32.7 C
Jakarta

Gerakan Kolektif Melawan Pandemi Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifGerakan Kolektif Melawan Pandemi Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat ini, seluruh daerah di Indonesia tengah berjuang mengejar status zona hijau penyebaran virus corona (COVID-19). Di Jakarta, PSBB total kembali diberlakukan untuk mencegah penyebarannya. Angka penularan virus Corona secara nasional cenderung masih tinggi. Ironisnya, pada saat bersamaan, kita juga menghadapi ancaman penyebaran virus radikalisme yang nyata-nyata telah merongrong keutuhan dan eksistensi NKRI.

Mengutip pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sejumlah kawasan di Indonesia terindikasi masih rawan fenomena radikalisme dan terorisme. Sejumlah wilayah yang teridentifikasi zona merah radikalisme-terorisme antara lain, provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Klasifikasi zona merah ini ditentukan dengan mempertimbangkan banyaknya jumlah kasus radikalisme-terorisme saban tahunnya yang sekaligus menandai tingkat kerawanan aksi tersebut di suatu daerah. Meski demikian, masyarakat yang ada di kawasan zona kuning maupun hijau pada dasarnya tidak boleh menurunkan kewaspadaan terhadap penyebaran paham radikal keagamaan di wilayahnya. Hal ini lantaran virus tersebut menyebar tanpa mengenal ruang dan waktu. Ia bisa menjangkiti siap saja dan dimana saja.

Maka, seiring sejalan dengan upaya bangsa melawan pandemi Corona dengan menemukan vaksin penangkalnya, kita juga membutuhkan gerakan kolektif untuk melawan pandemi radikalisme yang dampaknya sangat destruktif bagi kehidupan bangsa dan negara. Gerakan kolektif berbasis sinergi antara masyarakat sipil dan negara (pemerintah) ini dibutuhkan lantaran radikalisme sudah sedemikian menjalar dalam ekosistem sosial-keagamaan, layaknya kanker stadium empat yang mematikan.

Kita melihat sendiri bagaimana radikal berbasis keagamaan berkembang di nyaris seluruh lapisan dan kelompok masyarakat, tidak peduli latar belakang pendidikan, status sosial dan ekonominya. Layaknya penularan virus Corona yang bisa terjadi melalui Orang Tanpa Gejala alias OTG, virus radikalisme pun bisa tertanam dan berkembang pada individu tanpa menunjukkan gejala-gejala secara eksplisit.

Pendekatan Multidimensi Melawan Radikalisme

Sebagaimana upaya melawan penyebaran virus Corona yang melibatkan kerjasama antarsektor, gerakan kolektif melawan pandemi radikal juga harus dilakukan dengan pendekatan multidimensi. Radikalisme berbasis agama saat ini sudah bisa dikatakan sebagai bahaya laten yang mengancam bangsa dan negara. Ia telah menjadi fenomena yang berkelindan antara persolan tafsir keagamaan, isu sosial-ekonomi, politik dan tentunya persoalan hukum dan keamanan. Maka dari itu, diperlukan pendekatan yang multidimensi untuk mengurai kompleksitas persoalan di balik fenomena tersebut.

Pendekatan hukum dan keamanan mutlak harus dipakai oleh pemerintah dan aparatusnya, lantaran  dalam banyak hal telah bereskalasi menjadi aksi kekerasan dan terorisme. Aksi-aksi main hakim sendiri (vandalisme), kekerasan apalagi terorisme berbalut isu agama sudah seharusnya ditindak melalui pendekatan hukum dan keamanan. Hal ini juga dilakukan oleh sebagian besar negara di dunia dalam menghadapi fenomena radikalisme-terorisme yang terjadi selama dua dasawarsa belakangan ini.

Pendekatan keamanan dan hukum diperlukan sebagai langkah tegas pemerintah dalam memberangus jaringan radikalisme. Lebih dari itu, pendekatan hukum dan keamanan diperlukan untuk mengirim pesan bahwa negara tidak akan bernegosiasi apalagi kalah terhadap kaum radikal.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Selain pendekatan hukum dan keagamaan, perspektif ekonomi-politik juga diperlukan untuk mengurai kompleksitas persoalan di balik radikalisme. Sejumlah kajian telah menyebutkan bahwa radikalisme, salah satunya berakar dari isu ketimpangan kesejahteraan ekonomi. Ketidakadilan sosial-ekonomi telah melahirkan kecemburuan sosial yang potensial dijadikan bahan bakar untuk menyulut kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda.

Kesenjangan sosial pula yang selama ini menjadi semacam komoditas para kaum radikal dalam menjajakan ideologinya. Di titik ini, diperlukan langkah-langkah konkret pemerintah dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial sehingga benih-benih radikalisme bisa dicegah sejak dini. Tidak kalah penting dari itu ialah upaya masyarakat sipil untuk terus tanpa kenal lelah mengampanyekan prinsip kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang berkarakter inklusif, moderat dan toleran. Seperti kita tahu, radikalisme keagamaan tumbuh subur di tengah masyarakat yang bercorak eksklusifistik, intoleran dan konservatif.

Masyarakat sipil dengan karakteristiknya yang independent memiliki posisi strategis untuk menggulirkan transformasi sosail dari corak masyarakat yang eksklusif-intoleran kea rah masyarakat yang inklusif-toleran. Di negara demorkasi seperti Indonesia, jaringan masyarakat sipil berbasis komunitas agama seperti NU dan Muhammadiyah terbukti efektif dalam mengampanyekan moderasi agama sekaligus membentengi masyarakat dari infiltrasi virus radikalalisme.

Membangun Narasi Kontra-Radikalisme

Gerakan kolektif yang melibatkan sinergi pemerintah dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk membangun sebuah kontra-narasi radikalisme. Harus diakui bahwa radikalisme telah menjadi narasi di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang tidak lagi memiliki spirit nasionalisme, lupa akan identitas dan jatidiri bangsanya, dan sebaliknya lebih mengagung-agunkan identitas dan sejarah bangsa lain.

Maka dari itu, narasi radikal yang mulai mendominasi ruang publik kita belakangan ini harus dilawan dengan narasi kontra-radikalisme. Melihat perkembangan mutakhir, narasi ini idealnya kita gencarkan di dunia nyata maupun di dunia maya. Dalam hal ini, peran para tokoh masyarakat dan agama dalam menyuarakan narasi kontra-radikal menjadi sangat signifikan. Mereka, orang-orang yang memiliki pengaruh besar dan memiliki kekuatan membangun opini publik itu idealnya berpartisipasi aktif dalam menyuarakan narasi kontra-radikal.

Di dunia nyata, gerakan-gerakan moderasi keagamaan baik yang berbasis dunia akademik-intelektual, pesantren atau masyarakat umum perlu dilakukan secara lebih masif dan intensif. Literasi keagamaan berorientasi pada moderatisme perlu diperkuat melalui jejaring masyarakat sipil.

Demikian pula yang seharusnya dilakukan di dunia maya, dimana propaganda radikalisme keagamaan demikian masif disebar melalui beragam konten, baik teks, audio, mapun audio-visual. Di dunia maya, utamanya media sosial, propaganda radikalisme agama berkelindan dengan fenomena hoaks dan ujaran kebencian yang berakumulasi membentuk semacam enigma destruksi yang berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara.
Narasi adu domba, perpecahan dan polarisasi begitu santer disebar di kanal medsos, membuat publik berada dalam ketidakpastian. Jika tidak direspons dengan tepat, kondisi ini bisa jadi melahirkan kekacauan sosial.

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru