32.7 C
Jakarta

Geliat Literasi Pesantren dalam Jagat Dunia Maya

Artikel Trending

KhazanahGeliat Literasi Pesantren dalam Jagat Dunia Maya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejumlah pesantren memutuskan untuk memulangkan para santrinya di tengah wabah Covid-19. Pesantren sebagai salah satu tempat yang ramai dan penuh kerumunan di setiap tempatnya, tentunya hal itu tak menutup kemungkinan menjadi alasan dhorurot untuk memulangkan santri. Mengamalkan kaidah dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashaalih. Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kebaikan.
Pesantren memiliki tradisi literasi yang kuat. Tradisi ini berlangsung lama dan mengakar kuat. Literasi pesantren begitu khas dibalik tradisi kitab kuning. Kegiatan membaca dan menulis sudah sejak lama dilakukan dan tentunya menjadi semacam adat.

Kitab kuning menjadi semacam tanda eksitensi pesantren di nusantara. Martin van Bruinessen menyebut tradisi tersebut sebagai cultural broker. Intelektual Arab dan Nusantara dihubungkan melalui tradisi ini sehingga menjadi semacam sanad yang bersambung hingga Rasulullah Saw.

Kitab kuning karya ulama-ulama klasik diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia. Berbagai pesantren di tanah Jawa khas mengajarkan kitab kuning dengan tulisan pegon, bahasa jawa yang ditulis menggunakan huruf hijaiyyah. Konon pegon juga digunakan oleh Kiai Sholeh Darat untuk menuliskan tafsir Al-Qur’an atas permintaan Kartini. Penggunaan tulisan pegon untuk mengelabuhi Belanda yang pada saat itu melarang penerjemahan Al-Qur’an.

Tidak hanya ulama-ulama timur tengah yang kitabnya dikaji di nusantara. Beberapa ulama Indonesia juga memilki karya. Sebut saja Syekh Nawawi al Bantani dengan kitab Maraqi Al Ubudiyah, Murah Al-Labid, dan lain sebagainya. Ada juga K.H. Hasyim Asy’ari dengan kitab Adabul ‘Alim wa Muta’allim, K.H. Ali Maksum dengan Hujjah Ahlussunah wal Jama’ah, dan kitab Irsyadul Ikhwan li Bayani Syurb Al-Qohwati wa Ad-Dukhon karya Syeikh Ihsan Jampes yang mendunia, dan tentunya masih banyak lainnya.

Menguak Literasi Pesantren

Selain berupa kitab, tentu saja kita tak bisa melupakan karya fenomenal K.H. Ahmad Warson Munawwir. Kiai asal Krapyak tersebut adalah aktor dibalik kamus bahasa Arab-Indonesia ‘Al Munawwir’. Sebagian besar orang tak menyangka bahwa kamus legendaris itu adalah karya ulama nusantara. Apalagi kamusnya menggantikan kedudukan kamus Al Munjid karya Louis Ma’luf dan Bernard Tottel dari Lebanon.

Bertahun-tahun hingga kini, tradisi literasi terus dipertahankan, kemudian datang arus dakwah model baru yang begitu dasyat. Rasanya sangat sulit untuk mengimbanginya. Dakwah-dakwah dengan model visual baik yang diam maupun bergerak serta tulisan-tulisan singkat yang mengandung inti hukum yang dicari tanpa harus bersusah payah membuka kitab atau mencari guru menjadi trend.

Gambar-gambar berhiaskan sepotong ayat atau hadist atau perkataan agamawan, video-video singkat dengan suara ustaz ceramah dan tulisan singkat seputar hukum laris di kalangan umat, lebih-lebih kaum urban. Kitab kuning mengandung bahasa yang hanya bisa dipahami oleh orang sesama pesantren, sementara dakwah model baru yang datang lebih menggunakan bahasa universal dan kekinian. Bagini lah tantangan dakwah pesantren saat ini, bukan hanya melawan bandit-bandit atau Bandar judi, tapi harus mengimbangi narasi Islam lain yang lebih singkat yang keras tapi justru lebih diminati.

BACA JUGA  Literasi Hack: Freewriting Dahulu, Editing Kemudian

Pesantren tidak diam. Geliat dakwah di media sosial yang menjadi basis penyebaran dakwah baru, terus digencarkan. Mereka membuat video, medesain gambar, dan membuat tulisan di website. Terus berbenah menyediakan konten untuk mengedukasi masyarakat dan bagaimana mengimplikasikan bahasa kitab kuning ke dalam bahasa yang universal serta kekininan dan lebih bisa dipahami oleh banyak orang di luar pesantren.

Pesantren mengembangkan literasinya. Tidak hanya berkutik pada membaca dan menulis kitab kuning. Mereka juga belajar video,desain, public speaking, dan keterampilan lainnya. Sejumlah pesantren juga memiliki akun instagaram, facebook, twitter, Youtube, dan website untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin ala pesantren.

Dakwah Santri Milenial

Dalam masa bencana pandemi ini, geliat dakwah pesantren di media sosial semakin terlihat. Sejumlah pesantren mengabadikan pengajian dengan live streaming di sejumlah media sosial. Website-website yang mengunggah tulisan-tulisan tentang berbagai fan keilmuan Islam juga terus bermunculan.

Kemajuan dalam literasi pesantren seperti itu memang harus diapresiasi, tapi bukan berarti tanpa kritik. Benar-benar suatu kemajuan kita dapat menyaksikan live streaming kiai pesantren mengaji di media sosial, apalagi tidak hanya gus-gus atau kiai-kiai muda saja, tapi juga beberapa kiai sepuh kerso untuk disiarkan ngajinya.

Tapi yang sedang dihadapi adalah ustaz sebagai layaknya profesi. Ustaz-ustaz gaul yang lengkap dengan manager beserta timnya yang mengatur kajian. Sementara pesantren, beberapa masih mengandalkan peran-peran santri yang memang lebih didasari takdzim kepada guru tidak mengharap apa-apa selain rida dan berkahnya.

Dakwah pesantren meskipun sudah melampaui batas sekat tembok dan pagar pesantren, tetapi juga harus ditingkatkan. Bahasa yang digunakan mayoritas masih menggunakan bahasa-bahasa kitab kuning dengan makna pegonnya yang hanya dapat dipahami oleh kalangan yang mambu pondok. Sementara bagi orang awam masih kesusahan untuk memahaminya dan terkadang masih cenderung membosankan.

Oleh karena itu, beberapa yang harus dilakukan pesantren adalah peningkatan sumber daya santri harus agar muncul kreativitas serta inovasi yang dapat membuat dakwa pesantren lebih kelihatan geliatnya di jagat dunia maya, tanpa mengurangi dakwah di dunia nyata.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru