padahal usianya masih muda teramat sedikit. Saking sedikitnya, kebanyakan publik literasi mungkin tidak atau belum pernah mengenal nama mereka. Sayang sekali.

Agar kata ‘muda’ memiliki arti lebih spesifik, pada tulisan ini, penulis-penulis muda yang saya maksud adalah yang berusia di bawah 25 tahun, tepatnya kelahiran tahun 1994.

Sebagai ikhtiar memperkenalkan nama-nama pemuda potensial itu, saya akan menyebutkan beberapa nama. Oh, bukan beberapa nama, dua nama saja. Dua nama berikut ini saya rasa sudah cukup untuk sedikit membakar api semangat kita—orang-orang yang berminat dan istiqomah terhadap dunia kepenulisan.

Nama pertama adalah Faisal Oddang. Lelaki kelahiran Wajo, September 1994 itu betul-betul sosok penulis muda yang menginspirasi, setidaknya bagi saya. Bagaimana tidak, pada usianya yang belum genap seperempat abad, ia sudah meraih seabrek prestasi dalam bidang menulis. Pada usia 19 tahun, cerpennya Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon, sukses menembus koran Kompas—koran paling bergensi di negeri ini yang terkenal sulit ditembus. Tak cukup sampai situ, cerpen tersebut juga menjadi cerpen terbaik Kompas edisi tahun 2014. Sebuah capaian yang luar biasa untuk anak muda yang usianya masih belasan.

Fai—begitu ia biasa disapa—adalah penulis dan sastrawan serba bisa. Ia telah menghasilkan beberapa buku puisi (Perkabungan untuk Cinta dan Manurung), belasan cerpen, dan novel (novelnya yang berkisah tentang suku Toraja, Puya ke Puya menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014). Bahkan, beberapa waktu lalu ia juga menjuarai lomba penulisan esai Write Piece for Peace yang diadakan PUSAD Paramadina. Sungguh anak muda yang serba bisa dan produktif!

Berikutnya adalah penulis perempuan dengan nama sulit dihafal: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Supaya mudah, sebut saja ia Ziggy. Sama seperti Faisal Oddang, Ziggy juga kelahiran 1994. Bedanya, Ziggy lebih terkenal hanya sebagai novelis. Ia mungkin tidak seserba bisa Fai, tapi soal produktvitas, jangan diragukan lagi. Ziggy telah menulis 27 buku sejak 2010! Dalam suatu wawancara, Ziggy pernah mengatakan bahwa novel pertamanya ia tulis ketika SMA hanya dalam waktu tiga hari! Betapa mengagumkan!

Ziggy menulis novel dalam berbagai genre: fantasi, romance, thriller, horror, dan lainnya. Dalam setahun, ia bisa menerbitkan beberapa novel sekaligus, novel-novel yang tak bisa dibilang remeh secara kualitas. Buktinya, dua novelnya (Di Tanah Lada pada tahun 2014 dan Semua Ikan di Langit) pernah menyabet juara Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta—salah satu sayembara novel paling bergengsi di Indonesia.

Saya telah membaca tiga novel Ziggy, yaitu Jakarta Sebelum Magrib, Di Tanah Lada, dan Semua Ikan di Langit. Secara ringkas dapat saya katakan bahwa novel-novel tersebut memanglah novel yang begitu matang, bukan sejenis buku yang dibuat asal-asalan. Jalinan cerita yang ciamik, penokohan yang kuat, dan riset mendalam begitu kentara pada novel-novelnya tersebut. Hal-hal itu tidaklah akan muncul kecuali dari tangan seorang penulis yang serius dan tekun. Dan Ziggy adalah salah satu penulis tersebut. Meskipun ia menulis dalam waktu relatif cepat, itu tak membuat Ziggy menghasilkan karya-karya yang semenjana dan minim eksplorasi. Menulis cepat adalah sesuatu yang terpuji, tapi menulis dengan serius dan tidak asal-asalan jauh lebih penting ketimbang sekadar menulis cepat.

Demikianlah dua nama penulis muda kelahiran 1994 yang patut dijadikan tokoh inspiratif dan teladan. Terutama untuk kita yang sedang menempuh jalan kepenulisan, hendaklah banyak belajar dari dua anak muda tersebut.

Bukan tidak mungkin, pada masa depan Faisal Oddang dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie akan meraih rangkaian prestasi lainnya. Bukan tidak mungkin keduanya akan pula mengharumkan dan membanggakan nama Indonesia hingga level internasional melalui media sastra. Keduanya begitu potensial dan layak diharapkan akan menjadi pemegang tongkat estafet kesusastraan Indonesia pada masa mendatang.

Terakhir, yang perlu kita ketahui bersama, baik Fai maupun Ziggy, keduanya tidak hanya menulis—tentu saja. Yang terpenting: keduanya maniak membaca. Dan yang tak kalah penting: mereka membaca buku-buku bagus. Saya rasa kalimat terakhir sebelum kalimat ini harus kita camkan baik-baik. (*)

*Erwin Setia, Penulis dan penikmat buku.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru