31.7 C
Jakarta

Di Sebuah Kafe (Bagian XLIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniDi Sebuah Kafe (Bagian XLIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Div, ada acara malam ini?” Tanya Shaila pada baris chat WhatsApp. Kalimat itu kesannya datar seakan ajakan sesama sahabat.

“Kosong. Kebetulan tugas kampus udah kelar semua.” Balas Diva dengan kalimat yang tak kalah datar.

“Tapi, kita bertiga nanti.”

“Aku mah ngikut aja. By the way, mau ke mana? Kayak penting banget.” Diva sedikit penasaran.

“Ada yang ngajakin nih ketemuan di kafe.”

Diva menyeka, “Kafe mana?”

Belum ada balasan. Sepertinya Shaila lagi sibuk dengan aktivitas lain, entah apa. Tapi, WhatsAppnya tetap online.

“Basecamp Caffe?” Diva ngusulin salah satu kafe kesukaannya selama tinggal di Ciputat.

“Sahabat Kopi.”

Sahabat Kopi salah satu kafe kedua yang Diva suka. Biasanya kalo sudah bosan nongkrong di Basecamp Caffe, baru pindah ke Sahabat Kopi. Seperti namanya, Sahabat Kopi menjadi tempat nongkrong yang bersahabat dengan pelanggan. Menu yang dihidangkan lumayan bervariasi dan harganya bersahabat juga dengan kantong mahasiswa. Setiap malam, apalagi malam Minggu, Sahabat Kopi ramai dengan pengunjung.

BACA JUGA  Membuang Jauh-jauh Stigma Islamofobia di Indonesia

“Bisa. Nanti langsung meet up di sana aja.”

“Boleh.”

“Tapi, kamu udah ngasih tahu ke temenmu kalo bareng aku. Soalnya, takut nggak enak temenmu, apalagi dia pacarmu.”

“Ngaco. Pacar apaan. Kita kan jomblo happy. Selow lah, Div. Aku nggak bakal ngajak kamu kalo nggak dapat izin dia.”

“Oke.”

Seketika WhatsApp mereka mulai offline.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru