29.7 C
Jakarta

Gus Muwafiq dan Sinyal Lenyapnya Tren Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamGus Muwafiq dan Sinyal Lenyapnya Tren Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masih tentang khilafah ala Hizbut Tahrir. Belakangan ini, narasi khilafah, di berbagai platform, bisa dikata kembali menaik tajam. Utamanya ketika Felix Siauw memantik cuitan sarkastis di akun Twitter miliknya, umat lagi-lagi dibuat bingung. Pro-kontra pun, seperti biasanya, tidak bisa dielakkan. Kita, yang kontra-khilafah, mencoba meluruskan Felix agar umat tidak tersesat. Namun, ramai-ramai, pengikut Felix menyerang balik. Tatkala Hagia Sophia diubah menjadi masjid, kemasifan mereka tak terkontrol.

Hagia Sophia, hari-hari ini, memang menjadi sentral topik di seluruh dunia. Kita tidak akan berbicara bagaimana otoritas Kristen, terutama di Yunani, merespons kebijakan pemerintah Turki tersebut. Yang penting dibahas ialah euforia di kalangan umat Islam. Sebab, imbasnya, umat Islam di Indonesia juga demikian. Banyak yang kukuh meyakini, menerangkannya di mimbar-mimbar, sebentar lagi, nubuat kebangkitan Islam segera terwujud. Apakah artinya khilafah ala Hizbut Tahrir akan segera nyata berdiri?

Saya akan mengulas bagian Hagia Sophia dan wacana seputar kebangkitan Islam akhir zaman dalam episode yang berbeda. Kali ini, saya akan fokus terhadap fakta internal-ironis negara kita: kenapa propaganda tentang khilafah tidak jua menemukan titik akhir? Kenapa tidak sedikit umat yang masih percaya ajakan para aktivis politik Hizbut Tahrir? Kenapa umat dibuat bebal dan merah telinga ketika kita mencoba mengkonter politisasi syariat para agen Hizbut Tahrir?

Kanal YouTube 164 Channel Nahdlatul Ulama melakukan wawancara virtual dengan Gus Muwafiq, dengan topik “Kapan Pro Kontra tentang Khilafah akan Berakhir?” pada Ahad (26/7) kemarin. Wawancara menarik sebab tokoh Islam Nusantara tersebut memberikan sinyal-sinyal, kapan narasi khilafah akan mereda. Melalui uraiannya, pergerakan para aktivis dibongkar. Gus Muwafiq menegaskan, term tersebut di Timur Tengah sudah tidak laku. Mereka yang jumlah kecil tidak perlu ditanggapi serius.

Benarkah demikian? Itu yang akan diulas di sini. Uraian Gus Muwafiq yang menyinyalir pro-kontra khilafah bisa jadi benar, tetapi fakta di lapangan juga mesti diperhatikan. Di Indonesia, khilafah dipromosikan sebagai syariat. Dan parahnya, umat memercayai itu sepenuhnya.

Syariatisasi Khilafah Tahririyah

Boleh jadi, saya harus mengubah sebutan Hizbut Tahrir menjadi Khilafah Tahririyah. Hal itu disandarkan terhadap fakta, bahwa memang Hizbut Tahrir di negeri ini sudah punah. Yang tersisa sekarang adalah pergerakan individual mereka. Mereka yang alumni, tidak mau dikata bagian darinya. Misal, Ismail Yusanto tidak mau dikata juru bicara Hizbut Tahrir, melainkan berubah status menjadi ‘dai’ hingga ‘ulama’. Felix Siauw tak sudi dianggap relawan Hizbut Tahrir, lebih suka disebut ‘penulis’ atau ‘pemerhati Islam’.

Jelas, semua itu merupakan satu bentuk dari penyamaran diri. Mereka paham betul bahwa Hizbut Tahrir bersama sepak terjang politiknya, sudah basi. Sebagai alternatif, mereka masuk ke Islam secara umum. Gerakan politiknya dianggap syariat, dan status dirinya ditransformasikan menjadi sangat Islami: dai, ulama, dan pemerhati agama. Fakta ini mengafirmasi apa yang disampaikan Gus Muwafiq bahwa mereka murni adalah gerakan politik (al-hizb), tetapi mengeksploitasi Islam. Gus Muwafiq menjelaskan:

“Kalau yang berbicara politisi, begitu sistem politiknya berganti ya berhenti ngomongnya. Hizbut Tahrir itu kan kelompok politik. Nanti kalau politiknya sudah terakomodir di beberapa tempa ya nggak ngomong lagi... Beda kalau yang berbicara ideolog benaran, ya konsisten dan terus disampaikan. Kapan selesainya, ya tak lama-lama juga selesai. Tiba-tiba sekarang ada biasalah tren baru. Ada yang bawa tren rambut, makanan, pemikiran, ada yang bawa tren khilafah. Lama-lama juga selesai juga.”

Gus Muwafiq, sebagaimana kita juga harus demikian, menyadari bahwa tujuan di balik narasi tersebut bukanlah meraup kembali kejayaan Islam, melainkan ingin menjadi penguasa politik. Katakanlah, khilafah ala Felix, Ismail Yusanto, dan agen-agen Hizbut Tahrir berhasil diwujudkan. Apakah Islam otomatis akan Berjaya? Sama sekali tidak. Di sini hendaknya kita melihat ahistorisitas mereka. Mereka awam untuk menyadari, bahwa di masa lalu, Islam maju berkat keilmuan, bukan bidang politik belaka.

BACA JUGA  Tahun 2024: Masihkah Ada Harapan Baik Bagi Bangsa Indonesia?

Tren khilafah hari ini merupakan proyek syariatisasi ideologi politik Hizbut Tahrir. Kita menyebutnya Khilafah Tahririyah. Masalahnya, apakah akan kita biarkan mereka memperoleh kekuasaan khilafah demi meredakan?

Narasi Perebutan Kekuasaan

Narasi perebutan kekuasaan, jika itu semua tujuannya, maka bangsa ini cukup kuat untuk menghadapi keompok kecil seperti mereka. Itu, sebagaimana disinyalir Gus Muwafiq, sudah terjadi sejak dulu dan nanti akan mereda dengan sendirinya. Kita tidak hendak membenarkan bahwa khilafah akhir zaman akan segera tegak. NKRI sudah final dan karena terlalu besar, mustahil dikomando satu amir, amir Hizbut Tahrir, yang sampai kini tidak jelas orang itu siapa. Yang ada hanya wacana, wacana, seterusnya.

Tren khilafah memang tumbuh relatif lebih alot. Itu karena ia memakai agama sebagai jubah, dan nubuat Rasulullah sebagai kendaraan. Tidak ada yang islami dari pergerakannya, dan argumen mereka sangat tidak meyakinkan. Tidak menguasai siyasah Islam kecuali bertaklid dengan pemimpin ideologi mereka. Mereka bergerak sebagai akar rumput, kendati menjadi tugas bersama untuk tetap waspada, sebab setiap hari mereka melakukan indoktrinasi untuk memperbesar pergerakannya.

Kontra narasi khilafah secara masif di berbagai platform menjadi jalan keluar. Mempolitikkan sesuatu yang memang politik dan mencegak umat dari kecenderungan menganggapnya syariat merupakan ikhtiar untuk mengkonter seluruh agenda mereka, baik sebagai upaya perebutan kekuasaan atau sebagai tren an sich. Optimisme bahwa tren khilafah akan segera reda, orang-orangnya terhempas dan tidak lagi memprovokasi umat, harus dibangun.

Sebab, jika bukan rakyat sendiri, dengan kesadaran nasionalisme dan religiusitas yang tinggi, siapa lagi yang akan membentengi negeri? Gus Muwafik hanya menelanjangi sepak terjang politik para agen khilafah. Tetapi, kita sendirilah, dengan saling berpangku tangan, yang bertugas menumpas segala dakwah politis mereka di lapangan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru