28 C
Jakarta

Wajah Lain G30S/PKI di Era Mutakhir

Artikel Trending

Milenial IslamWajah Lain G30S/PKI di Era Mutakhir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya ingin menguraikan tiga gerakan yang mewarnai perkembangan politik Indonesia dan sepertinya ketiganya memiliki keterikatan. Tiga gerakan yang dimaksud meliputi Gerakan 30 September atau yang lebih familiar disebut PKI, gerakan 212 yang dipelopori oleh FPI, dan gerakan mahasiswa di depan gedung DPR.

Gerakan 30 September (G30S) adalah gerakan yang bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Pimpinan gerakan ini adalah DN Aidit yang saat itu pula menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia dan kemudian tujuh perwira TNI dibunuh: tiga orang dibunuh di kediamannya dan empat orang lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya.

Setelah peristiwa G30S/PKI rakyat Indonesia meminta Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Diperintahlah Mayor Jenderal Soeharto untuk membersihkan semua unsur pemerintahan dari pengaruh PKI. Soeharto kemudian menangkap tokoh-tokoh PKI, termasuk DN Aidit yang nekat melarikan diri ke Jawa Tengah. Masyarakat juga ikut bergerak menghancurkan markaz PKI yang ada di beberapa daerah, termasuk toko, lembaga, kantor, dan universitas yang dituding menjadi antek PKI.

Pada era pemerintahannya, Soeharto selalu memperingati G30S setiap tanggal 30 September. Kemudian diikuti dengan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. Sedang, untuk mengenang ketujuh pahlawan yang gugur pada peristiwa ini, dibangunlah Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Apakah perjalanan Indonesia sampai di situ? Tidak. Sebab, masih banyak gerakan yang bermunculan yang tentunya bertujuan merobohkan bangunan negara Indonesia yang sedang berada di tengah gelombang.

Gerakan berikutnya senyawa dengan G30S/PKI. Gerakan yang dimaksud adalah aksi 2 Desember atau yang familiar dengan sebutan 212. Aksi ini dipimpin oleh Habib Rizieq Shihab yang menjabat sebagai imam besar dari ormas Front Pembela Islam (FPI). Aksi ini sesungguhnya bertujuan menuntut gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.

Karena aksi 212 dikendalikan oleh FPI tentu ada banyak suntikan pemikiran yang kontroversial dengan semangat negara Indonesia. Sebut saja, soal khilafah. Kendati konteks khilafah yang dimaksud FPI tidak secara keseluruhan sama persis dengan khilafah yang dimaksud Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), secara tidak sadar FPI telah membuka pintu bagi masyarakat Indonesia untuk menuju khilafah versi HTI dan mengabaikan secara pelan-pelan sistem presidensial yang diaplikasikan di Indonesia. Modus FPI supaya diterima di tengah masyarakat Indonesia adalah pernyataan tegas NKRI Bersyariah. Mengakui NKRI dengan sudut pandang syariat Islam. Sikap ini ada salahnya dan ada benarnya. Benar karena mengakui NKRI. Salah karena fanatik terhadap syariat Islam.

BACA JUGA  Trik Memahami Kamuflase HTI Agar Selamat dari Propagandanya

Selang beberapa tahun, muncul gerakan mahasiswa se-Indonesia yang menggugat RKUHP yang dipandang kontroversial pada akhir bulan September 2019. Gerakan mahasiswa ini sesungguhnya aksi yang murni berangkat dari kegelisahan rakyat atas keputusan pemerintah tentang undang-undang yang direvisi. Sebagai suara rakyat, saya lihat gerakan ini adalah aksi suci yang berangkat dari hati, bukan ditopang dengan kepentingan pribadi dan kelompok. Suara rakyat adalah bentuk kepedulian atas negara Indonesia sebagai rumah bersama. Rakyat tidak sudi melihat negara ini hancur karena kepentingan politik yang sesaat. Rakyat tidak rela melihat negara ini kembali dijajah setelah para pahlawan memperjuangkannya.

Gerakan mahasiswa mendapat respons positif dari sekian banyak masyarakat, termasuk juga beberapa ilmuwan. Sebut saja, Mahfud MD, Rocky Gerung, dan beberapa tokoh yang lain. Namun, yang kurang elok saat aksi mahasiswa berlangsung, muncul penyusup aksi 212 yang ikut-ikutan demonstrasi yang dikomando oleh Gus Nur. Mujahid 212 ini memaksa Presiden Jokowi mundur sebagai presiden sesegera mungkin. Bahkan, sang mujahid mengampanyekan khilafah sebagai sistem negara yang paling baik dan islami, sehingga diklaim kegaduhan negara Indonesia disebabkan sistemnya tidak menggunakan sistem khilafah. Di akhir orasinya, sang mujahid kebingungan sendiri untuk mencarikan ganti yang sesuai dengan keinginannya sendiri seandainya Presiden Jokowi turun. Keras, tapi lucu!

Melihat dari tiga gerakan yang berwarna ini, sesungguhnya yang bermasalah adalah G30S/PKI dan Aksi 212. Kedua gerakan ini didorong oleh kepentingan kelompok, sehingga keduanya terlihat memiliki kemiripan: sama-sama ekstrem, fanatik, dan melawan presiden. Karena itu, PKI yang pernah memporak-poranda negera Indonesia pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 di Jakarta dulu, kini PKI muncul kembali dengan maraknya gerakan FPI yang kurang sehat yang diletupkan di berbagai daerah, termasuk di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 dan akhir September 2019. Bolehkah saya menyebutkan: “FPI adalah wajah lain G30S/PKI”? [] Shallallah ala Muhammad.

 

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru