27.3 C
Jakarta
Array

Belajar Menulis dari Manusia Purba

Artikel Trending

Belajar Menulis dari Manusia Purba
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah diketahui bersama bahwa menulis adalah aktivitas yang lazim dilakukan oleh manusia, bahkan hampir bisa dikatakan bahwa semua orang pernah melakukan aktivitas yang satu ini. Sederhana dan murah, dua hal tersebut yang kiranya menjadikan menulis sebagai suatu kegiatan yang seyogianya digandrungi banyak orang. Namun realitanya, meski siapapun pernah menulis, ternyata tidak semua orang mampu istiqomah atau konsisten terhadap aktivitas yang satu ini. Memulainya memang mudah, namun tidak semudah menjaga ke-istiqomahan untuk melakukannya secara terus-menerus.

Ketidakkonsistenan seseorang ihwal menulis ini menjadikan potensi menulisnya tidak berkembang, akhirnya hanya berhenti pada level itu-itu saja. Tidak ada kemajuan progresif atas apa yang dahulu diniatkannya. Hal tersebut berimbas kepada sebuah pemahaman bahwa menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak semua orang dapat melakukannya. Ini menjalar ke hampir semua orang sehingga membuat ia merasa kerdil dalam kemampuan menulis, dan akhirnya mengurungkan niat untuk memulai kembali aktivitas kepenulisannya.

Sudah dikatakan di muka, bahwa menulis adalah aktivitas yang super sederhana. Dari segi pelaksanaan tentu tidak memerlukan waktu dan tempat khusus, di mana pun, kapan pun. Lalu dari segi finansial, tidak perlu khawatir pula bahwa menulis bukanlah aktivitas yang memakan biaya yang begitu besar. Bahkan jika hasil tulisannya dianggap bagus dan dikirim ke media, justru penulis akan mendapat honor ketika tulisannya berhasil dimuat dalam media tersebut.

Manusia Purba dan Manusia Milenial

Dunia kepenulisan sebenarnya bukan tanpa sejarah. Menulis adalah aktivitas tua yang hari ini malah menjadi asing bagi banyak orang. Padahal menulis sudah dipraktikan oleh empunya manusia, contoh nyata ialah manusia purba. Mereka adalah simbol sejarah peradaban manusia. Jasad mereka sudah tidak ada dan lenyap, namun hal apa yang membuat mereka masih dianggap keberadaannya ? tentu saja tulisannya. Dinding-dinding goa menjadi media manusia purba dalam mencatat sejarah. Mulai dari simbol-simbol hingga tulisan yang mungkin hanya mereka saja yang paham akan arti sebenarnya. Hal tersebut membuktikan pernyataan Pramoedya Ananta Toer ‘menulis adalah bekerja untuk keabadian’. Kita harusnya dapat belajar dari kebiasaan manusia purba. Bagaimana cara mereka mengabadikan keeksistensiannya hingga detik ini, sekalipun mereka telah tiada namun mereka meninggalkan jejak yang menjadikan mereka ada dalam tabungan sejarah manusia.

Kesadaran menulis masyarakat khususnya pemuda milenial memang cukup memprihatinkan. Minat baca yang rendah masyarakat Indonesia merupakan problem yang serius jika tidak bisa diatasi dan akan menjadi malapetaka bagi kelangsungan bangsa. Seperti yang diketahui bahwasannya aktivitas membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terikat dan berkesinambungan. Mustahil rasanya jika seorang bisa menjadi penulis ulung tanpa melalui tahap membaca terlebih dahulu.

Dalam Islam sendiri sebenarnya kaitannya dengan literasi sudah disinggung dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1.  Ayat Allah yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW ini bahkan dengan tegas mengatakan Iqro’ bismi robbikalladzi kholaq – bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Iqro’ (bacalah), adalah seruan Allah kepada Nabi yang pada akhirnya sampai kepada seluruh umat Islam di dunia. Perintah luhur tersebut membuktikan urgensi membaca bagi manusia demi mencapai kepahaman ilmu yang luas.

Setelah melewati tahap membaca, hal yang harus dilakukan ialah menulis kembali apa yang sudah diperoleh dari hasil membaca sebelumnya. Hal itu dilakukan agar apa yang telah dipahami dari bacaan tidak mudah lupa bahkan hilang begitu saja, maka perlu diabadikan menjadi sebuah karya berupa tulisan. Agar pehamahannya lebih kuat dan lebih bermanfaat maka hal yang bisa dilakukan ialah mendiskusikan tulisan itu dengan orang lain. Karena dengan diskusilah apa yang sudah dipahami akan semakin kuat dan mendalam. Dengan begitu, sempurnalah “rukun” literasi, yaitu membaca – menulis – mendiskusikan.

Tantangan untuk Generasi Milenial

Produktivas kita di tengah kemajuan teknologi ini sebenarnya dipertaruhkan. Bagaimana tidak, dengan kemudahan akses informasi dan kebabasan berekspresi seharusnya memunculkan dorongan untuk lebih giat lagi berliterasi. Bandingkan dengan masa-masa Orde Baru, di mana kebebasan hanya tinggal teori. Masyarakat terkekang dengan superpower pemerintahan, sehingga sangat sulit dalam mendapatkan haknya.

Tentu hampir semua orang tidak ingin ketika ketiadaannya jasadnya nanti tidak ada satupun hal yang ia tinggalkan, sehingga mereka hilang begitu saja. Maka salah satu cara yang dapat ditempuh ialah harus dengan penciptaan sebuah karya, salah satunya ialah menulis. Bukankah memalukan ketika kita disandingkan dengan manusia purba yang mempunyai karya, sedangkan kita tidak sama sekali. Apalagi bagi orang-orang yang bergelut pada mimbar keakademikan seperti ; mahasiswa, dosen, guru, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya generasi muda ini bergerilya melawan kemalasannya dalam hal minat membaca dan menulis. Tidak lain bertujuan agar memperluas cakrawala ilmu sekaligus sebagai ajang pengembangan diri melalui kegiatan-kegiatan liteter. ‘Jika aku menulis, aku akan abadi’.

Indarka Putra
Indarka Putra
Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Ketua Umum Generasi Baru Indonesia (GenBI) Jawa Tengah periode 2020-2022, bermukim di Telatah Kartasura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru