27.5 C
Jakarta

Handhalah dan Naji Al-Ali: Simbol Perlawanan yang Abadi (Bagian 2/2)

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahHandhalah dan Naji Al-Ali: Simbol Perlawanan yang Abadi (Bagian 2/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Handhalah: Sisi Lain Naji Al-Ali

Menurut Jeff Barnes dalam artikelnya yang berjudul Handhala and the Messiah: Christological Representation in the Cartoons of Naji Al-Ali, mengungkapkan bahwa capaian Naji dalam menghasilkan karikatur-karikaturnya yang monumental memiliki dampak yang sangat signifikan, terutama dalam konteks kesenian di Palestina yang semakin berorientasi pada semangat perlawanan. Tak hanya itu, menurut Barnes, cara Naji mengekspresikan kritik-kritik perlawanannya ke dalam sebuah gambar karikatur mampu memberikan gagasan alternatif atas persoalan dan dinamika bangsa Palestina, baik ke dalam perspektif regional maupun global.

Ketika bangsa Arab pada era 1970-an mulai memasuki fase “diam” dan apatis atas persoalan Palestina, justru Naji dengan lantang memecah kebisuan itu dengan memunculakn karikatur yang kemudian menjadi maha karyanya, yaitu Handhalah. Handhalah digambarkan sebagai anak kecil berusia 10 tahun yang bertelanjang kaki sambil memalingkan punggungnya dan meletakkan kedua tangannya ke belakang. Kemuculan Handhalah terjadi pada tahun 1969 saat Naji bekerja di sebuah surat kabar di Kuwait.

Handhalah dan Naji Al-Ali: Simbol Perlawanan yang Abadi

Karakter ini begitu sangat personal bagi Naji, ia tak hanya representasi bangsanya, tapi juga bagian dari dirinya yang lain. Handhalah yang terlahir dalam usia 10 tahun sama seperti usia Naji saat terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya bersama keluarganya akibat penjajahan Israel. Dan menurut Naji, usia Handhalah tidak akan pernah bertambah, ia akan terus dalam usia 10 tahun hingga akhirnya bisa kembali ke tanah airnya, Palestina. Sikapnya yang memalingkan punggung dan meletakkan kedua tangannya ke belakang adalah simbol menolak tunduk, menolak takluk begitu saja meski dalam ketidakberdayaan. Sementara pakaiannya yang lusuh dan bertelanjang kaki memberi makna yang mendalam bahwa ia adalah pribadi yang tengah berada dalam jurang kemiskinan.

Kelahiran Handhalah seolah menjadi kelahiran kedua bagi Naji. Handhalah seperti mengantarkan Naji ke perjumpaan yang lebih intim bersama para pembacanya. Handhalah kemudian selalu identik dengan sosok Naji dan sosok Naji juga selalu identik dengan Handhalah. Keduanya tak bisa dipisahkan dan keduanya, selalu bersama-sama mengisi kesadaran bangsa Arab yang sebelumnya pernah layu dan nyaris putus harapan.

Karakter Handhalah mencerminakan ketidakberdayaan atas kekuatan rezim-rezim yang terlibat dalam persekongkolan dengan Israel. Ia menjadi representasi kekalahan Palestina. Sehingga, karakter Handhalah selalu muncul dalam berbagai rentetan peristiwa genting terkait persoalan Palestina dan bangsa Arab pada umumnya. Naji mewakilkan dirinya kepada Handhalah untuk menjadi saksi bisu atas semua itu. Mulai dari Intifada Pertama, pada tahun 1987 dan seterusnya.

Dalam artikelnya yang berjudul Naji Al-Ali and the Iconography of Arab Secularism, Sune Haugbolle mengatakan “dia (Naji) mengambil anak laki-laki itu (Handhalah), yang merupakan dirinya sendiri, dan menempatkannya di hadapan ketidakadilan dunia Arab”. Melalui Handhalah, Naji ingin hadir sebagai sosok yang tak ingin melewati sedikitpun detail-detail peristiwa yang barangkali diabaikan orang lain. Lebih lanjut, Haugbolle menegaskan bahwa pemilihan nama “Handhalah”—yang arti literalnya adalah “bauh kecil dan sangat pahit”—dapat dilihat sebagai metafora satire untuk menggambarkan Palestina dan bangsa Arab yang benar-benar berada dalam situasi teramat “sangat pahit” di tengah hancurnya mental mereka untuk bersatu.

Naji Al-Ali dalam Puisi

Ratapan-ratapan pilu dan sendu tentang sosok Naji Al-Ali dapat dibaca dari beberapa penyair yang menggubah puisi ratapan untuk Naji. Selain akan selalu abadi melalui karikatur-karikaturnya, sosok Naji juga terekam begitu indah dalam berbagai puisi. Penyair Irak, Ahmad Mathar dalam puisinya yang berjudul Ma Ash’aba Al-Kalam Ila Naji Al-Ali mengatakan:

Mohon maaf

Sebab aku adalah seonggak mayat

Wahai orang-orang yang sudah mati

Sedangkan Naji adalah akhir orang-orang hidup

Dalam pandangan Mathar, Naji Al-Ali tidaklah mati, ia masih dan akan terus hidup. Makna kematian bagi Mathar bukan saat ruh meninggalkan jasad yang terkubur dalam liang lahat, tetapi pada saat makin marak penindasan dan penghancuran hak-hak orang lain. Sehingga Mathar tak melihat Naji telah mati, justru orang-orang yang ditinggalkannya adalah orang-orang yang tengah mengalami kematian yang sebenarnya, kematian saat udara masih bisa dihirup nafas tapi tergadaikan oleh kehormatan yang kian dilacurkan.

Selain Ahmad Mathar, Penyair Irak yang lain, Mudhaffar Al-Nawab juga mengenang Naji dalam salah satu penggalan puisinya:

Kau menggambar diam yang bening

Karena sebuah kota membutuhkan diam yang bening

Kau menggambar dirimu

Melangkah menuju arah selatan

Pada akhirnya, semua gambar yang diciptakan oleh Naji tak lain adalah cara dia mengeskpresikan “diam yang bening”. Ia tak perlu berbicara banyak dengan kata-kata. Karena orang-orang dalam sebuah “kota” tak lagi membutuhkan omongan-omongan kosong. Apa yang mereka inginkan hanyalah “diam yang bening” yang hanya bisa mereka dapatkan dengan meratapi karikatur-karikatur Naji yang diam, tapi sekaligus berbicara.

Wallahua’lam.

 

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru