25.4 C
Jakarta

Memahami Penganuliran Ayat Damai dalam al-Qur’an

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anMemahami Penganuliran Ayat Damai dalam al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Qur’an mengandung ribuan ayat, tepatnya 6236 berdasarkan ketetapan mazab kufiyyun.[i] Dari kesekian ayat tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa tema pokok, antara lain: hukum, ibadah, dan muamalah. Selain itu, terdapat beberapa tema lain yang sering dikontradiksikan yakni ayat damai (ayat silm), dan ayat pedang (ayat saif). Nahasnya, ayat yang sering dikutip hanyalah ayat yang bernuansa keras (Baca:ayat pedang). Sebagaimana yang dituliskan oleh Imam Samudra dalam bukunya yang berjudul “Aku Melawan Teroris”. Dalam buku setebal 280 halaman itu, Imam Samudra banyak mengutip penggalan surat at-Taubah. Hal demikian tidaklah mengherankan, sebab dalam surat tersebut memang terdapat beberapa ayat pedang. Salah satunya di ayat ke 5 yakni:

فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُواْ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدٖۚ

Artinya:

Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. (QS. At-Taubah[9]:5).

Hal ini tidaklah mengejutkan, sebab ayat-ayat pedang memang sering dikutip dalam situasi dan kondisi peperangan. Di sisi lain, bagaimana nasib ayat damai? Jangankan dikutip atau diikuti, ayat damai malah sering dinegasikan. Salah satu alasan yang ditemui yakni ayat damai telah dianulir (naskh) oleh ayat pedang. Adapun jumlah ayat damai yang telah dianulir oleh ayat pedang sangatlah banyak. Terhitung tidak kurang dari 200 ayat yang menyerukan untuk berdamai dan berkasih sayang telah dianulir oleh ayat pedang.[ii]

Kritik Riwayat Dalil Penganuliran Ayat Damai

Secara riwayat, penulis menemukan bahwa riwayat yang menyatakan penganuliran ayat damai memang ada, dan riwayat-riwayat tersebut bersumber dari tokoh-tokoh yang masyhur di bidang periwayatan. Dua tokoh sentral yang menjadi perawi sumber penganuliran ayat damai yakni, Ibn Abbas dan Ibn Qatadah. Ibn Abbas adalah org yang paling banyak meriwayatkan hadis. Selain itu, beliau juga sudah terkenal keadilannya.[iii] Sedangkan Ibn Qatadah merupakan seorang ulama yang buta sejak lahir. Menurut riwayat Yaḥya bin Ma‘īn, Imam Qatādah dilahirkan pada tahun 60 H. kemudian wafat pada tahun 117 H. Namun hal yang penting dicatat, bahwa Imam Qatādah tidak pernah berfatwa kecuali dengan menggunakan riwayat atau dalil naqli, beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan otoritas periwayatan dalam pendapat-pendapatnya. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena beliau memiliki ingatan yang sangat kuat.[iv] Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan, bahwa riwayat penganuliran ayat damai oleh ayat pedang dapat dibenarkan.

Argumentasi Logis Pemberlakuan Ayat Damai

Meski benar secara riwayat, namun terdapat argumen-argumen kritis yang dapat dibangun untuk menyangga superioritas ayat pedang. Di sini penulis hanya akan mengemukakan 3 alasan mengapa ayat damai harus tetap diberlakukan. Pertama, “Nilai pokok ajaran Islam”. Poin pertama ini dapat diketahui melalui perspektif teologis. Secara teologis, Allah mensifati dzat-Nya dengan sifat pengasih dan penyayang, seperti dalam surat an-Naml:

Artinya: Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan isinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. (QS. An-Naml [27]: 30).

Dalil teologis lainnya yakni ketika Nabi memberikan pesan ketika haji Wada’:

Apakah kalian mengetahui, hari apakah ini?”. Orang-orang menjawab: “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Ini adalah hari haram (suci)”. Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian mengetahui, negeri apakah ini?”. Mereka menjawab: “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau berkata: “Ini adalah negeri haram”. Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian mengetahui, bulan apakah ini?”. Mereka menjawab: “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau berkata: “ini adalah bulan haram. Sungguh Allah telah mengharamkan darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan dan di negeri kalian ini.”[v]

Isi khutbah tersebut memberikan justifikasi bahwa Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, asas-asas kehidupan (hifu an-nafs), harta (hifu almāl), kehormatan, bahkan eksistensi negara. Terlebih, redaksi yang dipilh Nabi yakni menggunakan kata ya ayyuhā annāṣ. Penggunakan redaksi ini merujuk kepada penerapannya secara luas, kepada semua manusia tanpa membedakan agama, ras, golongan, maupun etnis. Dari kesekian bukti tersebut, menunjukkan bahwa nilai uṣūl dari Islam adalah nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan dan peperangan.

BACA JUGA  Mudarosatul Quran, Kebiasaan Rasulullah di Bulan Ramadhan

Kedua, “Kritik sejarah”. Berdasarkan catatan sejarah, bahwa perintah berperang dalam al-Qur’an hampir semuanya berkaitan dengan pengkhianatan dari pihak sekutu. (QS. An-Nisā’[4]: 90), (QS. Al-Mā’idah[5]: 13), (QS.Al-Anfāl[8]: 61). Jadi, dapat disimpulkan bahwa perang yang diperintahkan kala itu, konteksnya terkait dengan Naqu al-Ah’d (melanggar sumpah/janji). Perintah untuk berperang juga berkaitan dengan hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muḥammad ke Madinah. Menurut Imam Mujāhīd, Qatādah dll, bahwa peperangan (Qitāl) itu disyariatkan setelah hijrah, padahal sebelumnya ketika di Makkah kaum muslimin disuruh memaafkan dan berbuat baik kepada kaum musyrikin (QS. Al-Ḥijr[15]: 85).[vi] Jika dalam konteks sekarang, perintah perang dalam al-Qur’an tentu tidak relevan dan menyalahi bukti sejarah sebagaimana di atas. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya melihat konteks dari pewahyuan al-Qur’an.

Ketiga, “Illat Hukum”. Suatu hukum wajib dilaksanakan karena adanya ‘illat. Begitu juga sesuatu hukum dipandang batal karena ‘illat. Maka memberlakukan suatu hukum yang diperintahkan karena suatu sebab, kemudian sebab itu hilang, maka hukumnya pun hilang karena hilangnya sebab tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang telah ditentukan Allah secara mutlak. Maka hal itu tidak boleh kategorikan kepada hukum-hukum yang ber-‘illat dengan ‘illat yang berlaku khusus untuk waktu tertentu.

كُلُّ مَا وَجَبَ امْتِثَالُهُ فِي وَقْتِ مَا, لِعِلَّةٍ تَ قْتَضِى ذلِكَ الحُكْمُ, ثُمَّ ينَتَقِلُ بِانْتِقَالِهاَ اِلَى حُكْمٍ آخَرَ فَلَيْس بِنسْخٍ.

“Semua yang wajib dilaksanakan dalam waktu tertentu, karena adanya ‘illat yang mewajibkan hukum tersebut, kemudian ia berpindah dengan perpindahan ‘illat kepada hukum yang lain, itu bukanlah naskh.” [vii]

Contohnya seperti ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang “tidak menghadapkan hari-hari Allah” tidak beriman, ketika dalam keadaan lemah (QS. Al-Jāṡiyyah [45]:14). Sebagian mufassir menganggap ayat tersebut dinaskh dengan ayat-ayat pedang. Dalam melihat kompleksitas tersebut, penggunaan kaidah naskh tidak dibenarkan, terdapat dua alasan. Pertama, karena ayat-ayat tersebut muhkam. Masing-masing ayat harus ditempatkan pada situasi dan kondisinya masing-masing. Sabar dan memaafkan itu adalah ketika lemah, dan perang dan berlaku keras diberlakukan ketika dalam keadaan kuat dan kondisi mengharuskan adanya peperangan. Kedua, hukum sabar dan memaafkan pada waktu lemah dan mengangkat pedang ketika kuat, hukumnya kembali berlaku dengan kembalinya sebab-sebabnya. Maka tidak bisa dikatakan ayat damai dinaskh dengan ayat pedang, begitu juga sebaliknya, karena hakikatnya keduanya akan terus diberlakukan sesuai dengan kondisi yang melikupi kehidupan manusia. Mengangkat pedang dibutuhkan ketika situasi menghendaki adanya peperangan, begitu juga berdamai akan dibutuhkan pada kondisi yang mengarah kepada konsiliasi maupun keadaan-keadaan yang lain. Oleh karena itu, keduanya wajib dilaksanakan pada waktunya.

[i] https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/246-mengenal-jumlah-hitungan-ayat-dalam-al-qur-an.

[ii] Yūsuf al- Qarḍāwī, Fiqih Jihad, terj. Mizan Publishing House, (Bandung: Mizan Pustaka,

2010), hlm. 204-205.

[iii] M. Ṭaḥḥan, Intisari Ilmu Hadīṡ (Malang: Uin Malang Press, 2007), hlm. 214-215.

[iv] Yūsuf al-Mizzy, Tahẓīb al-Kamāl fī Asmā’ ar-Rijāl, juz 23, hlm. 516-517.

[v] Ṣāhīh Bukhōrī:1739

[vi] Ismā‘īl bin ‘Umar ibn Kaṡīr, Tafsir al-Qur’ān al-Aẓīm (Beirūt: Dār ibn Ḥazm, 2000), hlm.

1051.

[vii] Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir (Jakarta: QAF, 2017), hlm.818.

Moh. Nailul Muna
Moh. Nailul Muna
Penulis adalah seorang santri, akademisi, dan mahasantri.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru