29 C
Jakarta

Catatan Hitam HTI dalam Tindakan Radikalisme Islam

Artikel Trending

Milenial IslamCatatan Hitam HTI dalam Tindakan Radikalisme Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Edisi spesial mengulas soal catatan hitam Hizbut Tahrir Indonesia (eks HTI/radikalisme Islam), sebagai mana pengakuan elite mereka, eks HTI tidak pernah berkeinginan mengganti Pancasila. Di waktu yang bersamaan, elite eks HTI secara gamblang berorasi tentang konsep “khilafah ‘ala minhajin nubuwah”  penting dalam upaya mengatasi sekelumit persoalan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta menarik, lalu siapa yang teriak-teriak negara khilafah? Benarkah eks HTI berkata jujur atau hanya dusta di balik agenda mereka?

Menurut Afadlal, dkk, (Islam dan Radikalisme di Indonesia; 2005), problem radikalisme Islam semakin membesar, meskipun sejumlah gerakan radikal berbondong-bondong mendukung tujuan mereka yang bervariasi. Ada yang berjuang ingin menegakkan formalisasi syariat tanpa mendirikan negara Islam, dan ada yang berjuang demi mendirikan negara Islam Indonesia (NII). Ini yang disebut gerakan moral ideologi, seperti MMI, dan eks HTI.

Elite dan jamaah eks HTI sampai detik ini selalu berkata kepada publik, bahwa bendera berwarna hitam dan putih yang bertuliskan lafadz kalimat tauhid bukan milik gerakan tersebut. Namun, kenapa setiap eks HTI berorasi dan menggelar aksi tak pernah absen membawa bendera itu? Parahnya, di sela-sela aksi, selain men-thagut-kan Pancasila, juga mengkafirkan pemerintah sembari mereka teriak-teriak khilafah dan kalimat takbir.

Tatkala eks HTI tak mengakui sebagai partai politik. Buktinya, setiap mereka menggelar aksi tidak pernah absen membawa bendera, dan selalu menyerang pemerintah dengan isu resesi ekonomi, negara otoriter, negara diktator, dll. Tampaknya, eks HTI tak sadar bahwa ucapannya telah membongkar kedok dan identitas mereka sebenarnya. Pengakuan tentang eks HTI sebagai gerakan moral ideologi itu hanya klaim-klaim saja, pelbagai fakta yang terbongkar justru eks HTI gerakan tidak bermoral karena menggunakan Islam bukan untuk ibadah, tetapi untuk melawan negara.

Oleh karena itu, amat lumrah ketika eks HTI disebut-sebut sebagai gerakan transnasional sekaligus pembangkit api revolusi radikalisme Islam di negara Indonesia. Eks HTI melebihi gerakan oposisi yang sekedar mengkritik dan memberi saran kepada pemerintahan yang sah, saat aksi berlangsung salah satu spanduk yang berkibar bertuliskan meminta Joko Widodo mundur.

Kembali Menolak HTI dan Radikalisme Islam

Hasil survei The Alvara Research Center (2017), juga mengindikasikan hal serupa bahwa di kalangan mahasiswa ada kecenderungan pemahaman dan sikap yang intoleran dan radikal, yang ditunjukkan dengan beberapa indikator pertanyaan yakni peresentase mahasiswa yang tidak mendukung pemimpin non-muslim cukup besar 29,5%; mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar 23,5%; dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8%. Beberapa tahun sebelumnya pada tahun 2016, LIPI menyebutkan bahwa gerakan radikal telah menyasar kampus-kampus dalam rangka radikalisasi hingga rekrutmen kader dengan memanfaatkan diskusi-diskusi dan organisasi mahasiswa di kampus. Tak heran, ketika SETARA Institute (2019), melaporkan radikalisme tidak serta merta muncul dan berkembang dengan sendirinya, namun ada pihak-pihak yang mengorkestrasi agenda radikalisasi secara terencana. Salah satu yang kerap menjadi media penyebaran radikalisme adalah lembaga pendidikan yang merupakan media tradisional atau tempat yang kerap menjadi ruang persebaran radikalisme (hotspots).

Dari laporan riset tersebut, membuktikan infiltrasi khilafah ala eks HTI di dunia pendidikan menjadi jantung persoalan negara dalam mengatasi problem radikalisme Islam di negeri ini. Radikalisme Islam muncul sebab musababnya bukan karena otoritas doktrin sejarah khilafah itu sendiri, melainkan karena oknum-oknum eks HTI yang memanfaatkan dalil-dalil khilafah demi meraih nafsu politik yaitu, kekuasaan.

BACA JUGA  Konsistensi Perjuangan Melawan Radikalisme

Oleh sebab itu, politisasi Islam ini terjadi diakibatkan pengaruh wawasan keislaman eks HTI yang masih dangkal, tekstualis, dan ide mereka tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Terutama, dalam konteks Indonesia. Yang pemerintah telah lama menggagas wacana Islam rahmatan lil ‘alamin atau Islam wasathiyah yang disesuaikan dengan era modern, dan misi wacana tersebut untuk mengkampanyekan Islam damai anti kekerasan.

Dalam konteks eks HTI, gerakannya bertentangan dengan semangat wacana Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang mengedepankan moderatisme, moralitas sosial, dan kedamaian. Jika memang eks HTI diciptakan sebagai gerakan moral ideologi, maka akan lebih menghargai produk nkri, ialah Pancasila sebagai dasar negara yang disepakati para the founding fathers dan para ulama.

Deradikalisasi

Hemat penulis, deradikalisasi wajib diagendakan di setiap lembaga pendidikan, dan institusi negara. Dan pentingnya pengawasan di kalangan kelompok seperti civil society, ormas, dan sejenisnya. Dalam arti, pengawasan kegiatan dan memeriksan seluruh AD ART yang termaktub. Hal in tak boleh kita anggap spele yang akhirnya berujung politik pisau seperti eks HTI.

Sejak awal mula kemunculan eks HTI hanya fokus di ranah dakwah yang sifatnya furu’iyah seperti ibadah. Sebaliknya, di akhir-akhir eks HTI berkembang menebar spirit penegakan khilafah yang membuat umat Islam dan ulama dii negeri ini terpecah belah, dan melakukan agenda penetratif. Di sinilah, fungsi dan manfaat melaksanakan deradikalisasi radikalisme Islam yang selalu menjadi penggangu ketenangan, dan ketertiban negeri ini.

Dengan agenda gerakan eks HTI, misi tentang pergantian ideologi negara dari Pancasila menjadi Khilafah tidak jauh beda dengan aksi radikalisme yang berujung kepada terorisme. Dalam teori revolusi Thomas Perry Thornton (Islam dan Radikalisme di Indonesia; 2005), mengatakan, terorisme ada dua kategori. Pertama, aktivitas pemberontak untuk mengacaukan tatanan yang sudah ada untuk memperoleh hak dan kekuasaan. Kedua, kegiatan orang yang mempunyai kekuasaan/gerakan/HTI ingin menindas penghalau yang menuju, mempertahankan, dan atau membesarkan kekuasaannya.

Pada akhirnya, pembentukan kekhilafahan eks HTI di setiap daerah dan pengembangan dakwah di lembaga-lembaga pendidikan merupakan agenda politis-jihadis yang mampu menjadi lebih deras lahirnya virus radikalisme Islam. Tentunya, wajar saja jika fenomena intoleransi, dan radikalisme-terorisme yang diidentifikasi tersangkanya/biang keladinya adalah eks HTI.

Catatan hitam HTI haruslah menjadi laporan khusus bagi negara dan masyarakat, agar kedepannya tidak asal gabung ke suatu gerakan tanpa ditelusuri jejak digital agendanya. Wabil khusus, umat Islam yang telah terpapar, dengan harapan deradikalisasi dapat terlaksana secara efektif, dan sukses memutus mata rantai radikalisme khilafah ala Hizbut Tahrir.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru