31.7 C
Jakarta

Fikih Traveling (2): Hukum Traveling dalam Islam

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamFikih Traveling (2): Hukum Traveling dalam Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas fikih traveling yang berkaitan dengan hukum traveling dalam Islam. Pada kesempatan yang lalu penulis telah membahas fikih traveling ditinjau dari hadis Nabi Muhammad SAW.

Traveling memang menjadi hobi baru masyarakat Indonesia, khususnya para kaum milenial. Dalam agama Islam, hukum yang membahas tentang traveling disebut fikih safar atau fikih bepergian. Semua jenis bepergian dalam Islam bisa dikatakan safar, namun demikian, traveling ini pada umumnya mempunyai arti bepergian dalam cakupan yang terbatas, yaitu hanya bepergian dalam rangka wisata saja. Lantas bagaimana hukum traveling dalam Islam..?

Pada umumnya hukum melakukan traveling sama dengan hukum melakukan safar secara umum yaitu diperbolehkan. Hal ini sesuai kaidah yang dikenal dalam Madhab Syafii yang berbunyi

الاصل في الاشياء الاباحة حتي يدل علي التحريم

Artinya: “hukum segala sesuatu (yang bermanfaat) adalah mubah atau diperbolehkan  selama tidak ada dalil yang melarangnya”

kaidah ini menyatakan bahwa asal dari melakukan sesuatu itu diperbolehkan selama tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunah yang melarangnya. sebagaimana contoh makan adalah perbuatan yang diperbolehkan agama, namun dalam agama ada larangan memakan harta riba. maka makan harta riba menjadi haram.

Pentingnya Mengetahui Fikih Traveling

Dari sini sangat jelas bahwa hukum melakukan traveling itu diperbolehkan secara mutlak, tidak ada nash dari Al-Quran atau Hadis Nabi Muhammad yang melarang orang melakukan traveling. Dalam fikih traveng, dinyatakan karena hukum asal traveling ini diperbolehkan maka hukum traveling ini akan berubah sesuai dengan niat dan tujuannya. Dengan perbedaan niat ini maka hukum traveling yang asalnya itu diperbolehkan bisa berubah menjadai haram makruh, sunah atau bahkan wajib.

BACA JUGA  Wajibkah Mengulangi Mandi Ketika Sisa Air Mani Keluar Setelah Selesai Mandi Wajib?

Perubahan hukum dalam fikih traveling ini sangat penting untuk diperhatikan, karena perubahan hukum fikih traveling ini akan menentukan boleh apa tidaknya kita melakukan sholat safar seperi jama’, qosor dan jama’ qosor sekaligus.

Para ulama bersepakat bahwa traveling yang hukum asalnya diperbolehkan bisa berubah menjadi haram apabila tujuan traveling adalah untuk bermaksiat seperti mencuri, merampok dan bentuk maksiat lainnya. Dan bisa berubah menjadi wajib apabila niatnya travelingnya untuk haji berkunjung ke tanah suci, umrah maupun jihad.

Hukum traveling berubah menjadi sunah dianjurakan (mustahab) apabila tujuannya untuk mengunjungi kerabat, mengunjungi orang tua, menjenguk orang sakit, serta mengunjungi dua masjid agung yaitu masjid nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsho di Yerusalem.

Hukum traveling ini akan menjadi makruh apabila dalam melakukan traveling seorang diri tanpa ditemani seseorang. Adapun apabila melakukan traveling dengan tujuan untuk pergi berwisata, nonton pertunjukan ataupun untuk berdagang maka hukumnya adalah mubah.

Syeikh Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fikhul Islam Waadilatuhu hal 316, jilid 2 mengatakan bahwa traveling yang hukumnya selain haram bisa mendapatkan keringanan dalam beribadah seperti bisa melaksanakan sholat jama’, qosor maupun jama’ qosor sedang apabila melakukan traveling yang hukumnya haram maka tidak diperkenankan mendapatkan keringanan ibadah seperi jama’ dan qosor.

 

 

 

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru