27.5 C
Jakarta

Awal Menjadi Santri

Artikel Trending

KhazanahOpiniAwal Menjadi Santri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagi rerata santri, masuk pondok mungkin menjadi hari yang terberat dalam hidup. Itulah hari pertama mesti berpisah dari orangtua, lepas dari aneka kenikmatan hidup di rumah dengan segala fasilitas yang ada.

Aku punya pengalaman yang beda 180 derajat. Ibuku wafat saat kelas 2 SD. Padahal aku anak bungsu. Kakakku ada 6. Lima laki2 dan 1 perempuan. Setelah lulus SMP, mbakku mondok. Inilah hari terberat yang kuingat. Ditinggal mondok mbakku satu-satunya.

Setiap mbakku liburan pulang mondok, hari-hariku berwarna. Diajak kesana kemari. Sebaliknya saat tiba masa mbakku kembali ke pondok, hari-hariku menjadi kelabu. Kuingat malam pertama dia kembali ke pondok, muka kututup agar bisa segera tidur karena tidak ingin berada dalam kondisi sadar dan mbakku sudah pergi.

Kelas 6 SD, ayah kami menyusul wafat. Jadilah kami yatim-piatu. Setelah lulus SD, aku senaaaaang karena akan mondok bareng mbakku!!! Tidak akan lagi merasakan ditinggal mbakku pergi lagi.

You see… aku mulai mondok dan sekolah di Mass Seblak Jombang Jawa Timur dengan riang gembira. Hari-hari pertama mondok kusaksikan wajah teman-temanku banyak yang sedih dan muram. Aku sebaliknya.

Semakin lama di pondok semakin betaaah. Semua santri nggak ada yang ditemani ayah-ibunya mondok. Yaiyalaaah! Artinya, yang yatim piatu kayak aku sama saja dengan yang orangtuanya lengkap. Sama-sama berjauhan.

Tapi jangan salah. Kami memang berjauhan dengan orangtua biologis. Apalagi yang orangtuanya sudah di Akhirat. Tapi di pondok berhamburan figur-figur orangtua. Dulu pengasuh kami adalah ibu Nyai Jamilah. Inilah sosok perempuan kuat pertama yang hadir dalam kehidupanku. Mulai dari urusan pembangunan pondok sampai ngimami jamaah shalat Shubuh beliau lakukan.

Figur ayah-ibu itu nyaris ada di setiap ustaz dan ustazah yang kami punya. Kami pun memanggil mereka dengan bapak/ibu. Tidak hanya panggilan formal tapi sikap, relasi dengan mereka memang sering layaknya orangtua dan anak. Saat di kelas, nasehat dan pelajaran yang mereka sampaikan itu memang seperti bapak dan ibu yang sedang mengajar anak-anaknya.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Rasanya yang paling kuat menjadi figur ayah adalah putra ibu Nyai yang menjadi guru matematika: Almarhum Bapak Umar Faruq. Beliau adalah guru favorit yang melayani rasa hausku pada pengetahuan dengan sangat sabar. Meladeni pertanyaan apa saja yang mungkin pada guru lain tidak berani kutanyakan. Berfikir logis dan kritis banyak kuserap dari beliau, termasuk dalam memahami ajaran agama.

Betapa beruntungnya aku di saat banyak anak di luar pondok kehilangan figur orangtua. Padahal keduanya lengkap mereka punya. Ini catatan penting di kemudian hari ketika punya anak. Mereka tidak boleh hanya memiliki kami sebagai orangtua biologis, tapi bagaimana kami juga bisa menjadi figur orangtua bagi anak. Figur akan terus hadir dalam benak anak walau sedang berjauhan.

Di pondok, kami juga punya kakak banyak. Semua kakak kelas adalah kakak kami. Pertama masuk kelas 1 Tsanawiyah, aku langsung punya kakak 5 kelas mulai kelas 2 Tsanawiyah sampai dengan 5 Aliyah. Sangat banyak di antara mereka yang juga menjadi figur kakak yang membimbing dan mengayomi adiknya.

Begitu naik kelas 2 aku mulai punya adik kelas yang memanggilku mbak/kak. Sebagai anak bungsu, ada sensasi tersendiri dianggap kakak. Tetiba setiap tahun adikku bertambah banyak. Sampai tiba saatnya kelas 3 Aliyah. Adikku jadi 5 kelas. Wihhh senengnya jadi senior.

Setelah jadi alumni, ternyata kakak dan adik santri tidak sebatas yang pernah bareng di pondok. Semua kakak angkatan adalah kakak dan adik angkatan adalah adik. Kami menjadi saudara sesama alumni pondok. Kebayang kan serunya jadi santri dan alumni pondok?

Pesantren yang diasuh langsung oleh Bapak dan Ibu Nyai pasti ada hubungan batin yang berbeda dengan pesantren yang dikelola ala manajemen modern. Makanya salah satu pertimbangan milih pesantren buat anak bagiku adalah dimiliki dan langsung diasuh oleh Kiai dan bu Nyai-nya.

Selamat Hari Santri 22 Oktober 2019. Bakti Santri untuk Negeri demi Ridlo Ilahi. Ora mangan opo maneh mangan, urip kudu manfaat. Hidup Santri!!!!

Pamulang, 22 Oktober 2019,
Salam,
Nur Rofiah

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru