27.8 C
Jakarta

Belajar Literasi dari Aisyah dan Kartini

Artikel Trending

KhazanahBelajar Literasi dari Aisyah dan Kartini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

R. A. Kartini adalah pahlawan Nasional yang membela hak-hak wanita. Kartini tampil dengan gagah berani yang dibuktikan dengan berbagai tulisannya yang dikirimkan untuk menuntut hak-hak wanita. Begitu pula sosok Aisyah r.a, beliau terkenal dengan kepandaiannya. Aisyah menerbitkan ribuan hadits yang bisa digunakan sebagai rujukan hukum untuk umat Islam. Kedua tokoh ini mampu membuktikan bahwa tulisan bisa menjadi senjata ampuh menuju jalan terang.

Sudah sejak lama kita mengenal sosok R.a Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita. Diawali dengan rasa kecewa kepada tradisi yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap dalam rumah tangga. Tugas perempuan hanya tiga, yaitu macak, masak, manak atau dalam bahasa Indonesianya berdandan, membuat masakan, dan melahirkan anak. Sehingga perempuan tidak perlu mendapat pendidikan tambahan di luar ketiga konsep tersebut.

Fokus perlawanan Kartini adalah melawan tirani tradisi yang sejak dahulu memosisikan laki-laki sebagai golongan superior. Kartini menentang ketidakadilan ini dengan ribuan surat-surat yang ditulisnya untuk menyuarakan kesetaraan bagi kaum hawa. Kunci perlawanan Kartini ada pada dunia literasi yang saat itu banyak perempuan yang buta aksara.

Beliau selalu menggembor-gemborkan bahwa perempuan harus bisa membaca dan menulis. Perempuan tidak hanya tau soal bagaimana mengurus kehidupan rumah tangga, namun perempuan harus dibekali dengan pendidikan yang cukup untuk membimbing anak-anaknya kelak. Oleh karenanya, baca tulis menjadi langkah awal terbukanya pintu keilmuan.

Pada akhir perjuangannya, beliau mendirikan sekolah untuk mengajari wanita-wanita tentang beberapa hal dasar dalam pendidikan. Sebelumnya beliau sudah menekuni berbagai jenjang pendidikan karena beliau berasal dari keluarga bangsawan. Beliau tidak ingin merasakan manisnya ilmu pengetahuan sendiri, Kartini merasa terpanggil untuk memajukan sistem pendidikan di kalangan perempuan. Akhirnya, beliau berhasil membangun sekolah yang kelak dilanjutkan oleh Dewi Sartika sebagai penerus perjuangan.

Satu hal yang patut kita pelajari dari R.a Kartini adalah semangatnya dalam membangun literasi negeri. Betapa sulitnya membongkar tradisi yang selama ini sudah mengakar dalam masyarakat. Namun beliau berhasil meyakinkan masyarakat bahwa literasi dan pendidikan adalah modal utama dalam membangun rumah tangga. Pintu pendidikan pertama anak pada tangan seorang ibunya. Lantas jika ibunya tidak memiliki pendidikan yang cukup, bagaimana dengan anaknya?. Hal ini yang menjadi fokus perhatian Kartini untuk memperjuangkan nasib perempuan dalam dunia pendidikan.

BACA JUGA  Profesi Penulis Akan Sirna, Ini Alasannya

Tidak hanya Kartini, dalam dunia Islam kita juga ditunjukkan oleh salah satu tokoh wanita yaitu Aisyah r.a Beliau merupakan istri Nabi yang termuda dan merupakan anak dari shahabat dekat Nabi Muhammad saw yaitu Abu Bakar r.a. Aisyah dikenal sebagai sosok wanita yang pintar dan gemar mencatat kebiasaan Nabi yang disebut dengan hadits.

Sebagai sosok yang meriwayatkan banyak hadits, nama Aisyah kian popular di kalangan umat Islam. Aisyah sering meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan perempuan. Hadits-hadits yang diriwayatkan Aisyah sering dijadikan sebagai sumber hukum. Oleh karenanya, nama Aisyah semakin popular sebagai istri Nabi sekaligus salah satu periwayat hadits terbanyak.

Aisyah membuktikan bahwa literasi bisa membantu umat Islam dalam menyelesaikan permasalahan. Aisyah juga membuktikan perempuan bisa melakukan peperangan dengan memperanyak karya tulisan. Jika laki-laki bisa berjuang mati-matian di medan perang, maka perempuan bisa berjuang melalui tulisan. Karena gagasan yang ia bukukan bisa jadi menjadi mutiara yang berhaga yang sewaktu-waktu dibutuhkan umat Islam.

Dua tokoh tersebut menggambarkan bagaimana literasi sangat penting bagi perempuan. Perempuan bisa menjadi senjata ampuh mengatasi lemahnya pendidikan. Perempuan juga bisa menjadi mutiara dengan catatan-catatan yang diabadikan. Maka semangat inilah yang harus kembali kita munculkan di negeri ini, bahwa perempuan harus kembali menunjukkan perannya sebagai poros pendidikan.

Sayangnya, berdasarkan catatan Kemendikbud, pada 2015 lalu, ada 6,2 juta rakyat Indonesia yang buta aksara. Mereka didominasi oleh kaum perempuan dan berada di daerah padat penduduk. Secara global, Keller (2015) mencatat, jumlah penduduk dunia yang buta huruf mencapai 774 juta jiwa (493 juta di antaranya perempuan).
Berangkat dari kenyataan ini, nampaknya spirit literasi yang dibangun kedua tokoh di atas perlu dilecutkan.

Sudah seharusnya semangat Kartini dan Aisyah menjiwai perempuan Indonesia dalam menuntut ilmu pengetahuan, dan literasi menjadi satu hal yang lebih dahulu dikuasai. Sebab tanpa adanya literasi, perempuan akan tertinggal dalam dunia pendidikan.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru