26.2 C
Jakarta

Gus Dur: Pembaca yang Rakus, Penulis yang Produktif

Artikel Trending

KhazanahLiterasiGus Dur: Pembaca yang Rakus, Penulis yang Produktif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu tokoh intelektual yang digelari “guru bangsa” adalah Gus Dur. Hal itu diberikan kepadanya berkat kiprah dan karyanya kepada bangsa. Bahwa Gus Dur tidak hanya berjuang melalui jalan struktural sebagai presiden, tapi juga menempuh jalur kultural sebagai kiai, intelektual, penulis, dan budayawan.

Perpaduan antar-lini struktural dan kultural membuat Gus Dur mempunyai ketokohan yang sangat kuat. Bahwa sebelum beliau menjadi pemimpin politik, beliau merupakan intelektual publik. Jauh sebelum punya jabatan untuk membuat kebijakan, beliau tenggelam dalam berbagai macam bacaan.

Lahir dari lingkungan pesantren, membuat kita ingat betul bahwa Gus Dur adalah cucu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, seorang pendiri Nahdhatul Ulama. Darah keulamaan itu mengalir dalam diri Gus Dur, sehingga kecintaannya terhadap ilmu dan pengetahuan membuatnya gila dan rakus akan membaca.

Tidak hanya faktor darah dan genetik dari kakeknya, ayahnya, KH. Wahid Hasyim—yang merupakan menteri agama pertama di republik ini—sejak Gus Dur kecil sudah rajin memberikan buku-buku kepadanya untuk dibaca. Bau kertas buku dan kitab menjadi teman akrab yang sangat khas bagi Gus Dur sejak kecil hingga dewasa.

Gus Dur dan Literasi

Memungut sumber dari Biografi Gus Dur karya Greg Barton, dikatakan bahwa Gus Dur tumbuh dengan minat baca yang sangat tinggi. Hal itu dimulai secara serius sejak ia remaja ketika sekolah di Yogyakarta.

Ketika SMP dan menjadi santrinya KH. Ali Maksum di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Gus Dur kerap melahap banyak buku. Toko-toko buku di Yogyakarta, termasuk toko buku yang memasok keperluan literatur bagi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) pada saat itu, menjadi tempat favorit Gus Dur mencari sekaligus menemukan buku-buku.

Dari sejak remaja, Gus Dur sudah membaca karya-karya Plato dan Aristoteles. Tidak hanya membaca karya dua filsuf Yunani Kuno itu, karya filsuf modern abad 19 seperti Karl Marx pun digumulinya. Buku Das Kapital tulisan Karl Marx dan What is To be Done karya Lenin termasuk daftar buku yang dibacanya pada saat itu.

Lahir dari kalangan pesantren tidak membuat Gus Dur tutup mata terhadap literatur-literatur “asing” yang mungkin bagi orang lain khawatir dapat merenggut ideologi atau keyakinan agama yang sudah tertanam kuat. Hal itu justru dipelajarinya dari KH. Ali Maksum, yang mendorong santri-santrinya untuk tidak hanya membaca kitab klasik, tapi juga literatur lain, mencakup hukum-hukum yang dianut di Barat dan Timur.

Ketika studi SMP-nya selesai, Gus Dur berguru pada KH. Khudori di Pesantren Tegalrejo Magelang. Di sana, selain mendalami Islam secara formal, ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku Barat. Ia membaca karya-karya para ahli teori sosial dari Eropa.

Selain itu, Gus Dur pun pembaca sastra Eropa. Sastrawan Eropa seperi Ernest Hemingway, Andre Gide, Franz Kafka, Aleksander Pushkin, dan Leo Tolstoy adalah sederet nama yang karya-karyanya dinikmati Gus Dur.

BACA JUGA  Menulis, Menyembuhkan Dunia Melalui Kata-Kata

Saat melanjutkan studi ke Al-Azhar Kairo, pada tahun pertamanya Gus Dur memilih tidak masuk kelas karena ia harus belajar bahasa Arab dasar yang sudah dikuasainya. Karena itu ia punya waktu yang banyak untuk melahap banyak buku di perpustakaan Universitas Al-Azhar. Ia tidak hanya membaca, tapi juga mendiskusikannya dengan kawan-kawannya di kedai-kedai kopi.

Kairo adalah kota di mana Gus Dur mengeyam dan menganyam ilmu pengetahuannya menjadi pemahaman yang luas dan komprehensif. Bahwa ia tidak hanya belajar kitab fikih, tapi juga teori-teori sosial Barat. Ia tidak hanya mengonsumsi kitab berbahasa Arab, tapi karya sastra Inggris, Perancis, Jerman, dan Rusia pun ia konsumsi matang-matang.

Sejarah Kepenulisan Gus Dur

Seorang penulis adalah seorang pembaca. Begitu juga Gus Dur. Bacaannya yang rakus membuat isi kepalanya sangat kaya. Hal itulah yang menjadikannya seorang kolomnis yang mampu menulis esai secara ciamik dan cantik.

Gus Dur dikenal sebagai kolomnis yang tulisannya kaya akan spektrum pemikiran dan lintas bidang. Profil kiai, kehidupan pesantren, sosial-politik, ekonomi, juga kemasyarakatan dan kemodernan adalah topik-topik yang mampu Gus Dur tulis dan pertautkan.

Pengalaman menulis Gus Dur dimulai ketika tulisan-tulisannya dimuat oleh majalah Horison dan Budaya Jaya. Itu terjadi ketika semasa hidupnya di Jombang. Kemungkinan besar topik yang ditulisnya pada saat itu adalah seputar kebudayaan.

Sejak tahun 1971, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) dan menjadi kontributor bagi jurnal Prisma. Tidak hanya itu, ia pun menjadi kolomnis yang produktif di media atau surat kabar terkemuka pada saat itu (hingga sekarang) yaitu Tempo dan Kompas.

Kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuan menjadikannya seorang penulis yang mampu menulis esai dengan gaya yang meliuk-meliuk, tapi juga tidak lupa terkadang menyelipkan sisi humor. Itulah mungkin yang membuat Gus Dur sedikit berbeda dari tokoh intelektual muslim Indonesia lainnya.

Teladan dan Hikmah

Kalau kita hendak pandai menulis, maka terlebih dahulu harus mengakrabkan diri dengan buku dan bacaan. Seperti halnya Gus Dur, esai-esainya yang saat ini banyak dikumpulkan kemudian dibukukan merupakan hasil dari pendalaman dan pengalamannya menimba ilmu sekian lama.

Coba perhatikan saja bagaimana perjalanan intelektual seorang Gus Dur. Dari kecil tinggal di rumah ayahnya yang memiliki perpustakaan pribadi hingga dapat melahap banyak buku di perpustakan Al-Azhar. Entah sebanyak apa buku yang telah dibacanya.

Output dari bacaan itu bukan hanya membuahkan kemampuan menulis, tapi yang jauh lebih penting adalah melahirkan kepribadian yang bersahaja. Pribadi yang dapat membaca realitas sosial yang kompleks secara tepat. Mampu bertindak atas nama kemanusiaan dan kepentingan orang banyak, serta tidak mendahulukan egoisme atau kepentingan diri sendiri. Teladan dan hikmah itulah yang bisa dipetik dari seorang Gus Dur.

Membaca, membaca, dan membaca, kemudian menulis. Membaca bukan hanya teks di buku, tapi juga konteks dalam realitas masyarakat.

Akbar Malik
Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Menyukai isu keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru