33 C
Jakarta
Array

Kemiskinan Perkotaan Dorong Radikalisme di Perancis

Artikel Trending

Kemiskinan Perkotaan Dorong Radikalisme di Perancis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 Harakatuna.com. Paris-Upaya mencari latar belakang aksi serangan kelompok Islamis bersenjata mematikan di Paris yang terjadi Perancis berpusat pada upaya melawan Islam radikal dan memperkuat tradisi sekular negara itu.

Namun di “cites”, kompleks rumah susun kumuh yang menjadi tempat ketiga penembak itu tumbuh dan besar, banyak penghuni yang mengatakan ketidakacuhan pemerintah terhadap mereka merupakan penyebab utama.

“Tidak semua penghuni di sini penjual narkoba, perampok bank dan bahkan jihadis,” ujar Yamine Ouassini, warga berusia 28 tahun yang merupakan generasi kedua imigran asal Afrika Utara.

Satu dekade lalu dia ikut dalam aksi kerusuhan di Aulnay-Sous-Bois, sekitar 30 menit sebelah timur laut Paris, sebagai protes atas kesuraman kehidupan di kompleks rusun kumuh yang miskin di perkotaan Perancis.

Kini dia seorang ahli listrik tetapi tidak punya pekerjaan, dan dia menegaskan bahwa tidak ada perubahan apapun.

“Masalah di Perancis bukan sekularisme atau Islam, masalahnya adalah penangguran. Itu masalah sebenarnya dan kita tidak boleh menyembunyikannya di balik isu lain.”

Aulnay, yang mirip dengan berbagai kota kecil berupa kompleks rusun kumuh yang ada di sekeliling kota-kota di Perancis, menjadi pusat kerusuhan pada 2005 yang bertujuan menjadi satu peringatan.  Satu kompleks rumah susun kumuh yang terletak hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Dan anak-anak pun lebih banyak bermain bola daripada bersekolah.

Sebagian besar penghuninya merupakan keturunan warga asal Afrika Utara dan Afrika sub-Sahara, yang selama bertahun-tahun hidup bersama.

Hampir satu dari dua keluarga adalah ibu tunggal atau tanpa figur ayah. Satu dari lima penghuni tidak bekerja, naik dari angka satu dari tiga untuk angkatan kerja usia 15-24 tahun. Dua kali lebih besar dari angk rata-rata nasional.

Dalam beberapa tahun jumlah dana telah digelontorkan cukup besar; dan terlihat sejumlah rusun yang dirobohkan dan diganti dengan unit-unit bertingkat lebih rendah.

Auditor pemerintah mengatakan bahwa pada 2012 lebih dari 42 miliar euro dialokasikan untuk renovasi perumahan perkotaan di seluruh wilayah Perancis.

Pengeluaran untuk sektor umum anggaran Perancis mencapai sekitar 56 persen dari produksi nasional, salah satu yang tertinggi di Eropa. Tetapi di cites, yang dipersoalkan adalah ketidakhadiran pemerintah.

Sistem pendidikan dinilai tidak sesuai dengan keperluan karena mengarahkan para remaja untuk melakukan pekerjaan kasar bukan menjadi pekerja profesional.

Di sejumlah tempat jumlah guru terlalu sedikit dan pemerintah daerah kewalahan, sehingga tempat pertemuan sosial pun hancur. Para pejabat di lapangan mengatakan Paris tidak mendengarkan keluhan mereka.

“Kami diperintahkan menjelaskan nilai-nilai Perancis kepada murid, dan bahwa semua warga negara memiliki kesetaraan, tetapi mereka melihat bahwa hal itu tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melihat kakak mereka menganggur, atau orangtua yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Lahoucine Belkaid, guru sejarah dan geografi di Aulnay.

“Saya besar di sini, tetapi saya mendapat kesan murid sekarang tidak mau mendengar yang kami ajarkan. Bagi mereka, kita hidup dalam dua dunia yang berbeda.”

Upaya pemerintah Sosialis Presiden Francois Hollande untuk mengurangi hutang publik memiliki efek domino terhadap bantuan bagi masyarakat.

Asosiasi komunitas ditutup atau anggarannya dikurangi, yang berarti hanya ada sedikit petugas untuk memberi dukungan, panduan atau nasihat bagi anak-anak, remaja atau kaum muda.

Harapan Terakhir

Karena diharapkan bisa bangkit sendiri, sebagian kaum muda di sana mencoba membuat satu struktur untuk mencegah remaja lain jatuh ke perilaku delinkuen.

Mohammed Hammou mengorganisir acara piknik dari kompleks perumahan Mile-Mille di Aulnay, dimana tiga bulan lalu satu klub olahraga harus ditutup.

“Sangat sulit karena kami tahu banyak anak yang tidak punya motivasi dan hilang harapan. Kami melakukan kegiatan ini secara kecil-kecilan, tetapi perlu dilakukan dalam skala yang lebih besar. Mereka memerlukan lebih banyak dukungan.”

Samia Ghali adalah Senator Sosialis keturunan Aljazair yang besar di salah satu pemukiman perkotaan paling bermasalah di Marseille, dan dia meminta militer membersihkan sejumlah kompleks perumahan di kota terbesar kedua Perancis ini.

Dia mengatakan area itu menjadi tempat yang tidak bisa didatangi oleh polisi di malam hari. Narkoba, penjualan senjata dan prostitusi merajai banyak wilayah kompleks rusun kumuh yang hanya mengenal hukum rimba, dan banyak anak-anak sudah tidak bisa “membedakan baik dan buruk.”

“Anda memiliki keluarga yang menderita dan hidup dalam kesusahan, dan anda meminta mereka untuk berlaku seperti orang Perancis?” ujarnya kepada Reuters ketika menjelaskan alasan ratusan remaja menolak bergabung dalam aksi mengehingkan cipta selama satu menit untuk mengenang 17 korban serangan di Paris ini.

“Banyak dari mereka tidak pernah keluar dari kompleks perumahan mereka. Perancis rumah mereka. Semakin anda tenggelam dalam kesusahan, semakin tinggi tekad mencari sesuai untuk mengobatinya. Bagi sejumlah orang hal itu adalah narkoba, bagi yang lain berupa agama,”

Dalam 30 tahun, pemerintah sayap kiri dan sayap kanan Perancis telah membuat puluhan rencana untuk menghidupkan lokasi-lokasi tertinggal ini; sebagian besar gagal karena kekurangan dana atau tidak lagi menjadi perhatian utama setelah pemilihan umum berakhir.

Pemerintah Hollande tidak berbeda. Janji kampanye yang dikemukakan pada 2012 seperti melindungai layanan umum dari pemotongan anggaran dan meningkatkan bantuan bagi sekolah di tempat-tempat miskin pun tidak dipenuhi.

Etnis, Pemisahan Sosial

Tetapi serangan pada Januari lalu mengguncang kelompok mapan di panggung politik, dan ada pengakuan bahwa keadaan sosial berada dibalik perubahan sikap ketiga pelaku dari bermain olahraga menjadi melakukan jihad.

Dalam satu pernyataan paling terbuka dari pejabat pemerintah mengenai masyarakat Perancis, Perdana Menteri Manuel Valls mengatakan sudah saatnya mengakhiri “pemisahan secara geografi, sosial dan etnis”.

Sebagai tanggapan, satu komite pemerintah akan mengatasi masalah perkumuhan dan pemisahan, dan kurikulum sekular negara ini akan lebih mengajarkan pendidikan etis dan perilaku madani.

Simbol-simbol Perancis seperti bendera tiga warna dan lagu kebangsaan akan lebih diperkenalkan. Murid miskin akan menerima bantuan lebih besar dan sekolah akan mendapat insentif finansial jika lebih beragam secara sosial.

“Di masa lalu, sudah banyak tanda-tanda kasih, tetapi tidak ada aksi kasih sayang,” ujar Mehdi Bigaderne, 32, wakil walikota Clichy-Sous-Bois, yang menjadi asal muasal kerusuhan 2005.

Pada 2004, laporan “Obin” yang disponsori pemerintah konservatif yang berkuasa menulis bahwa petugas di beberapa wilayah cenderung menyatukan orang-orang yang kesulitan dalam satu kelompok yang mendorong kelompok agama bermotivasi politis, terutama di kalangan komunitas Muslim yang berjumlah lima juta oorang, memanfaatkan perasaan tidak puas warga.

Namun, hal ini ditinggalkan karena dianggap Islamophobia.

Malik Boutih, sekutu lama Hollande dan mantan presiden kelompok kampanye SOS Racism, mengatakan pemerintah harus menunjuk 50 komisaris daerah untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan layanan seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan di tempat-tempat berbahaya sampai warga merasa lebih terasimiliasi.

“Risiko jika tidak mengambil langkah keras adalah situasinya akan memburuk,” ujarnya, merujuk pada kebangkitan lebih banyak Islam radikal di wilayah tersebut.

“Islamo-Nazi direkrut dalam dua gelombang, pertama untuk menakuti mereka yang berada disekitar, kemudian membuat mereka tidak lagi takut tetapi mendukung ide-ide itu. Ini sebabnya kita harus menawarkan sesuatu yang lebih bagi mereka pendukung nilai-nilai demokrasi kami dibandingkan dengan hadiah yang diiming-imingkan oleh ide-ide tersebut.”

Di Aulnay, sebagian besar warga mengatakan masalahnya lebih mendalam dari itu – perasaan terasingkan yang mendalam di kalangan warga biasa dari kelompok eli.

Robert Ebode, bankir berusia 27 tahun keturunan Afrika yang besar di kompleks rusun perkotaan, mengatakan Perancis harus berhenti mencap warga yang merupakan keturunan imigran sebagai pekerja kasar atau pembuat onar.

“Ada sikap acuh tak acuh, klise,” ujarnya. “Eselon atas hidup di dimensi lain. Mereka mendapat pendidikan di sekolah terbaik dan tidak merasa harus mendengar,” (yns)

Sumber: CNN

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru