27.3 C
Jakarta

Lembaga Negara dalam Pusaran Infiltrasi Paham Radikal

Artikel Trending

EditorialLembaga Negara dalam Pusaran Infiltrasi Paham Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Siapa yang menyangka bahwa ternyata paham radikal tidak hanya menggerogoti masyarakat umum, melainkan juga para pejabat di lembaga pemerintahan? Penempatan-penempatan mereka di berbagai lokasi strategis itulah yang, boleh jadi, melanggengkan eksistensi mereka, atau menjadi invisible hands dari setiap agenda atau segala kepentingan. Satu masuk, yang lain ditarik, hingga berjumlah banyak dan jadi sulit diketahui siapa otak di baliknya. Itulah yang disebut infiltrasi.

Persoalan penyusupan, infiltrasi, dibahas dalam sebuah webinar yang digelar Cokro TV dengan tajuk “Infiltrasi Radikalisme di Lembaga Negara, Pemerintahan dan BUMN”. Dipandu oleh Premita Fifi Widhiawati sebagai moderator, empat narasumber memberikan ulasan detail tentang tema terkait: Irjen. Pol. (Purn.) Ir. Hamli sebagai Direktur Pencegahan BNPT 2017-2020, Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan, Ade Armando selaku Pakar Komunikasi FISIP UI, dan Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian.

Editorial kali ini mencoba mengulas ringkas juga menganalisis apa yang diuraikan dalam webinar tersebut. Fenomena merasuknya paham radikal ke lembaga pemerintah jelas merupakan masalah, benalu bagi kinerja lembaga itu sendiri. Akan terjadi pembelokan orientasi dari fungsinya yang ideal, meski harus sedikit memaklumi mengingat orang-orang di lembaga pemerintah banyak berasal dari masyarakat urban yang notabene mudah menjadi korban indoktrinasi.

Lambatnya penanganan, atau tindakan tegas, terhadap paham yang riskan bagi demokrasi, hari-hari ini, juga barangkali disebabkan radikalisme di pemerintah itu sendiri. Kendati persentase mereka terbilang sedikit, hanya oknum tertentu, namun yang pasti infiltrasi paham radikal sama sekali tidak dapat ditolerir. Kita bisa berkontra-narasi setiap saat, tetapi untuk apa jika yang radikal adalah pemerintah itu sendiri? Sia-sia. Karenanya, ini menjadi PR besar, bagi seluruh elemen bangsa.

Lembaga negara mesti netral, sebab di tangan mereka segala persoalan rakyat menemukan pemecahannya. Misalnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), paham keagamaan kita diedukasi agar selaras dengan semangat kebangsaan. Melalui MUI, paham yang dapat merongrong negeri dapat dilawan. Tetapi jika, hanya jika, dan semoga tidak benar-benar terjadi, di MUI itu sendiri sudah dirasuki paham radikal, bukankah mereka justru akan semakin menyesatkan paham keagamaan kita semua?

Radikal dan Invisible Hands

Menurut Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, tidak sedikit ancaman terjadi yang membahayakan Pancasila. Tetapi, merespons ancaman tersebut, tidak sedikit pula resurgensi Pancasila itu dilakukan. Ada, setidaknya, tiga momentum resurgensi tersebut: sosialisasi empat pilar kebangsaan (2009), revitalisasi nomenklatur Pancasila dalam kurikulum pendidikan formal (2013), dan institusionalisasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2018 hingga sekarang.

Dengan demikian, kinerja pemerintah dalam menjaga NKRI, satu sisi, harus diapresiasi. Namun, bagaimana infiltrasi radikalisme dalam lembaga pemerintah itu bisa terjadi, merupakan sesuatu yang patut dipertanyakan. Semua kita tahu, militansi para radikalis tidak bisa disepelekan. Ketika suatu lembaga tidak lagi netral, maka bak virus, ia akan menjalar menjangkiti seisi ruangan. Satu orang akan bertindak sebagai invisible hands bagi orang lain lalu menguasai lembaga tersebut.

BACA JUGA  Mawas Diri dari Propaganda Khilafah di Bulan Ramadan

Aparatur Sipil Negara (ASN), beberapa waktu lalu, diberikan regulasi khusus untuk memantau aktivitas mereka. Paham radikal yang ditanggulangi pemerintah bukanlah melulu soal terorisme, melainkan intoleransi, intimidasi, dan sejenisnya. Hamli yang memiliki pengalaman di BNPT menegaskan, lembaga pemerintah yang terpapar radikalisme berdampak jelas terhadap orientasi kebijakan mereka sendiri. Ada tendensi tertentu dan, dalam hal itu, BNPT di antaranya sudah melakukan penangkapan.

Ia menegaskan, ini bukanlah tugas BNPT belaka. Harus ada kesinambungan antarmasyarakat untuk bersama melakukan kontra-narasi. Yang menarik, term ‘radikal’ itu dibenci oleh para radikalis itu sendiri. Mereka lebih suka istilah ‘Islam murni’ yang menampilan ke-kaffah-an dalam berislam. Ini sebagaimana disampaikan oleh Yenny Wahid, yang menyebut mereka sebagai pelaku keagamaan eksklusif-legal formalistik.

Menurut Yenny, proses penebalan eksklusivisme di kalangan ASN meliputi pendekatan personal dan engagemenet, penanaman ideologi eksklusivisme, membangun konsep diri dan kebanggaan sebagai umat terpilih, penanaman visi perjuangan, penugasan sebagai kader perjuangan, lalu yang terakhir ialah menggerakkan masyarakat. Karena pusarannya ialah lembaga pemerintah, maka sasaran gerakan tersebut adalah semua orang di lembaga terkait. Pelan tapi pasti, mereka akan menjadi radikal.

Dari situlah invisible hands itu terbentuk, dari proyek gerakan indoktrinasi tadi. Ade Armando memberikan contoh konkret tentang betapa bahayanya lembaga pemerintah yang terinfiltrasi radikalisme. LPDP, menurutnya, begitu juga dengan MUI, bisa menjadi contoh utama. Di tangan mereka, idealisme kebijakan tampak absen. Ia menyinyalir banyak sekali lembaga pemerintah yang kerasukan paham radikal, kemudian wewenang dan kewajiban di dalamnya disalahgunakan.

Langkah Taktis Pemberantasan

Yenny Wahid membuat sebuah abstraksi tentang masa depan Indonesia. Menurutnya, mampukah kita memerangi pertarungan gagasan? Mampukah kita memenangi pertarungan nilai? Mampukan kita memperkuat praktik moderasi beragama? Serta mampukah kita membangun praktik bernegara berlandaskan hak konstitusional? Jika jawabannya iya, kita mampu, maka infiltrasi paham radikal di tatanan kepemerintahan akan lenyap. Secara teknis, itu yang dapat kita lakukan.

Masuk dan mengakarnya radikalisme ke dalam lembaga pemerintah merupakan momok bagi eksistensi NKRI itu sendiri. Kita dibayang-bayangi kekhawatiran tentang masa depan negeri di satu sisi, juga dicekoki nilai-nilai dan gagasan yang merongrong kepercayaan kita kepada pemerintah di sisi lainnya. Lama-lama, tanpa penanggulangan yang tegas, ketika semua lembaga pemerintah sudah kerasukan paham tersebut, maka amendemen menjadi langkah terakhir—sistem negara akan berubah.

Khilafah ala HTI, dengan melihat infiltrasi yang terjadi, benar-benar berjarak dekat dengan kita, dan berada di pintu gerbang benteng kenegaraan kita. Yang dapat kita lakukan ialah mamasifkan pengajaran dan praktik moderasi beragama. Itu cara yang paling efektif. Taktis pemberantasan radikalisme di pusaran lembaga pemerintah membutuhkan pangku tangan semua pihak. Seleksi ketat harus dilakukan. Menekan seminimal mungkin potensi masuknya paham radikal ke dalam pemerintahan bukanlah semata-mata meminimalisir infiltrasi, melainkan kunci prioritas menjaga NKRI dari rongrongan para perusak negara.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru