33.2 C
Jakarta

Membangun Pendidikan Toleransi di Sekolah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMembangun Pendidikan Toleransi di Sekolah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tidak ada yang dapat menegasikan peran sentral guru dan sekolah dalam membentuk kepribadian anak-anak. Mengingat, pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik atau guru melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa-susila (Sudarminta, 1990). Pendidikan Toleransi adalah pintu masuk bagi pematangan kepribadiaan siswa di sekolah yang harus mendapatkan perhatian semua pemangku kebijakan di negara kita.

Driyarkara (1980) juga memaparkan, bahwa pendidikan pada hakikatnya ialah suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi tersebut, terjadi proses pemanusiaan manusia muda —dalam arti proses hominisasi (proses menjadikan seseorang sebagai manusia), dan proses humanisasi (proses pengembangan kemanusiaan manusia).

Hanya saja, praktik-praktik yang tidak menunjukkan kepribadian dan budi pekerti yang baik masih saja ditemukan di sekolah. Baru-baru ini dunia pendidikan dihebohkan dengan berita viral chatting teror Rohis siswa SMAN 1 Gemolong terhadap siswi tak berhijab dan dikeluarkannya AN, salah satu siswi SMP IT Nur Hidayah karena membangun komunikasi via medsos dengan lawan jenisnya. Maka itu, peran guru dan sekolah sebagai pilar utama pendidikan toleransi di institusi pendidikan harus direvitalisasi.

Pendidikan pada dasarnya dikembangkan untuk membantu dan memberdayakan peserta didik untuk membangun kekuatan bersama, memupuk kohesi, dan solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama (Suyanto, 2018).

Itu dilakukan melalui transformasi nilai-nilai, norma, ajaran agama, dan berbagai hal yang ideal, yang didesain dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan belajar tentang kehidupan dan memperoleh pengetahuan untuk memahami kehidupan secara arif. Dan, ini hanya bisa dilakukan apabila terdapat pembelajaran berbasis nilai-nilai hidup (living value) dalam desain pendidikan yang inklusif – menerapkan prinsip kesetaraan dan keterbukaan.

Masalahnya, seringkali guru kurang memperhatikan fungsi tersebut dalam pendidikan. Mereka terlalu terfokus pada pembangunan aspek kognitif sehingga seringkali abai dan bahkan melupakan aspek afektif dan penanaman nilai pentingnya hidup binneka yang juga sama pentingnya. Padahal, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3 telah mengatur, lembaga pendidikan harus menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tantangan Pendidikan dalam membumikan pendidikan toleransi

Kegagalan dalam membumikan visi pendidikan toleransi di sekolah inilah yang selanjutnya menjadikan bibit-bibit radikalisme dan intoleransi menguat di sekolah-sekolah. Maka itu, pimpinan sekolah dan stakeholders yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia harus berupaya mengembalikan guru sebagai pilar utama pendidikan toleransi di sekolah.

BACA JUGA  Sudahkah Kelompok Radikal Memerangi Hawa Nafsunya sebelum Memerangi Sesamanya?

Pertama, menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif. Membiasakan siswa dengan beragam perbedaan baik di ruang-ruang kelas ataupun di luar ruang kelas. Ini dalam rangka mempersiapkan karakter toleran yang penting dalam menghadapi pergaulan di luar sekolah. Sehingga, kelak dia tidak terkejut menghadapi fitrah kebinnekaan yang amat kental mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Sebaliknya, apabila mereka dibiasakan dengan praktik intoleran seperti mengeluarkan siswa dari sekolah dengan dalih pelanggaran peraturan yang sebenarnya tidak mencemarkan nama baik institusi, agama, bangsa dan negara sebagaimana yang dialami AN, niscaya lingkungan itu justru menanamkan karakter intoleran dan radikal kepada siswa.

Atas dasar ketidaksepakatan sekolah atas perilaku siswa, tanpa ada penelitian fakta secara komprehensif atas pelanggaran yang dilakukan siswa, sekolah dengan semena-mena bisa mengeluarkan siswa. Ini mengajarkan siswa untuk menyingkirkan orang-orang yang berbeda dengannya di kemudian hari ketika sudah bermasyarakat.
Kedua, pendidik bukan hanya terfokus pada target materi kognitif.

Hal ini karena pengetahuan mudah saja dipelajari siswa melalui internet atau smartphone yang sangat akrab dalam dunia mereka saat ini. Artinya, dalam rencana pembelajaran yang mereka buat, harus memuat bagaimana menanamkan karakter-karakter baik termasuk nilai-nilai toleransi dalam ruang-ruang kelas. Tanpa itu, pembelajaran kelas yang hanya fokus kognitif, hanya akan menciptakan budaya kompetitif yang berlebihan di ruang kelas. Bahkan, bisa saja demi menjatuhkan temannya, ia bisa melakukan segala macam cara. Sungguh ini sangat tidak diharapkan.

Kedua, revitalisasi peran sentral guru sebagai sosok yang harus digugu lan ditiru. Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara merincikan dalam trilogi-nya dalam membangun Taman Siswa yang sangat dikenal dalam dunia pendidikan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. (Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya kekuatan). Itulah sebenarnya peran penting guru di sekolah, yang tidak dapat digantikan oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini.

Hanya saja, meskipun guru memegang peran sentral dalam terlaksanya pendidikan toleransi di sekolah, tetap saja harus ada sinergitas yang optimal oleh berbagai pihak untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas dan berkarakter baik. Sebab, tugas mendidik yang utuh bukan hanya kewajiban institusi pendidikan, tapi juga menjadi tanggung jawab orangtua dan lingkungan sekitar tempat tinggal siswa. Ketika semua sudah saling bekerja sama menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perbedaan, niscaya kita telah mendidik generasi bangsa yang toleran dan nantinya senantiasa menjaga keharmonisan relasi sosial. Wallahu a’lam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru