25.7 C
Jakarta

Ekstremisme Adalah Buah dari Kesempitan Berpikir

Artikel Trending

KhazanahOpiniEkstremisme Adalah Buah dari Kesempitan Berpikir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Suatu pagi saya membaca buku bagus, buku yang saya rasa punya cita rasa yang banyak di dalamnya. Ya, nano-nano. Buku yang melompat lincah dari satu topik ke topik lainnya; tentang buku, literasi, industri pisang, hingga obrolan pertentangan ideologi; ekstremisme. Buku yang sangat menarik, setidaknya bagi saya. Adalah Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya karya Dea Anugrah.

Dalam satu esainya, Dea Anugrah menulis tentang catatan sejarah hitam perilaku ISIS yang membumihanguskan sejumlah perpustakaan. Dituliskan Dea Anugrah, ia mengutip perkataan dan sumber dari sana-sini, bahwa ISIS memberangus banyak sekali manuskrip dan buku dari Perpustakaan Umum Mosul, Irak Utara.

Sebanyak 112.709, tambahnya, perkiraan jumlah yang diberangus organisasi ekstremisme tersebut. Membaca fakta tersebut, saya jadi paham, bahwa ekstremisme itu terjadi lantaran dari kesempitan berpikir.

“Laporan yang diterima The Independent menyatakan bahwa begundal-begundal ISIS membuat api unggun raksasa dari buku-buku sains, arsip koran-koran Irak sejak awal abad ke-20, peta-peta kuno, dan naskah-naskah warisan Kekhalifahan Utsmani di perpustakaan itu,” tulis Dea Anugrah dalam esainya Pembenaran.

Truth-Claim Ekstremisme

Lantas apa tujuan mereka membakar, memberangus, meniadakan buku dan perpustakaan? Mereka ingin menulis sejarah baru, suatu keyakinan ideologis truth-claim yang akan mereka yakinkan ke setiap generasi mereka. Maka dari itu, mereka melenyapkan setiap bagian kecil catatan dan literasi sejarah. Mulai dari buku, manuskrip, peta dan naskah kuno, semuanya habis dijadikan abu.

“Dan mereka agaknya tak kenal sistem tebang pilih. Selain Perpustakaan Umum, para kecu itu juga menghancurkan perpustakaan satu gereja yang telah berumur hampir tiga abad, perpustakaan biara Dominikan, Perpustakaan Museum Mosul, dan bahkan perpustakaan Muslim Sunni–tak peduli kata-kata yang tertera pada buku-bukunya sejalan, bertentangan, atau tak punya urusan dengan pandangan mereka.”

Membacanya membuat kepala saya berpikir sekian kali, tercenung. Sesekali memori saya berlarian mengingat pekikan takbir sekumpulan anak muda di sebuah video yang sedang berikrar; seorang “ustaz” yang bertabligh dengan penuh semangat membabi-buta menyerukan kebenaran Islam versinya dan keharusan membentuk sistem pemerintahan Islam; interaksi dengan fundamentalis-ekstremis yang berkoar tentang imajinasinya berkenaan penegakan syariat Islam di seluruh ruang lingkup kemasyarakatan.

Memungut memori-memori kecil itu, saya mendapat secercah pandangan lebih baru. Bahwa kejahatan, khususnya kejahatan yang mengatasnamakan agama, alias ekstremisme, dihasilkan dari keengganan membuka lembar sejarah yang begitu terhampar luas. Bahwa interpretasi terhadap agama, Islam, kemanusiaan, kehidupan, dan segala hal yang saling berkaitan tersebut bermacam-macam.

BACA JUGA  Membuang Jauh-jauh Stigma Islamofobia di Indonesia

Salah satu fitrah manusia yang Allah anugerahkan adalah: berbangsa-bangsa, bersuku-suku. Dari latar belakang yang beragam itu, secara wajar manusia akan menghasilkan tafsir yang berbeda-beda terhadap kebenaran. Maka, kalau ada orang yang mengagungkan kebenaran versinya sampai berlaku jahat terhadap orang lain karena berbeda, ia telah lupa dan buta bahwa manusia itu berbeda-beda. Ia buta terhadap satu prinsip dasar kehidupan umat manusia.

Orang-orang yang berkata “menyelamatkan agama Allah”, “demi menegakkan syariat Allah”, tapi menyenggol kepentingan hidup orang lain dalam jumlah massal, apalagi sampai menghalalkan darah, entah cap apa yang layak disematkan kepada mereka. Saya bingung memilah kata yang tepat, kata paling kasar pun–selain karena tidak baik dituliskan–sepertinya tidak cukup mewakili kejahatan mereka.

Mereka lupa, bahwa surga milik Allah, bukan milik mereka. Mereka lupa, bahwa tiket surga itu rahmat Allah. Dan apakah mungkin rahmat Allah turun ketika kita mengusik hajat hidup orang banyak? Membakar peninggalan sejarah peradaban sebegitu banyaknya? Alih-alih menjadi manusia bertuhan, banyak orang menjadi manusia yang merasa Tuhan.

Ragam interpretasi dari pemikiran setiap orang menjadikan dunia ini berwarna. Tidak hitam putih. Kesadaran tentang hal tersebut akan membuat kita menjadi pribadi yang humanis, bijaksana, tidak mudah menyalahkan, mengafirkan, apalagi sampai hati hendak melempar manusia ke neraka dengan menebas lehernya. Adapun orang yang tidak sadar mengenai keragaman perspektif manusia, adalah orang yang terbutakan oleh pendapatnya sendiri.

Referensi dan pandangan tentang kehidupan yang ideal itu banyak, luas, melimpah ruah. Kita bisa mempelajarinya dari sejarah; pemikiran para pemikir dan tokoh. Setiap orang berhak menjadi idealis, tapi jangan idealis garis keras sampai tega menghancurkan idealisme orang lain. Setiap orang berhak berpendapat tentang kebenaran, dan tentu tidak boleh membungkam kebenaran versi orang lain.

Berpikir secara luas dan berusaha menyeluruh, punya argumentasi yang logis dan mengedepankan kebijaksanaan adalah arti dari manusia yang menggunakan akal budinya. Menjadi manusia yang berpikiran luas dan terbuka akan menghasilkan kebijaksanaan. Sementara kesempitan berpikir adalah pangkal dari keberingasan dan ekstremisme.

Akbar Malik
Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Menyukai isu keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru