26.3 C
Jakarta

Madura, Aku Kembali (Bagian L)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMadura, Aku Kembali (Bagian L)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebuah notifikasi chat WhatsApp terdengar nyaring dari sebuah ponsel yang dibiarkannya berada di dalam ransel. Diva merasakannya biasa saja. Temenku kali, pikirnya tanpa ada rasa penasaran sedikitpun.

Notifikasi yang sama berdenting dengan keras disertai getar ponsel. Diva membiarkannya seakan dia sibuk dengan dunianya sendiri: melihat panorama sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah dari lantai enam Perpustakaan Umum. Sungguh indah sekalipun tanah kota ini padat dengan bangunan perumahan, toko, hotel, dan segala bentuk bangunan yang dia sendiri tidak tahu sedetail mungkin. Bangunan yang merayap telah menggantikan lambaian dedaunan yang terasa sejuk saat mata memandangnya.

Suasana kota, pikirnya, tidak seperti suasana desa. Sekian menit dibungkus dengan obrolan antara dia dan dirinya. Seakan di dalam diri ini ada dua dimensi yang saling berbagi. Senang rasanya bisa ngobrol dengan diri sendiri seakan tidak ada sekat antara dia dan dirinya.

Memandangi sekitar suasana kota tiba-tiba membuat kerinduan hati anak rantau akan rumah bermain dan belajar dahulu di desa. Congka’, batinnya, desaku yang setiap hari menatap wajah Abah dan Ummi, bahkan mencium tangan mereka saat aku mau berangkat sekolah. Aku masih ingat uang saku yang disodorkan Ummi saban hari kecuali hari Jum’at. Karena, hari Jum’at adalah hari libur sekolah di desa.

Tidak terasa sekian menit membuatnya nyaman berada dalam dunia imajinasi dengan me-rewind segala perjalanan hingga akhirnya kaki ini berpijak di atas bangun tinggi perpustakaan. Kini, renungnya, tidak lagi bisa menatap dekat wajah Ummi yang menenangkan dan wajah Abah yang meneduhkan. Kini tidak lagi dapat menarik tangan mereka kembali, karena jarak antara kota ini dan desaku teramat jauh. Kerinduan itu hanya kutitipkan lewat doa. Karena, tiada kado yang paling indah selain doa.

Shalat, yuk. Suara itu tidak teramat jauh merambat menyentuh gendang telinganya mengingat pesan Ummi setiap waktu membuatnya bangkit.

Div, jangan lupa shalat. Kurang lebih begitu kalimat yang Ummi ucapkan setiap Diva mulai menginjak masa remaja, bahkan saat kaki ini melangkah meninggalkan kampung halaman dan memulai suasana baru di tanah perantauan.

Suara seorang pengunjung, entah siapa, semakin membuat kerinduan itu tak dapat ia bendung. Tetes air mata tak terhitung kali berapa membasahi wajah ini. Sudah hampir dua puluh menit imajinasi itu merambah menjelajahi kampung halaman. Shalat, batinnya dalam-dalam.

Shalat selalu menjadi cara Diva bersyukur kepada Sang Pencipta. Bukan saat butuh seorang hamba datang menghadap-Nya. Sedang, saat tidak lagi butuh, hamba itu mulai lupa. Segala curahan anugerah tak terhitung banyaknya bertebaran di semesta ini. Kalau bukan dengan bersyukur, lalu cara apa untuk mengungkapkan kebahagiaan ini? Tentu, syukur adalah satu-satunya cara seorang hamba mengabdi.

Saat dahi menyentuh tempat sujud, seakan terasa senang merasakan kehadiran Sang Pencipta. Bulir air mata kembali mengelinding membasi tempat sujud. Div, saat kau sujud, curahkan segala harapanmu, karena saat sujud itu Allah teramat dekat denganmu, ucap Abah saat mengajarinya shalat dulu. Pesan itu melekat begitu dalam menyentuh lubuk hati.

Tuhan, desisnya saat sujud, aku rindu Abah, aku rindu Ummi. Tapi, aku bingung dengan cara apa kerinduan ini dapat terobati. Aku pengin banget bertemu Ummi, pengin banget mendengarkan segala nasihatnya, pengin banget mencium keningnya, pengin banget … sampai aku tak tahu mengungkapkan kerinduan ini. Tuhan, aku juga rindu Abah, walau sekedar menatap raut wajahnya, walau tidak banyak berkata-kata karena sikap Abah yang pendiam, bahkan walau hanya sebatas mencium tangannya yang halus.

Baru saja melakukan shalat Dhuhur. Diva merasakan sesuatu yang berbeda. Seakan kerinduan itu sedikit terobati. Seakan Tuhan telah menghadirkan Abah dan Ummi. Sebuah doa tak lupa dibaca sehabis shalat. Bunyinya, Rabbi ighfirli wa liwalidayya wa irhamhuma kama rabbayani shaghirah. Maksudnya—sebagaimana terjemah Quraish Shihab—Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan kasihilah keduanya disebabkan karena mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.

Diva mengingat uraian yang ditulis Quraish Shihab dalam bukunya Birrul Walidain. Doa itu, sebutnya, kurang tepat diterjemahkan dengan frasa sebagaimana mereka mendidik/mengasihi, karena kasih dan rahmat yang seorang anak panjatkan itu memiliki kualitas dan kuantitas yang sama dengan pendidikan yang dia peroleh dari ibu bapaknya. Padahal, rahmat dan kasih mereka berdua jauh lebih besar kualitas dan kuantitasnya dibandingkan apa yang anak itu berikan. Sedang, terjemahan yang mendekati kebenaran adalah disebabkan karena mereka mengasihi. Terjemah terakhir ini mengisyaratkan bahwa limpahan rahmat yang anak itu mohonkan diserahkan kepada kemurahan Tuhan Sang Pemilik Rahmat dan ini dapat melimpah jauh lebih besar dibandingkan apa yang orangtua limpahkan kepada anaknya. Sungguh sangat terpuji seorang anak yang gemar bermohon orangtuanya memperoleh lebih banyak rahmat dari yang anak itu peroleh, serta membalas melebihi budi mereka.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Ransel dirogohnya setelah dari tadi tidak diotak-atik. Sebuah ponsel diambilnya. Sebuah pesan WhatsApp dari Ummi. Dibuka dan dibaca: Div, masih kuliah? Kalau sudah libur, pulang ke Madura. Ummi kangen Diva.

Tak habis pikir, ikon panggilan ditekan dan panggilan tersambung ke ponsel Ummi. “Nak.” Suara Ummi halus menyapa lebih awal.

“Maaf, Mi. Diva baru buka WhatsApp. Dari tadi Diva di perpustakaan kampus dan baru saja shalat,” ucapnya sembari Ummi merasakan getar kerinduan yang dirasakan anaknya juga. Karena sudah berbulan-bulan tidak bertemu.

“Syukur, anakku yang cantik ini ngejaga shalatnya. Ummi selalu doakan kamu tidak lupa shalat.”

“Diva mau cerita.” Diva menceritakan suasana hatinya yang dirasakan akhir-akhir ini, termasuk rasa kerinduan. Teramat lama cerita itu tersalurkan lewat panggilan ponsel secepat itu mengobati rasa kerinduan.

“Div, pulang ke Madura.” Ummi meminta Diva pulang kampung. Karena, Ummi tidak meminta banyak dari anaknya. Bertemu dengannya sudah lebih dari cukup.

“Besok, Mi. Kuliah Diva sudah libur.” Libur kampus dari semester ke semester berikutnya terhitung panjang. Kurang lebih dua bulanan.

“Okay, Ummi tunggu.”

Panggilan itu akhirnya berhenti. Obrolan itu masih terasa, walau sekedar kuat dalam ingatan. Bayang raut wajah Ummi semakin kuat membekas dalam benaknya. Halaman rumah mulai terbayang dalam pikirannya.

Madura, aku kembali. Aku kembali dengan hati yang baru. Diva sekarang sudah tidak lagi mengingat kenangan tentang senja. Sudah sirna senja itu begitu malam datang bertandang. Diva lebih senang menatap kesunyian ditemani gelap malam. Diva membatin. Berusaha berdiri kuat dengan melupakan masa indahnya dengan sosok lelaki bernama Fairuz bertahun-tahun silam. Perantauan yang dia lalui seakan mampu mengobati hatinya yang patah saat takdir memintanya berpisah, sekalipun hati yang paling dalam selalu merasakan bisikan Fairuz tentang arti sebuah kesetiaan.

Besok pagi Diva pulang ke Madura naik kereta dari Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Stasiun Pasar Pasar Turi. Madura, aku rindu, batinnya.

* * *

Di sebuah rumah sederhana dikelilingi pesantren. Ummi sudah berdiri menunggu kedatangan Diva. Magnet kerinduan semakin menarik ayunan langkah kaki ini. Saat di dekat Ummi, Diva memeluk tubuh Ummi. Kehangatan yang berbulan-bulan dirindukan baru kali ini dapat ia rasakan kembali.

Tak terasa lamanya Diva dalam peluk erat Ummi. Dilepaslah, dan mereka akhirnya duduk. Sebuah tanya baru terucap, “Abah di mana, Mi?”

“Masih ngajar di pesantren.”

Teringat kembali momen masa kecil. Saat Abah mengajar di pesantrennya sendiri, Diva selalu duduk di dekatnya.

“Kemarin ada Nak Azrul ke sini. Silaturrahmi. Karena, tidak ada kamu ya aku dan Abahmu yang nemuin.” Ucapan Ummi sedikit menggores hati Diva yang sudah sekian lama tidak menggingat Azrul, sosok lelaki pilihannya Abah. Selain karena faktor kekerabatan, Azrul adalah sosok yang pintar, putra kyai besar, orangtuanya punya pesantren besar, bahkan lulusan terbaik dengan predikat Summa Cum Laude (Sangat Memuaskan) di kampus ternama Universitas Al-Azhar Kairo. Sayang, Diva belum terbuka hatinya.

Engghi, Ummi.” Diva tidak banyak komentar saat mendengar nama Azrul dan tidak banyak membantah pilihan orangtuanya. Diva menerima pilihan ini, sekalipun dengan hati yang terpaksa. Mungkin, batinnya, cara inilah Diva akan membalas kasih sayang Abah dan Ummi yang teramat besar.

Sakit itu mulai reda saat hati itu mulai menerima, sekalipun terasa berat. Tidak tahu lagi ia berkata apa, bahkan berbuat apa. Mungkin, dengan menceritakan sosok Fachri menjadi salah satu jalan mengubah pilihan ini.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru