25.9 C
Jakarta

Dua Negara Satu Cerita di Masjid Kuala Lumpur

Artikel Trending

KhazanahSuara PembacaDua Negara Satu Cerita di Masjid Kuala Lumpur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Malaysia, negeri Melayu yang sejak dulu dikenal sebagai negeri yang masyhur. Mempunyai sejarah Islam yang panjang dengan Nusantara. Keduanya saling berkelindan, menyatukan semangat dakwah dalam menyebarkan Islam di tanah Sumatera dan Malaya.

Di tanah itu, pernah menjadi saksi adanya kesultanan Malaka, dengan Samudera Pasai di Aceh, keduanya pernah sama-sama menguasai perdagangan di Selat Malaka dengan menerapkan syariah Islam.

Banyak buku-buku yang mengulas tentang itu, salah satunya adalah Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia jilid 1 yang ditulis oleh tim Kementerian dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia. Dijelaskan jika kedua tempat itu pernah menjadi pusat perdagangan pada abad ke-13 sampai ke-15. Banyak pedagang-pedagang dari India, China, dan Arab melakukan berbagai kegiatan jual beli hasil alam seperti kelapa, palem, cengkih, gaharu, dan kapur barus.

Bahkan, penjelajah Marco polo sampai Ibnu Battutah, pernah singgah di sana dan menjulukinya dengan sebutan Serambi Mekkah untuk Aceh serta Bandaraya Besar untuk Malaka.

Namun, semenjak kolonial datang, tepatnya Portugis pada tahun 1511, wilayah itu mengalami kemunduran. Apalagi ditambah gelombang kedatangan kolonial lain seperti Spanyol, Inggris, dan Belanda, semakin membuat keterpurukan perdagangan dan dakwah Islam di kedua wilayah itu.

Puncaknya pada tahun 1814, terjadi perjanjian Konvensi London yang memisahkan Nusantara yang dikuasai Belanda, dan Semenanjung Malaya yang dikuasai oleh Inggris. Sejak saat itu, hubungan kedua wilayah itu seakan memudar karena dibatasi garis batas kekuasaan yang berbeda.

Nusantara yang namanya diubah menjadi Hindia-Belanda, sibuk dengan peperangan dan siasat “licik” Belanda, sementara Inggris berhasil menguasai Semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura), Brunei, Sabah, dan Sarawak.

Di tahun 1945 Indonesia merdeka dengan wilayah Sumatera masuk kedalamnya, dan ditahun 1963, Inggris bersama negara bagian Malaya, Singapura, Brunei, Sabah dan Sarawak membentuk Federasi Malaysia.

Waktu berlalu, pada tanggal 10 November 2019, tepat di Hari Pahlawan, saya berkesempatan mengunjungi Ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Disana saya hanya transit selama sehari, karena esoknya saya harus ngbus menuju kota muslim lain, tepatnya di Hat Yai Thailand. Namun dari persinggahan singkat itu, saya menemukan pelajaran hidup yang sangat bermakna.

Adzan Dhuhur berkumandang, saya sholat di masjid tertua di Kuala Lumpur, Masjid Jamek. Masjid bergaya moor itu sangatlah indah, banyak jamaah yang berkunjung ke masjid itu.

Salah satunya adalah Abdul Aziz bin Karling, beliau berasal dari Sandakan, negeri Sabah, wilayah bagian Malaysia timur. Tuk Aziz, sapaan akrabnya, memberitahu kalau uang saya terjatuh. Beliau lekas mengambil, dan lantas beliau memberikan dengan mengatakan “dari kerajaan mana?,” saya bingung, tapi saya langsung menjawab “Indonesia”. wajahnya langsung berubah sumringah, selepas itu, Tuk Aziz mengajak saya duduk bersila untuk berbincang bersama.

Dimulailah cerita yang seakan membuka kembali tabir sejarah Indonesia dan Malaysia dibenak saya. Awal mula dia memuji bagaimana empire (kerajaan) besar di masa lalu semuanya berasal dari Indonesia, Majapahit, Sriwijaya, dan Samudera Pasai. salah satu yang ia banggakan adalah Melayu Riau. Bahkan, beliau tak sungkan menyebut kalau Melayu Johor yang notanene mayoritas Melayu Malaysia, adalah keturunan dari Melayu Riau.

“Brunai, Semenanjung (malaya), semuanya terpengaruh sama Riau,” sebutnya.

Disela-sela perbincangan, saya bertanya, kenapa tuk aksennya tak seperti orang Semenanjung kebanyakan?, dia lalu menyebut karena dia dari Borneo. Dia bilang Suku di Malaysia bukan cuma Melayu, tapi juga Dayak Borneo yang logatnya justru mirip dengan Indonesia dan Filipina.

Diceritakannya olehnya, bahwa Sabah dulunya merupakan wilayah kerajaan Ratu Balqis masa Nabi Sulaiman, karena nama sekaligus kesuburan alamnya sama dengan negeri Saba’. Bahkan disana terdapat gunung Kinabalu yang tingginya mencapai 4.095 diatas permukaan laut.   

Dia lalu menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana Malaysia terbentuk, tentang wilayah Sabah yang pernah dikuasai Kesultanan Brunai, Sulu, dan kemudian ‘dicaplok‘ oleh Inggris hingga dijadikan negara bagian oleh Malaysia tahun 1963.

Dari ketiga belas negara bagian Malaysia yang terbentuk, hanya Sarawak dan Sabah yang tak bisa bertukar menjadi raja. Bahkan dulu orang semenanjung harus menggunakan data diri (paspor) ketika berkunjung kesana. Itu merupakan kebijakan yang tertuang dalam Malaysia Act 1963.

Namun, karena perbincangan itu terlalu sensitif, aku mengalihkan pembicaraan yang lebih cair. Aku mengulik santai pertanyaan siapa orang Indonesia yang Tuk Aziz kagumi, beliau mengagumi Dian Piesesa, bahkan sempat bernyanyi lirih “malam ini tak ingin aku sendiri, kucari damai bersama bayanganmu,” yang merupakan lagu kenangan beliau di masa mudanya.

Selepasnya, beliau melanjutkan lagu seorang pinoy berjudul “Anak” milik Freddy Aguillar, musisi yang secara intens merangkul muslim di Filipina. Beliau mengatakan pernah tinggal lama di Pulau Palawan, Filipina, sehingga bisa berbahasa Tagalog dengan lancar.

Waktu Ashar berkumandang, itu adalah pertanda perpisahan. sayang sungguh disayang, saya tidak berfoto dengan beliau. Dia menolak ketika saya ajak berfoto, padahal mungkin itu adalah perjumpaan yang pertama sekaligus yang terakhir dengan beliau.

Saya belajar banyak dari perbincangan beliau, yang tidak bisa saya tuliskan semuanya disini, saya tertarik dengan wawasannya tentang islam di Nusantara dan Melayu. Beliau orang Malaysia, namun beliau menegaskan jika Islam menerima segala perbedaan meskipun sekarang Indonesia dan Malaysia itu tidak sama seperti dulu.

Sejujurnya, hati saya sekarang rindu dengan Tuk Aziz.

Fariz Ilham Rosyidi, Mahasiswa Sejarah Universitas Airlangga, menyukai perjalanan, dan mempunyai minat pada Sejarah Peradaban Islam

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru