29.7 C
Jakarta

Manusia, Agama, dan Uang

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuManusia, Agama, dan Uang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Agama Saya Adalah Uang. Penulis: Nurudin. Penerbit: Intrans Publishing. Cetakan: Februari 2020. Tebal: xvi + 182 halaman. ISBN: 978-602-6293-90-9. Peresensi: Sam Edy Yuswanto.

Buku yang ditulis oleh Nurudin. Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini berusaha mengurai sekaligus menyindir kehidupan umat manusia. Khususnya perihal uang yang menjadi salah satu penyebab sebagian masyarakat kita saling tercerai-berai, berkonflik atau bermusuhan.

Bagi Nurudin, problem utama masyarakat kita adalah kesejahteraan. Salah satu tolok ukur kesejahteraan adalah adanya modal, baik yang berupa modal sosial maupun modal kapital. Modal sosial kita sudah kuat sebagai bangsa yang plural. Ikatan persaudaraan juga hebat.

Persoalannya, jika itu menyangkut modal kapital menjadi masalah. Bila sudah begini, maka tak mengherankan bila masyarakat dan bangsa ini banyak berorientasi pada modal kapital tersebut. Jangan heran jika segala perbedaan di masyarakat bisa disatukan dengan uang. Hubungan eksekutif dengan legistaltif juga bisa disatukan dengan uang. Kegarangan opisisi juga bisa diatasi dengan uang. Akhirnya, uang menjadi segala-galanya.

Nurudin lantas menyebut bahwa dalam soal uang setiap orang punya agama yang sama. Ini tentu tidak bermaksud mereduksi makna agama di tengah masyarakat. Pun bukan maksud penulis untuk menyamakan agama dengan uang.

Karena agama adalah media untuk mendekatkan diri pada tujuan hidup. Jika tujuan hidup ini mengabdi pada Tuhan, maka agama dijadikan media untuk meraih tujuannya itu. Analoginya, jika tujuan manusia itu untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran, maka ia memerlukan media. Salah satu medianya adalah uang.

Selain agama, uang memang menjadi salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam kehidupan ini. Hal ini tentu tidak mengherankan, sebab setiap orang yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan uang. Karena segala kebutuhan hidup harus ditukar atau dibeli dengan menggunakan uang. Maka, beragam cara pun akan dilakukan orang-orang untuk mendapatkannya.

Bagi yang memiliki pondasi agama kuat, tentu ia tak akan pernah sudi mencari uang dengan cara-cara yang licik dan haram, apalagi sampai mengorbankan nyawa orang lain. Namun, bagi yang jiwanya kering dengan nilai-nilai agama, ia tentu akan melakukan beragam cara untuk mendapatkannya.

Tak peduli halal maupun haram, bahkan ia pun tak segan-segan merampas hak milik orang lain dengan semena-mena bahkan hingga menyebabkan hilangnya nyawa saudaranya sendiri.

Di zaman ini, membuka aib sesama adalah hal yang biasa. Saya yakin setiap orang tentu tahu dan memahami bahwa membuka aib sesama itu adalah perbuatan tercela yang dibenci Tuhan. Bahkan, dalam ajaran Islam, orang yang membuka aib sesamanya diserupakan dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.

Tentu hal ini sangat menjijikkan, bukan? Namun, sebagian masyarakat kita seolah tak peduli, bahkan tampak asyik-asyik saja membongkar aib sesama, apalagi bila ada tujuan atau kepentingan di baliknya, misalnya agar mendapatkan uang berlimpah dan langgengnya kekuasaan atau jabatan.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Dalam buku ini, penulis juga menyinggung perihal aib yang telah begitu membudaya di tengah masyarakat negeri ini. Menurut penulis, kita sudah telanjur menjadi bangsa yang senang membuka aib saudara kita. Semua saling bongkar. Membongkar bukan untuk tujuan mengingatkan tetapi untuk memojokkan kelompok lain dan menguntungkan diri sendiri. Menguntungkan apa? Tentu soal kekuasaan.

Ada kalanya seseorang membuka aib saudara karena memang tidak mendapat jatah kekuasaan. Seolah-olah kita sendiri tidak punya aib. Aib ada kalanya sengaja diumbar di depan umum agar orang lain itu merasa malu. Harapannya, untuk meraih ‘jatah’ kekuasaan. Juga, agara orang lain tak mendapat ‘jatah’ atau merasa jatahnya selama ini masih kurang banyak [hlm 97].

Selain gemar membuka aib sesama, penyakit kejiwaan yang juga menjangkiti masyarakat negeri ini adalah merasa senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang. Sebagaimana diungkap penulis dalam salah satu tulisannya di buku ini. Orang yang merasa bahagia saat melihat orang lain sengsara disebut schadenfreude.

Awal sejarahnya, sifat ini melekat pada seorang komedian. Lihat saja, para komedian itu akan tertawa lebar atau membuat tertawa penonton di atas penderitaan orang lain. Makin orang lain menderita maka akan dianggap makin lucu.

Setidaknya, ada lima faktor yang menyebabkan seseorang dilekati sifat schadenfreude. Pertama, rasa iri. Rasa iri ini biasanya ditunjukkan pada mereka yang punya kelebihan. Kedua, sikap kompetitif dalam grup. Artinya, orang-orang dalam kelompoknya selalu dianggap sebagai saingan. Ketiga, terjangkit gejala psikopat. Orang yang terjangkit sifat kejiwaan ini biasanya merasa senang bila melihat orang lain menderita atau jadi korban kejahatan.

Keempat, terjangkit penyakita gabungan antara psikopat dan machiavellianisme. Yang mana, machiavellianisme bersifat mementingkan diri sendiri dan melakukan tindakan manipulatif untuk meraih tujuan. Kelima, tidak memiliki rasa percaya diri. Orang yang tidak memiliki rasa percaya diri biasanya senang menyudutkan sesama agar terlihat mentereng dan hebat [hlm. 114-115]

Terbitnya buku kumpulan opini beragam tema yang berdasarkan berbagai fakta atau kejadian yang jamak terjadi di kehidupan masyarakat negeri ini patut diapresiasi dan bisa menjadi bahan renungan yang berharga bagi para pembaca. Satu pesan penting yang dapat saya simpulkan dari buku ini adalah; jangan sampai kebutuhan kita terhadap uang dan jabatan menjadikan kita gelap mata dan menghalalkan segala cara.

 

Sam Edy Yuswanto. Penulis lepas, tinggal di Kebumen. Tulisannya tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru