32.9 C
Jakarta

Konsepsi Balā’ dan Cara Bersikap di Masa Pandemi

Artikel Trending

KhazanahTelaahKonsepsi Balā’ dan Cara Bersikap di Masa Pandemi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Memahami Balā’

Manusia sebagai makhluk pemangku kekuasaan di bumi (Khaīfah fi al-ardh) tidak akan pernah lepas dari bala’. Secara bahasa, balā’ diambil dari  kata kerja balā-yablū-balāan yang berarti menguji, atau mencoba. Sedangkan bentuk kata bendanya dapat bermakna ujian, cobaan, maupun musibah.[1] Dalam makna yang positif, keberadaan bala’ dapat dianggap sebagai ujian yang dapat meningkatkan, menguatkan keimanan manusia ataupun menjadi pengingat bagi seorang hamba atas perbuatan dosa yang telah dilakukan. Namun dalam konteks yang negatif, balā’ dapat memberikan intonasi bahwa seseorang mendapatkan hukuman sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah diperbuat. Namun terlepas dari dua konteks tersebut, sepanjang sejarah manusia, sepanjang itu pula bala’ akan membersamai kehidupan seorang insan.

Pada penciptaan manusia pertama, Nabi Adam, telah dikisahkan melalui narasi yang menarik melalui adanya peran antagonis yang diperankan oleh syaitan untuk menguji kepatuhan Nabi Adam kepada Allah swt. Kisah tersebut terekam secara rapi dalam (QS. Al-A’raf[7]: 17-22). Berangkat dari ayat 17 surat al-A’raf yang bermakna bahwa Syaitan akan menjadi balā’ yang akan mendatangi manusia dari segenap penjuru, dan berupaya menyesatkannya sampai ajal menjemputnya. Dari sini, godaan yang dipraktikkan oleh Syaitan kala itu merupakan salah satu dari manifestasi balā’ yang sering-kali ditemui manusia,  baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, balā’ berupa godaan kepada Nabi Adam untuk memakan buah Khuldi, dapat dikatakan sebagai wujud balā’ yang pertama kali menimpa manusia.

Mengetahui bahwa balā’ yang menimpa manusia adalah sebuah keniscayaan, maka menyikapinya dengan arif dan bijaksana sangatlah diperlukan. Bukan hanya bagi orang yang tertimpa balā, namun juga bagi individu lain yang mengetahui bahwa saudaranya sedang berduka. Bagi orang yang terkena balā’ mencoba untuk selalu sabar adalah hal terbaik yang bisa dilakukan, seraya memaknai balā’ yang menimpanya sebagai sebuah ujian yang dapat meningatkan kadar keimanannya, serta menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana dalam sabda Nabi[2]:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Artinya:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhori)

Fenomena yang akhir-akhir ini muncul, yakni terkait adanya justifikasi bahwa seseorang yang tertimpa balā dikaitkan dengan hukuman terhadap orang tersebut. Tentu hal ini menegasikan nilai empati yang seharusnya menjadi pondasi dalam berperilaku seorang muslim. Padahal, balā’ yang menimpa orang muslim disebut al-Qur’an sebagai sebuah balā’ yang baik, “waliyubliya al-mu’minīna balāan hasanah”. Pun- begitu, dari keseluruhan ayat al-Qur’an, kata balā’ beserta derivasinya dapat ditemukan setidaknya di 37 tempat yang mayoritas konteksnya adalah ujian, bukan hukuman.[3] Bentuk-bentuk balā’ juga sangatlah beragam, seperti balā’ yang menimpa Nabi Ibrahim, atau orang muslim yang mendapatkan balā’ melalui harta dan dirinya. Sugguh aneh, jika sesama muslim menghujat saudaranya sendirinya sebab balā’ yang menimpa kepada saudaranya sendiri.

Menyikapi Balā’ dalam Wujud Corona

Covid-19 yang dewasa ini dianggap sebagai one of the greatest ever pandemics in the long history of human life, adalah bagian dari balā’. Dalam menyikapi isu pandemi Covid-19, terdapat sebuah ayat yang layak dijadikan landasan untuk bersikap, yakni dalam surat at-Taubah ayat 122:

BACA JUGA  Striving for Superiority: Berjuang Melawan Stigma sebagai Keluarga Teroris

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ

 

Artinta:

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah[9]: 122).

Ayat ini diturunkan setelah perbincangan ayat-ayat yang mendeskripsikan tentang orang yang enggan untuk ikut serta berperang bersama Rasulullah saw., dan setelah dijelaskannya keutamaan para mujahid yang berperang di jalan Allah. Yakni dalam (QS. At-Taubah[9]: 120-121). Penggalan dua ayat tersebut merupakan sebuah motivasi nyata agar ikut berperang. Namun hal yang menarik, tepatnya pada ayat setelahnya (QS. At-Taubah[9]: 122) yang menganjurkan untuk tidak secara total ikut perperang di jalan Allah. Bisa kita anggap bahwa perintah untuk berperang tidak berlaku secara umum, hal ini yang dijelaskan oleh kata “kaffah” yang bermakna “keseluruhan”.

Kemudian terdapat sebuah petanyaan, mengapa perang di jalan Allah yang mempunyai keutamaan yang besar di sisi Allah, namun al-Qur’an tidak memerintahkan untuk melakukannya secara keseluruhan? Dalam tafsir as-Sya’rawi dijelaskan, bahwa seorang muslim mempunyai dua tugas: Pertama, tugas untuk menjaga eksistensi agama Islam. Kedua, tugas untuk mendakwakan dan menyebarkan agama Islam. Jika semua berperang di jalan Allah, tentu tugas kedua tidak akan terealisasikan. Sebab, perang mempunyai resiko besar dengan kemungkinan menghilangkan nyawa manusia.[4]

Hal demikian juga yang berlaku di masa pandemi ini, para petugas medis mendapatkan sorotan yang luar biasa karena telah berperan sebagai superhero bahkan dalam konteks ini dapat menjadi mujahid yang berjuang menyelamatkan saudaranya dari Covid-19. Bagaimana cara membantu mereka? Ayat di atas, sebenarnya mengajari kita untuk berjuang berdasarkan peran kita masing-masing, sekaligus menunjukkan kedinamisan makna Jihad. Jika dulu, berjihad sering dikaitkan dengan perang sebab masa-masa tersebut penuh dengan konfrontasi dan peperangan. Dalam makna yang luas, berjuang tidak hanya berada di posisi peran-peran di garda depan. Seorang pendidik yang tetap memaksimalkan jam pelajaran, dapat dianggap sebagai sikap jihad (berjuang). Para pelajar, dengan tetap belajar di rumah sudah memanifestikan berjuang melawan Covid-19. Bahkan usaha yang paling ringan, yakni dengan diam di rumah sudah termasuk berjuang. Maka, tidak selayaknya terdapat sebuah pemaksaan dalam peran-peran tertentu, karena setiap individu memiliki spesialisasi di bidang yang tertentu pula. Sekian.

Moh. Nailul Muna

 Referensi

Munawwir, A.W. 1997. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. 2002. Shohih Bukhori. Beirut: Dar ibn Katsir.

Madkur, Ibrahim. 1989. Mu’Jam alfaz al-Qur’an al-Karim. Mesir: Ihya’ at-Turats.

Sya’rawi, Imam as-. 1991. Tafsir as-Sya’rawi. Kairo: Ikhbar al-Yaum.

 

[1] A.W. Munawwir. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 109.

[2] Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Shohih Bukhori (Beirut: Dar ibn Katsir, 2002), hlm. 1432.

[3] Ibrahim Madkur. Mu’Jam alfaz al-Qur’an al-Karim (Mesir: Ihya’ at-Turats, 1989), hlm. 162.

[4] Imam as-Sya’rawi. Tafsir as-Sya’rawi (Kairo: Ikhbar al-Yaum, 1991), hlm. 5569.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru