25.7 C
Jakarta

HTI Sebagai Dalang Utama Kekerasan di Solo?

Artikel Trending

Milenial IslamHTI Sebagai Dalang Utama Kekerasan di Solo?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Layakkah eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI/HT) ditetapkan sebagai tersangka dalang kekerasan di Solo? Benarkah Laskar Solo yang berteriak-teriak dengan kalimat takbir ‘allahu akbar, bubar, dan kafir’ ini adalah simpatisan kelompok pro khilafah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya hipotesis atau menyimpulkan jawaban sementara yang butuh kepastian (qat’i).

Namun, bukti iklan kalimat-kalimat Islami yang Laskar Solo bawakan dalam melakukan kekerasan menjadi parameter kelompok yang tampak sama dengan HTI di mana tujuan mereka sebenarnya. Agar terhindar dari penersangkaan yang sesunggunya. Aksi anarkis mulai subur lagi pasca intoleransi, persekusi, dan diskriminasi selalu dilabeli simbol-simbol agama.

Hal ini berdasarkan fakta yang baru-baru ini terjadi aksi kekerasan hingga timbul korban. Penyerangan yang diduga oleh dilakukan oleh kelompok laskar tersebut terjadi pada Sabtu Agustus sekitar pukul 17.45 WIB di rumah almarhum Segaf Bin Jufri di Jalan Cempaka nomor 81, Kampung Mertodrana RT 001/ RW 001, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo.(sumber: Solopos)

Kekerasan alias penyerangan secara kroyokan pada Habib Umar Assegaf (54 thn), Habib Hadi Umar (15 thn), dan Habib Husin Abdullah (57 thn). Para ulama tersebut diserang ketika mengikuti acara Midodareni yang digelar oleh keluarga besar Habib Asegaf. Yang menurut mereka doa pernikahan ini haram. Tindakan tersebut bukti intoleransi, persekusi, dan diskriminasi ulama.

Adalah cermin buruk jamaah Laskar Solo dalam berislam, mereka suka mengkafirkan sama seperti HTI, membuat propaganda, dan saling mengharamkan. Tindakan main hakim sendiri yang juga dihembuskan, sehingga secara teologis cara pandang keberislaman Laskar Solo memang tidak jauh beda dengan HTI. Aksi anarkis tersebut merusak citra ajaran agama Islam.

Dan parahnya lagi, kekerasan yang ditimbulkan kelompok intoleran ini amat merugikan umat Islam di seluruh penjuru negeri ini. Di tengah situasi bulan kemerdekaan. Seharusnya komitmen mereka adalah untuk membangun persaudaraan dan persatuan demi kemajuan umat dan peradaban toleransi, bukan malah mendekatkan aksi mereka ke arah yang cenderung ekslusif yang kapan saja orientasinya dapat memicu kekerasan besar-besaran.

Kekerasan; Ulah Laskar Solo atau HTI?

Menurut laporan Pusat Penelitin Politik LIPI (2019), yang dilakukan riset pada 145 ahli dari 11 Propinsi di Indonesia. Bahwa, kondisi intoleransi di negeri ini cukup beragam. Pertama, ketidakpercayaan antar kelompok suku dan agama 67,60%. Kedua, religusitas 67,60%. Ketiga, perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain 71,70%. Keempat, radikalisme 84,20%. Kelima, kesenjangan sesial ekonomi 75,20%. Kelima, penyebaran berita bohong 92,40%. Keenam, penyebaran ujaran kebencian 90,40%.(sumber: validnews.id, 22/10/18)

Investigasi kasus ini menunjukkan konflik dan kekerasan atas nama agama relatif dominan, seperti halnya, kelompok intoleran (Laskar Solo) tersebut dapat dikategorikan kekerasan ekstrem atau radikalisme agama. Dengan ulama menjadi sasaran korbannya telah menjadi alat ukur menyimpulkan intoleransi, dan ekstremisme kekerasan, serta radikalisme subur lagi.

Mendudukkan kekerasan, dan gelagat aksi Laskar Solo seakan menurut kesimpulan sementara biang keladinya adalah simpatisan khilafah ala HTI. Memang sepanjang HTI hidup di negeri ini tidak pernah melakukan kekerasan yang menyasar ulama, akan tetapi, kekerasan yang bernuansa agama, intoleransi, dan keterlibatan jamaahnya tidak dapat dinafikan lagi.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Islam adalah salah satunya agama yang paling populer di dunia diperalat HTI hanya untuk mencitra-negatifkan (teror) kelompok atau pun umat Islam yang konsisten membela kedaulatan negara, dan misi mereka datang ke Indonesia berdakwah dengan perang, mengangkat senjata tidak hanya pada lawan keyakinannya. Sebaliknya, pada umat Islam yang membela negara.

Akhirnya, cara yang dilarang oleh semua agama sekalipun yaitu kekerasan tetap mereka halalkan demi meraih ambisi dan syahwat politik kekuasaan. Padahal, dalam Islam sendiri kita sebagai pemeluk keyakinan tersebut dilarang melakukan aksi teror sejenis kekerasan bagi siapa pun, apalagi bagi kelompok minoritas guna harkat dan martabat kemanusiaan. Terutama ulama.

Dugaan kuatnya, HTI terlibat atau tidak, menggunakan istilah atau kelompok lain sah-sah saja. Sejatinya, produk kekerasan itu harus segera ditinggalkan dan kembali pada kebenaran dan moralitas ajaran agama yang menyentuh nilai-nilai Pancasila, ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kebudayaan, toleransi, keberagaman dan sejenisnya. Tanpa harus bersikap pandang bulu.

Pancasila Pijakan Toleransi

Pancasila satu-satunya ideologi terbaik di belahan dunia mana pun hingga kapan pun, ijtihad para pendiri bangsa dan ulama menghasilkan produk keberagaman yang moderat, sehingga kekerasan tidak pernah muncul walau berbeda keyakinan maupun dalam politik praktis sekali pun. Dan mereka adalah pahlawan sejati negeri ini, sebab tidak merongrong ketentraman negeri, terbuka bagi golongan siapa saja yang ingin bersinggah di Indonesia.

Soekarno, Bung Hatta, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Ahmad Dahlan, kiai Wahid Hasyim, dan tokoh-tokoh pahlawan lainnya yang berjasa untuk Indonesia menghindar dari tindakan intoleransi, serta ekstremisme kekerasan. Walaupun mereka berbeda dalam keyakinan, pemikiran, dan pemahaman. Hal ini sulit ditemukan keteladanannya di kalangan para pengadu domba.

Menurut Yudi Latif dalam analisisnya di kanal opini kompas (2014). Ia mengulas siingkat soal bukunya yang berjudul ‘Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan; 2014’, mengatakan. Sejauh ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pasan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.

Dalam konteks ini, pandangan Yudi Latif cukup membuat seluruh umat beragama di Indonesia terkesan hingga terkagum untuk meneladani sikapnya, bagaimana toleransi dapat ditegakkan di tengah keberagaman. Dan meredam ekstremisme kekerasan yang berujung pada timbulnya permusuhan. Krisis keteladanan inilah yang harus diluruskan oleh peran semua pihak.

Pancasila selain menjadi batu pijakan kehidupan bertoleransi, juga bagaimana moral kita tetap terjaga dengan merawat hubungan keberagamaan yang harmonis, dan membuat wajah Indonesia tersenyum karena bahagia. Jadi, kekerasan yang telah menyasar ulama jelas merupakan tindakan terkutuk dan musuh semua ajaran agama, khususnya Islam.

Oleh karena itu, jadikanlah Pancasila dan keteladanan pahlawan kita sebagai ujung tombak toleransi kehidupan umat beragama, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah, NKRI adalah tempat bagi HTI yang sebenarnya dalam berbakti dalam upaya mewujudkan peradaban toleransi yang semakin abadi.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru