31.7 C
Jakarta

Berkaryalah, Maka Allah dan Rasul-Nya akan Melihat Karyamu

Artikel Trending

KhazanahLiterasiBerkaryalah, Maka Allah dan Rasul-Nya akan Melihat Karyamu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan Melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin” (at-Taubah (9): 105).” Menurut Buya Hamka (H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah), makna kata amal dalam ayat tersebut adalah usaha, bekerja, dan perbuatan atau keaktifan aktif. Selain itu, doa juga termasuk bagian dari amal (Tafsir Al-Azhar, jilid 4, hlm. 3119 & 3120-3121).

Ayat tersebut bertalian dengan al-Isrâ’ (17): 84 yang menegaskan agar umat Islam produktif berkarya dan meningkatkan kualitas produksi sesuai bakat dan posisi masing-masing. Dengan kata lain, melalui at-Taubah (9): 105 ini, Allah mendorong dan merangsang umat Islam agar tidak bermalas-malasan dan menghabiskan waktu tanpa menghasilkan produksi atau karya tertentu. Buya Hamka menegaskan bahwa semua pekerjaan adalah mulia asalkan halal dan tidak melepaskan diri dari (memohon petunjuk dan pertolongan) Allah (hlm. 3119-3120).

Oleh karena itu, setiap Muslim harus semangat bekerja, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan senantiasa meningkatkan kualitas pekerjaannya. Selain itu, dia harus menjaga diri agar pekerjaannya tidak bercampur dengan perkara-perkara haram dan senantiasa meminta petunjuk dan pertolongan kepada Allah, baik pekerjaan itu untuk kebutuhan dan kepentingan hidup pribadi maupun untuk kepentingan umat dan bangsa. Sebab, Allah, Rasulullah saw., dan orang-orang beriman menjadi saksi dan memerhatikan pekerjaan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam at-Taubah (9): 105 (hlm. 3120-3121).

Allah Melihat Tinta Seorang Ulama Lebih Berat daripada Darah Seorang Syuhada

Salah satu pekerjaan mulia dan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat umum adalah menulis pengetahuan, baik mengenai kemanusiaan, kebangsaan, maupun keislaman.  Dalam konteks Indonesia di era milenial sekarang, menulis pengetahuan keislaman yang progresif, moderat, cinta damai, menghargai dan merawat tradisi, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, keseteraan gender, toleransi, cinta tanah air, dan moralitas merupakan salah satu kebutuhan primer.

Apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan karya agung para leluhur (baik militer, masyarakat sipil, tokoh agama, maupun tokoh pergerakan nasional) yang telah mempersembahkan tenaga, harta, pikiran, tirakat, darah, dan bahkan nyawa mereka untuk memerdekakan Indonesia dari cengkeraman para penjajah. Oleh karena itu, umat Islam masa kini (sebagai generasi bangsa yang tanpa susah payah bisa hidup tenang dan melaksanakan praktik keislaman secara bebas dan aman) harus senantiasa menjaga, merawat, dan memajukan karya agung ini. Hal ini merupakan salah satu bentuk tanda terimakasih dan penghormatan kepada para leluhur yang telah bersusah payah memerdekakan bangsa ini.

Mengingat di era digital sekarang beberapa Muslim tertentu semakin aktif dan masif menyebarkan pemikiran keislaman yang ekstrem, radikal, intoleran, suka membid‘ahkan, menyesatkan, dan mengafirkan orang lain, anti tradisi, pro khilafah, anti Pancasila-NKRI, dan diskriminatif melalui media-media sosial. Sebab, apabila pemikiran keislaman semacam ini dibiarkan begitu saja, maka bukan tidak mungkin Indonesia (yang merupakan karya agung para leluhur) akan kacau balau dan luluh lantak karena pertikaian sesama anak bangsa. Padahal Islam menghendaki keamanan, perdamaian, tolong-menolong, solidaritas, dan tangung jawab bersama di antara sesama manusia (Jamâluddîn ‘Aṭiyyah, Naḥw Taf‘îl Maqâṣid asy-Syarî‘ah, 2003: 160-161 & 168-169).

Islam sendiri sangat menjunjung tinggi tradisi membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan. Mengingat  ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (al-‘Alaq (96): 1-5) secara nyata menunjukkan keutamaan membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan. Sebab, tanpa pena (tulisan) seseorang tidak akan bisa menghapal dan menjaga ilmu-ilmu pengetahuan serta tidak akan bisa menghitung jumlah para pasukan (Imam al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, 1946, XXX: 200).

BACA JUGA  Hilang Motivasi Membaca? Ini Cara Mengatasi “Reading Slump”

Selain itu, tanpa tulisan agama-agama akan rusak dan sejarah orang-orang terdahulu (baik jahat maupun baik) tidak bisa tercatat. Sehingga generasi berikutnya tidak bisa mengetahui kehidupan dan tradisi masyarakat terdahulu, baik menyangkut keilmuan, penemuan, maupun kesenian mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tidak bisa menjadi pelita bagi generasi berikutnya untuk memajukan kehidupan masyarakat dan melahirkan penemuan-penemuan baru (hlm. 200).

Bahkan pena (al-Qalam) menjadi salah satu nama surat dalam al-Qur’an yang suci dan agung, di mana pembukaan surat tersebut secara nyata mengabadikan sumpah Allah atas nama pena dan tulisan (al-Qalam (68): 1). Menurut Habib Quraish Shibab, beberapa riwayat menyebutkan bahwa awal surat al-Qalam turun setelah akhir ayat kelima surat al-‘Alaq. Oleh karena itu, kedua kata qalam (pena) dalam surat al-Qalam (68): 1 dan al-Alaq (96): 4 sangat berkaitan dan bahkan bersambung dari segi masa turunnya meskipun berbeda dari segi penulisan dan penempatannya dalam mushaf (Tafsir al-Misbah, Volume 15, 2003: 401).

Imam al-Marâgî menjelaskan bahwa Allah tidak pernah bersumpah kecuali dengan sesuatu yang agung. Oleh karena itu, ketika Allah bersumpah atas nama matahari, rembulan, malam, dan fajar, maka sumpah itu menunjukkan bahwa keempat hal tersebut merupakan ciptaan yang sangat agung dan karya yang sangat indah. Begitu pula ketika Allah bersumpah atas nama pena dan tulisan, maka hal itu dalam rangka menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Sebab, ilmu dan pengetahuan bisa membersihkan jiwa dan meningkatkan kualitas hidup sosial dan peradaban masyarakat Muslim (Tafsîr al-Marâgî, 1946, XXIX: 27).

Menurut Aḥmad ‘Inâyah ketika memberikan pengantar Minhâj al-Muta‘allim karya Imam al-Gazâlî, Allah menempatkan ilmu pengetahuan dalam dua tempat, yaitu: hati dan buku. Oleh karena itu, seseorang yang diberikan anugerah pendengaran yang kuat dan hati yang bisa menghapal, maka dia memiliki kedudukan yang sangat agung dan tinggi dalam hal keilmuan. Adapun apabila seseorang tidak mampu menghapal, maka dia bisa mencatat dan menulis ilmunya di buku. Sebab, tulisan tersebut menjadi pengikat ilmu pengetahuan dan menjaganya dari kemusnahan, baik karena lupa maupun lain sebagainya (2010: 7).

Imam Mâlik (tokoh utama mazhab Mâlikî) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan laksana binatang buruan yang harus diikat dengan tali yang kuat. Sebab, termasuk salah satu bentuk kebodohan apabila membiarkan seekor rusa yang sudah ditangkap tanpa diikat di tengah orang-orang banyak. Adapun pengikat ilmu pengetahuan itu sendiri adalah tulisan (Sayyid al-Bakrî, I‘ânah aṭ-Ṭâlibîn, IV: 2). Dalam hal ini, Imam Ibn Kaśîr mengutip sebuah aśâr (perkataan para sahabat dan tabiin) berupa: qayyidû al-‘ilm bi al-kitâbah/ikatlah ilmu pengetahuan dengan tulisan (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm, 2000: 2011).

Dengan demikian, ilmu yang sudah ditulis akan tetap utuh dan selamat dari kemusnahan meskipun penemu ilmu tersebut sudah lupa atau bahkan sudah tiada (meninggal). Apalagi menulis pengetahuan merupakan ibadah yang sangat agung dan mulia. Menurut Imam Hasan al-Baṣrî, apabila tinta seorang ulama ditimbang dengan darah seorang syuhada, maka masih lebih berat tinta seorang ulama (Imam al-Gazâlî, Iḥyâ’ Ulûm ad-Dîn, 2005: 15). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Penulis, Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru