32.9 C
Jakarta

Pelaporan Ismail Yusanto dan Pentingnya Menangkap Para Aktivis Khilafah

Artikel Trending

KhazanahOpiniPelaporan Ismail Yusanto dan Pentingnya Menangkap Para Aktivis Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ismail Yusanto, bekas Juru Bicara HTI, dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya oleh Ayik Heriansyah, mantan Ketua DPD HTI Bangka Belitung, pada Jum’at (28/8/2020) kemarin. Heriansyah yang merupakan pengurus Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama Jawa Barat itu didampingi Muannas Alaidid selaku kuasa hukum pelapor, serta Yasin dan Makmun Rasyid sebagai saksi pelapor. Pelaporan tersebut dilakukan lantaran Ismail Yusanto masih mengaku sebagai Jubir HTI, padahal organisasi tersebut sudah dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah karena bertentangan dengan Pancasila.

“Kami melaporkan Ismail Yusanto karena masih mengaku sebagai Jubir HTI, padahal organisasi ini sudah dibubarkan dan terlarang,” ujar Heriansyah melalui keterangan tertulis, pada Jum’at (28/8) malam, sebagaimana dilansir Tempo. Melalui kasus tersebut, Alaidid selaku kuasa hukum Heriansyah menegaskan, Ismail telah melanggar UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Ormas Pasal 82A  ayat (2) juncto Pasal 59 ayat (4) poin B dan C dengan ancaman seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Pelaporan Ismail Yusanto tidaklah mengagetkan. Yang mengagetkan adalah ketika si pelapor adalah mantan anggota HTI itu sendiri. Selama ini, Heriansyah memang sering melakukan kontra-narasi melalui tulisannya. Sebagai mantan anggota HTI, ia memiliki perspektif outsider dan insider. Itulah kenapa artikel-artikelnya tentang HTI cukup bernas, kaya data, dan faktual. Sedangkan pada saat yang bersamaan, indoktrinasi HTI—yang katanya berniat dakwah—tidak juga menemui titik jera.

Media sosial ramai dengan aksi pelaporan ini. Ketika pemerintah gamang menyikapi masifnya gerakan para aktivis khilafah, tidak kunjung ada kebijakan tegas, maka pelaporan oleh umat merupakan langkah alternatif. Kita memaklumi ketidaktegasan pemerintah karena hari ini masih sibuk menangani COVID-19, tetapi tidak ada kata maklum bagi dakwah khilafah. Siapa yang bisa menyangkal, bahwa semakin hari, bahkan setelah hadirnya film Jejak Khilafah, siasat para aktivis HTI itu semakin tidak terkontrol?

Dakwah Aktivis Khilafah

Salah satu faktor kepercayadirian aktivis khilafah, terutama Felix Siauw dan Ismail Yusanto, untuk semakin semangat menebarkan paham khilafah ala HTI ialah karena kesalahan memaknai khilafah itu sendiri. Melalui pendefinisian yang salah, umat juga digiring untuk gagal memahami khilafah, lalu kukuh menyatakan bahwa sekuat apapun ditentang, khilafah akan tegak. Maka hambatan apa pun bukan dianggap problem, melainkan cobaan dari sebuah ‘ikhtiar menerapkan ajaran sejati Nabi’.

Dakwah aktivis khilafah tidak lain adalah indoktrinasi, mencekoki umat ideologi buatan Taqiyyuddin an-Nabhani yang diatasnamakan Islam. Ismail Yusanto, melalui YouTube ‘Khilafah Channel’ misalnya, menyulut semangat umat Islam untuk tidak berkompromi kepada rezim yang sekarang, rezim zalim baginya. Bersama para aktivis khilafah lain, seperi Felix Siauw, Hafidz Abdurrahman, Nicko Pandawa, mereka menjadi kekuatan utuh yang menunggu momen Indonesia menjadi negara khilafah.

Dakwah tersebut dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mencatut tokoh yang dianggap otoritatif. Ini bisa dilihat, umpamanya, melalui kasus pencatutan nama Peter Carey beberapa hari lalu, yang berbuntut panjang hingga sekarang, dan justru menelanjangi penipuan HTI itu sendiri. Kedua, bermain gelar akademik. Kalau kita menonton film Jejak Khilafah, kita akan melihat Hafidz Abdurrahman mencantumkan semua gelar Lc-MA-nya, seolah ia ingin mengatakan ke penonton: “Saya bukan orang sembarangan,” sembari memakai kostum Azharian, agar umat terperangkap tipuannya.

Pangku tangan para aktivis HTI untuk menyebarkan khilafah harus juga disikapi dengan pangku tangan kita semua untuk menelanjangi kebobrokan ideologi khilafah mereka, dan untuk meyakinkan umat bahwa mereka politikus penipu yang berbaju Islam. Karenanya, setelah apa yang dilakukan Heriansyah dalam hal keberaniannya melaporkan Ismail Yusanto, harus didukung sebagai langkah taktis melenyapkan duri bernama HTI dari negeri ini.

BACA JUGA  Cara Nalar Kritis-Humanis Pemuda Menangkal Terorisme

Membentengi diri dari para aktivis khilafah adalah wajib, karena itu merupakan perspektif lain dari sebuah cita-cita menjaga negeri. Masalahnya tidak sesederhana itu. Kita akan mendapati respons agresif dari aktivis khilafah. Maka tidak mengherankan, ketika Ismail Yusanto dilaporkan, ramai juga di media sosial tentang ‘kriminalisasi ulama’—jurus klasik aktivis HTI untuk melawan hukum. Padahal, Ismail Yusanto tidak tahu membedakan fardu ‘ain dengan fardu kifayah, bagaimana mungkin ia dianggap ulama? Dan apakah menentangnya dan melaporkannya ke kepolisian lantas dianggap antek-antek rezim?

Menentang Khilafah Tidak Berarti Antek Rezim

Kasus korupsi lambat ditangani pemerintah, memancing spekulasi rakyat bahwa rezim Jokowi pro koruptor. Negara kita di ambang resesi ekonomi, memancing anggapan rakyat bahwa pemerintah gagal menangani COVID-19. Sederet persoalan lainnya juga menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak tentang rezim itu sendiri. Tetapi, dalam kasus radikalisme dan khilafahisme, negara belum mengambil langkah tegas. Kata Mahfud MD, Menko Polhukam, itu bukti bahwa pemerintah tidak memusuhi umat Islam.

Namun demikian, apakah lalu setiap respons melawan aktivis khilafah diidentikkan sebagai antek-antek rezim? Ini jelas tuduhan yang tidak benar. Framing kriminalisasi ulama adalah buatan aktivis khilafah itu sendiri. Sejatinya, kriminalisasi ulama itu tidak ada. Habib Luthfi bin Yahya, Kiai Mustofa Bisri, Habib Quraish Shihab, Gus Baha, dan lainnya, adalah ulama besar: apakah mereka mengalami masalah dengan negara? Apakah pernah dikriminalisasi negara? Tidak pernah.

Itu karena kriminalisasi ulama merupakan istilah tipuan untuk menentang hukum di satu sisi, dan untuk mendelegitimasi rezim Jokowi di sisi lainnya. Rakyat digiring untuk menentang pemerintah, karena ketika penindakan tegas tidak ada, aktivis khilafah bebas bergerak memprovokasi umat, membuat bangsa terpecah-belah oleh indoktrinasi khilafah ala mereka. Rezim ini tidak kontra-ulama. Tetapi, kita semua harus memusuhi oknum tertentu yang memakai label keulamaan untuk mencederai ulama itu sendiri. Siapa yang mem-framing Ismail Yusanto sebagai ulama? Dan apa tolok ukurnya?

Ismail Yusanto hanyalah salah satu. Seharusnya, juga harus ada pelaporan para aktivis khilafah lainnya. Mereka patut dilaporkan, ditangkap, bahkan ditahan. Itu bukanlah kriminalisasi ulama karena mereka memang bukan ulama, hanya mengaku-ngaku. Justru mereka adalah antek-antek amir Hizbut Tahrir, yang dengan khilafah palsunya sudah memorak-perandakan negara-negara Islam di Timur Tengah. Apakah kita akan membiarkan Indonesia hancur, seperti Suriah, misalnya?

Karenanya, kasus Ismail Yusanto harusnya menjadi pemantik dari langkah positif kita menangani radikalisme-khilafahisme di tanah air. Ini bukanlah karena membela rezim, lagi pula apa kepentingannya? Ikhtiar menjaga Indonesia memang selalu di-framing sebagai konfrontasi terhadap Islam. Bahwa khilafah itu palsu, bahwa HTI itu penipu, disembunyikan, tidak diakui. Apakah siasat-siasat HTI seperti Ismail Yusanto dkk yang demikian harus dibiarkan tanpa penindakan-penangkapan yang jelas? Opini yang tepat akan menjawab: “Para aktivis khilafah memang harus ditangkap!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru