26.7 C
Jakarta

Mbah Darodji Sosok Teladan Wali Umat (Catatan 80 Tahun Usia KH Ahmad Darodji)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMbah Darodji Sosok Teladan Wali Umat (Catatan 80 Tahun Usia KH Ahmad...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya ikut berbahagia mendengar acara tasyakuran hari ulang tahun Dr. KH. Ahmad Darodji (Mbah Darodji), M.Si ke-80 yang digelar di kampus UIN Walisongo Semarang (Senin/31 Agustus 2020). Sebagai anak muda, saya selalu melihat Mbah Darodji sebagai guru dan orang tua. Apalagi rumah tinggal saya dan beliau berdekatan satu wilayah RW.

Sejak saya jadi mahasiswa semester 1 di IAIN Walisongo (saat itu masih IAIN), nama Mbh Darodji sudah sangat familier. Dosen-dosen saya selalu menyebut nama beliau di kelas. Termasuk ketika saya aktif di PMII dan IPNU, seringkali berjumpa beliau untuk ngangsu kaweruh.

Saya lebih dekat dengan Mbah Darodji saat sama-sama berkhidmah di Nahdlatul Ulama, Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Attaqwa Ngaliyan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setiap forum rapat dan event-event acara selalu saja berjumpa dengan beliau.

Bahkan pernah dalam satu hari, saya pernah bersamaan dengan beliau di empat acara yang bersamaan dari pagi, siang, sore hingga malam. Ini sangat luar biasa sekali. Saya merasa malu, karena belum bisa seaktif dan seikhlas beliau dalam berkhidmah pada ummat.

Pada saat Idul Fitri, saya bersama istri sowan ke ndalem beliau di Karonsih Ngaliyan Semarang. Waktu itu bersamaan dengan KH Achmad mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah juga sowan ke ndalem sang Kiai. Saat beliau asyik bercerita, sesekali memanggil saya dan memberi nasehat.

“Itu yang masih muda-muda seperti njenengan harus niru Kyai Achmad, masih luangkan waktu silaturrahmi lebaran begini. Padahal harusnya saya yang sowan ke Kyai Achmad” kata Mbah guru. Sontak kalimat itu membuat hati menangis. Betapa mata hati beliau tahu bahwa saya termasuk golongan yang belum rajin sowan-sowan Kyai.

Disitulah saya dapat ilmu. Seorang Kyai Ketua Umum MUI Jawa Tengah yang sedang ditamui oleh Mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah. Dua kasepuhan saling mengunjungi, termasuk membawa serta istri dan anak-anaknya. Pelajaran betapa pentingnya silaturrahmi itu dijalankan.

Mau Menjadi Pengganti Ngaji

Yang paling tidak bisa lupakan dari kisah dengan sang wali adalah setiap bulan suci Ramadhan. Kebetulan Mbah Darodji dan saya sama-sama pengurus dan jama’ah Masjid Attaqwa yang setiap sore jelang buka puasa ada Pengajian. Jadwal ngaji Mbah Darodji setiap Ahad sore dan saya mendapatkan jadwal Rabu sore.

Saya selalu berusaha hadir jadi mustami’ (murid) saat beliau mengisi pengajian Ahad sore. Dengan tablet kecil yang selalu beliau bawa, satu persatu ayat suci al-Qur’an, hadits dan penjelasan yang diurai secara jelas dan dengan bahasa yang mudah dipahami.

Perjuangan Mbah Darodji dalam Ajian Ramadhan

Di saat bulan Ramadhan, ada kabar dari pengurus Masjid Attaqwa bahwa Mbah Darodji opname di RS Sultan Agung. Pak KH Dr Sholihan, Ketua Takmir Masjid Attaqwa meminta saya untuk menjadi badal (pengganti) Kiai Darodji mengisi Pengajian Ahad Sore.

Dengan bahasa santri saya menjawab: “Njeh nderekke dawuh Bapak, Iya saya ikut perintah Bapak”. Hatiku mulai ragu saat itu. Sebab kalau Ahad Sore itu yang hadir di Masjid sangat banyak kasepuhan karena memang yang ngaji Mbah Darodji. Tapi saya masih ingat betul, Pak Kyai Sholihan menenangkan saya: “Mas, nanti kalau Kyai Darodji udah pulang dan bisa ngaji, ya tetap beliau”.

BACA JUGA  UU Pesantren, Strategi Menyetop Radikalisasi Pendidikan

Sembari menahan rasa gelisah, takut dan grogi, mulailah saya muthola’ah kitab (mempelajari kitab) yang rutin saya pakai ngaji selama lima tahun rutin saat Ramadhan. Kitab itu adalah Risalatus Shiyam karya KH Ahmad Abdul Hamid Al Qandali. Semua sudah saya persiapkan dengan matang dan detail dari ayat al-Qur’an, hadits dan pengkayaan dari Kitab-Kitab Kuning.

Berangkatlah saya sore itu ke Masjid Attaqwa untuk menjadi penggantinya Mbah Darodji. Tentunya dengan hati yang penuh deg-degan karena dari kejauhan sudah kumpul para guru-guru saya yang akan ikut mendengar ceramah saya. “Alhamdulillah… Mbah Darodji sudah sembuh dan sore ini akan ngaji” kata salah satu pengurus Masjid.

Saya didekati dan bilang ke saya: “Ustadz… ini Pak Kyai Darodji saget ngahos”. Sontak saja, kebahagiaanku itu muncul karena saya tidak jadi ceramah di depan para guru saya. Begitu Mbah Darodji hadir, kucium tangannya dan beliau memulai pengajian. Subhanallah, dalam kondisi sepuh dan baru saja opname di Rumah Sakit, beliau masih ngaji dan bertemu jama’ah.

“Saya kalau ngaji dan ketemu jama’ah itu jadi sembuh” tegas Mbah Darodji. Air mataku mulai menetes mendengar kata-kata itu. Seakan saya banyak dosa, karena masih muda, sehat dan kadang tidak berangkat ngaji di Pondok Pesantren/Masjid. Tapi Mbah Darodji mencontohkan ilmu semangat ngaji dalam kondisi kurang sehat di usia sepuh.

Saya tambah menangis lagi saat Mbah Darodji memulai membaca salah satu hadits yang diajarkan beliau di Masjid Attaqwa. Kenapa? Sebab hadits yang Mbah Darodji baca itu sama persis dengan hadits yang akan saya baca dalam Kitab Risalatus Shiyam. Padahal kita tidak pernah janjian. Subhanallah.

Betapa Allah telah membuat indah majelis ilmu di bulan suci Ramadhan. Artinya jika saya jadi menggantikan beliau saat itu, maka jama’ah akan mendapatkan urain hadits Rasulullah SAW yang sama. Saat itulah saya mulai menata diri, bahwa ilmu itu sambung-sinambung (tidak terputus).

Menjelang adzan Maghrib, Mbah Darodji menutup pengajian Ahad Sore dengan do’a. Dan sambil menikmati buka puasa, saya berbincang ringan dengan beliau. “Mbah Kyai, tadi saya sampun diminta siap-siap menjadi badal panjenengan. Alhamdulillah Kyai rawuh. Hadits yang Kyai baca tadi sama persis dengan Kitab Risalatus Shiyam yang akan saya baca” terangku jujur pada beliau.

“Kitab itu karangan Mbah Ahmad Abdul Hamid Kendal Mas. Saya murid beliau” jawabnya sambil senyum. Saya juga cerita kalau saya sudah lima tahun ngaji Kitab Risalatus Shiyam ini rutin. “Ya bagus itu, diteruskan ilmu-ilmu Kyai dibaca di Masjid ini. Insya Allah barokah. Aku nitip jama’ah diajari agama yang benar” pesan beliau pada saya. “Kalau ngaji jangan galak-galak biar jama’ah seneng ngaji ya” pungkas beliau.

Kisah ini menjadi salah satu kisah nyata yang saya alami selama menjadi murid Mbah Darodji. Bahwa Mbah Darodji bukan sosok biasa, namun seorang figur ulama yang menjadi sosok teladan bagi generasi muda. Maka saya beranikan menyebut Mbah Darodji sebagai wali umat, sosok kekasih Allah yang menjadi kekasih umat Jawa Tengah.

Rikza Chamami, MSI, Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M UIN Walisongo Semarang & Majelis Ulama Indonesia Kota Semarang

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru