25.9 C
Jakarta

Inspirasi Menulis itu Dicari, Bukan Ditunggu

Artikel Trending

KhazanahInspirasi Menulis itu Dicari, Bukan Ditunggu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Manusia menjadi makhluk Allah yang paling sempurna karena punya akal budi dan nafsu, lengkap. Dengan akal budi, manusia bisa jadi lebih mulia daripada malaikat berkat pertimbangan-pertimbangan etis dan moral, sehingga bisa beribadah tidak hanya secara ritual, tapi juga sosial. Sementara berkat nafsu, manusia bisa jadi lebih hina dan kotor dari hewan, karena sifat-sifat kehewanan yang lebih didahulukan daripada akal pikiran.

Dengan akal budi dan nafsu, manusia punya dua potensi. Potensi kebaikan dan potensi keburukan. Apabila akal dan nafsu dipertemukan dan dikolaborasikan kemudian menghasilkan karsa (kehendak) yang baik, berarti potensi kebaikan lebih digali yang akhirnya membuahkan tindakan-tindakan positif.

Akal dan nafsu menjadi mesin sekaligus alat manusia dalam melakukan serangkaian aktivitas dalam hidup, termasuk menulis. Para penulis masyhur, mulai dari para ulama yang menggoreskan ilmunya dalam tulisan, sampai para pemikir dan sastrawan yang mengguratkan intelektualitas yang didapatkan dari perasaan dan perenungan yang dalam, semua menggunakan akal dan perasaannya (nafsu) dalam menulis.

Ketika sedang menulis, proses kreatif menuangkan buah pikir dan rasa ke dalam tulisan, itu tanda bahwa akal dan rasa kita sedang bekerja. Bagaimana membuat tulisan menjadi logis dan runut, itu tugasnya akal. Sementara membuat tulisan mengalir, enak dibaca, dan terdapat unsur keindahan di dalamnya, itu tugasnya rasa.

Tulisan hanya akan tertuang rapi apabila ada inspirasi yang mendorongnya. Inspirasi akan terus ada apabila akal dan rasa terus diselami, dipertemukan, dan diproduksi. Inspirasi menulis itu dicari dan dibuat, bukan ditunggu hadir karena ada momen-momen tertentu.

Inspirasi Menulis

Biasanya, ketika inspirasi menulis sedang mentok, kita langsung memvonis diri sedang dilanda penyakit menulis yang bernama writers block, sebuah keadaan di mana kita menganggap pikiran sedang buntu, inspirasi sedang mati. Padahal, saya yakin, bahwa keadaan writers block itu bukanlah suatu penyebab, tapi akibat.

Writers block atau inspirasi buntu bukanlah keadaan yang menyebabkan kita sulit menulis, alias bukan karena inspirasi sedang mati lantas kita jadi sulit menulis. Writers block adalah buah atau akibat dari kemalasan kita mendayagunakan akal dan rasa, sehingga tulisan tidak kunjung tertuang karena kita terus menyalahkan keadaan diri yang sedang mengidap writers block.

Wahai para penggiat literasi, terkhusus pembelajar yang gemar menulis, writers block itu hanya alasan yang kita buat-buat agar kita berhenti menulis. Kalau memang mau berhenti menulis sejenak, jangan pakai istilah writers block demi membela keinginan yang terus ingin menulis tapi merasa tidak didukung oleh inspirasi yang sedang buntu. Pakai saja istilah ingin istirahat dulu, agar tidak menye-menye membuat malas berkamuflase menjadi writers block.

Akal dan rasa adalah mesin yang kita miliki dalam memproduksi inspirasi. Jadi, ketika inspirasi terasa mati, berarti akal dan rasa kita sedang tidak digenjot, atau sedang lelah dan minta istirahat.

BACA JUGA  Membangkitkan Api Kreativitas Literasi, Ini Tipsya

Banyak orang yang menggantungkan inspirasi menulisnya pada ilham, sehingga ketika ilham itu datang karena momen tertentu, baru inspirasi ada dan menulis. Padahal, dalam hidup yang berwarna dan berdinamika, kita bisa secara sadar “memaksa” ilham senantiasa hadir agar inspirasi menulis terus menyala.

Membaca Fenomena dan Wacana

Mau bertanya kepada siapapun, kalau masih ada kita bertanya kepada sastrawan lawas macam Pramoedya Ananta Toer atau Buya Hamka, sampai yang masih ada dan kekinian seperti Habiburahman El Shirazy atau Eka Kurniawan, apa yang membuat mereka terus menulis ya pasti membaca. Inspirasi mereka menulis dan berkarya tentulah dari bacaannya sehari-hari.

Membaca itu ada dua. Membaca fenomena dan membaca wacana. Fenomena kita baca berupa realitas kejadian dalam kehidupan. Kita cermati, pahami, kemudian renungi dalam refleksi dengan diri sendiri. Nantinya, kita akan mendapat inspirasi dalam berbagai wujud, bisa curahan, keresahan, kegelisahan, hingga harapan.

Di samping membaca fenomena, kita juga perlu membaca wacana. Tulisan orang lain dalam bentuk buku ataupun tulisan-tulisan yang berceceran di internet, patut kita baca. Apa yang orang lain tulis merupakan pemahaman dan pemaknaannya atas sesuatu fenomena dan wacana yang kemudian mereka tuliskan. Dari situ, kita akan mendapat insight atau pengetahuan untuk kita tuliskan ulang.

Kalau kata Buya Hamka, beliau itu menulis gubahan. Gubahan berarti beliau mengumpulkan dan mempertautkan pemikiran orang-orang, kemudian beliau tambahkan sendiri dengan pemikirannya. Jadi, suatu tulisan itu adalah hasil kontemplasi sekaligus akumulasi dari apa yang telah kita baca.

Pembacaan dan pemaknaan kita atas fenomena dan wacana akan terkumpul menjadi suatu bahan bakar inspirasi tulisan. Inspirasi yang masih abstrak itu selanjutnya akan benar-benar menjadi inspirasi yang konkret kalau dituangkan ke dalam tulisan. Dengan kata lain, menulis adalah kegiatan praktis menyusun inspirasi demi inspirasi yang didapat dari bacaan.

Mulai sekarang, tanamkan dalam pikiran bahwa inspirasi menulis itu dicari dan diproduksi, tidak ditunggu. Kerja kreatif membuat inspirasi dan tulisan merupakan kegiatan yang harus dilatih dan dibiasakan, sehingga kita tidak lagi menggantungkan nasib tulisan pada inspirasi yang katanya ilham tiba-tiba datang itu.

Akbar Malik
Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Menyukai isu keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru