26.1 C
Jakarta

Mengantisipasi Bercokolnya Islam Takfiri di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamMengantisipasi Bercokolnya Islam Takfiri di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Apakah benar bahwa di Indonesia, negeri majemuk tercinta ini, ada Islam takfiri?” Pertanyaan ini mencuat di kalangan masyarakat, terutama ketika Islamisme menguat, hari-hari ini. Memang, di sini tidak ada kasus saling bom atau perang sipil, seperti di negara-negara Timur Tengah. Masalahnya, beberapa polemik justru berpotensi menjadi bibit takfirisme. Polisi dan tentara boleh saja sigap, tetapi bagaimana misalkan masih ada narasi yang enteng—menghasut umat agar tidak percaya isu tersebut?

Khalid al-Muwallad, seorang tawanan pemerintah Arab Saudi menampakkan kepada seluruh masyarakat dunia, tentang betapa ngeri takfirisme itu, betapa menakutkan sekali bila menjadi kenyataan. Pada acara talk show MBC yang populer, Ats-Tsaminah, 2015 lalu, ia blak-blakan mengkafirkan Arab Saudi; pemerintahan dan masyarakatnya, mengkafirkan seluruh umat Islam sejak masa Abdul Malik bin Marwan, bahkan terang-terangan mengkafirkan Daud al-Sharyan, host acara talk show tersebut.

Apakah Khalid al-Muwallad berasal dari keluarga yang tak taat agama? Tidak demikian. Ia lahir di Madinah, tidak jauh dari makam Nabi Muhammad. Ayahnya berprofesi sebagai tuan rumah, penyambut tamu peziarah Masjid Nabawi. Nahasnya, ayahnya tersebut juga Khalid kafirkan, lantaran membiarkan satu kemungkaran: makam Nabi dijadikan masjid. Dirinya yang pernah malang melintang di organisasi Al-Qaeda, berargumen atas semua keyakinan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Ironi.

Melihat kengerian segala yang dituturkan Khalid di satu sisi, dan melihat fakta bahwa di sekitar kita pemikiran seperti itu masih berkeliaran, meski dengan skala yang minim, membuat kita seharusnya berpikir untuk menumpas mereka hingga ke akar-akarnya. Paham takfiri-khawarij mungkin tidak kita saksikan, tetapi paham “merasa benar sendiri” masih berserakan di seantero negeri. Padahal, itu pangkal takfirisme. Mungkin sekarang baru pemikiran, bagaimana kalau nanti berubah jadi tindakan?

Intoleransi, radikalisme, khilafahisme, bukanlah isu isapan jempol belaka. Ia benar-benar ada, dan selama ini kontra-narasi belum mencapai totalitas. Alih-alih menyemai keberhasilan, sebagian pihak justru melayangkan tuduhan balik “anti-Islam”. Felix Siauw benar ketika mengatakan, radikalisme bukankah persoalan pokok negeri yang, jika berhasil diberantas, Indonesia akan maju secara ekonomi, dll. Tetapi apakah karena itu radikalisme dan siklus-siklusnya nanti harus dibiarkan begitu saja?

Takfiri, Islam, dan Pemerintahan

Istilah “Islam takfiri” lebih tepat dimaknai bukan sebagai orang Islam yang suka mengkafirkan, melainkan sebagai orang suka mengkafirkan yang mengekspolitasi Islam sebagai pembenarannya. Keduanya memiliki konotasi makna yang berbeda. Kita tidak bisa mengafirmasi bila dikatakan bahwa Islam memiliki sempalan pengikut yang keras, sebab orang akan menganggap Islam mengakomodasi pengikutnya potensi kekerasan. Buktinya, seringkali Islam dituduh berhubungan dengan terorisme.

Dari segi sejarah, takfirisme muncul kali pertama pada diri Khawarij. Ini sudah masyhur. Karenanya, gerakan takfiri hari ini dinamai neo-Khawarij. Dalam kasus Khalid al-Muwallad, ketika ia mengkafirkan seluruh umat Islam sedunia, bisa dibaca bahwa dirinya bukan Muslim ortodoks, meski selama ini kita mengenal ortodoks kerapkali melakukan pembid’ahan. Ia tidak seideologi Salafi-Wahabi, bukan juga seidologi Syiah, apalagi Sunni. Ia memusuhi semuanya. Sungguh, keberislaman yang egois.

Siapa di belakang mereka? Jawabannya adalah: kepentingan politik. Ia menyelinap ke semua negeri, dan Indonesia bukanlah pengecualian. Bukan mustahil, jika ternyata, segala polemik di negeri ini, adalah propaganda mereka. Tetapi identitas asli tidak terlacak, sehingga yang mengemuka adalah pertikaian antara Sunni-Syiah, atau tuduh-menuduh dari pengikut Salafi. Menonton talk show Khalid berdurasi sekitar satu jam itu membuat kita berpikir ulang tentang apa yang selama ini terjadi.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Target utama mereka, misalnya, ialah mendelegitimasi pemerintahan. Negara, juga hukum yang berlaku, dianggap kafir total, dan kita bisa melihat apa yang terjadi kalau mereka punya massa: pemberontakan. Kalau pun hanya sedikit anggota, maka aksi terorisme menjadi alternatifnya. Khalid mengatakan, Arab Saudi negara kafir. Lalu, bagaimana andai ia ditanya tentang status negara Indonesia?

Kalangan ekstremis lokal men-thaghut-kan pemerintah dan berniat dirikan khilafah. Bukankah itu sama dengan upaya pemurnian pemerintahan sebagaimana yang Khalid mimpikan? Atau, jangan-jangan Indonesia sudah ada yang seagenda ideologis dengannya? Islam takfiri di Indonesia relatif kecil. Tetapi, sekali lagi, semangat sementara kalangan untuk mendelegitimasi pemerintah semakin hari terus mengalami eskalasi. Tidak ada yang memungkiri fakta itu.

Islam Takfiri di Indonesia (?)

Tiga hal kengerian Islam takfiri yang tampak jelas pada diri Khalid. Pertama, ia mengkafirkan negaranya, Arab Saudi, juga hukum, rakyat, dan pemimpinnya. Kedua, mengkafirkan seluruh ulama karena dianggap membiarkan kemungkaran terjadi. Ketiga, mengkafirkan seluruh manusia sekalipun bersyahadat karena mereka ikut sistem kafir. Bahkan ketika Khalid mengkafirkan ayahnya, ia sama sekali tidak merasa takut. Dalil yang dipakainya ialah surah al-Maidah [5]: 78-79.

Apakah ketiga hal tersebut terdengar di Indonesia? Beberapa iya. Film Jejak Khilafah yang launching bulan lalu merupakan penghalusan dari upaya menggiring umat agar menganggap Indonesia negara tidak Islami, yakni Dar al-Kufr, negara kafir. Hanya saja takaran takfirisme di negeri ini tidak seekstrem Khalid yang merasa satu-satunya umat Islam di seluruh dunia, dan mengafirkan ayahnya sendiri. Bahwa Islam takfiri di Indonesia, memang, lebih cenderung terhadap kepentingan politik kenegaraan saja.

Karenanya, jarang sekali Islam takfiri terdengar di negeri ini, bahkan Haikal Hasan pun dalam suatu wawancara meminta Badan Intelegen Negara (BIN) mengusut tuntas penganut Islam takfiri. Takfiri yang dimaksud, yang di Indonesia tidak ada, ialah takfiri kompleks-ekstrem seperti yang Khalid pertontonkan. Maka, istilah yang dipakai di Indonesia ialah Islam ekstrem atau Islam radikal. Orientasinya bukan akidah, melainkan syariat. Tentu itu adalah syariat palsu, yaitu khilafah ala HTI.

Mungkin,sementara kalangan tidak setuju jika mereka dianggap Islam takfiri. Mereka tidak mengkafirkan, atau setidaknya kita tidak pernah mendengar mereka berucap demikian. Tetapi bagaimana dengan ungkapan: “Tanpa khilafah, keberislaman kita belum lengkap.” Bukankah itu sama saja dengan mengatakan bahwa sebagian lain diri kita masih terjerembab di dalam kekufuran?

Kita sama-sama melihat kengerian antara Islam takfiri dan Islam radikal-ekstrem. Hanya saja, takar kengeriannya berbeda. Tetapi, sengeri apa pun Khalid, ia sudah ditawan di Arab Saudi, dan kemungkinan untuk memiliki pengikut di negeri ini relatif kecil. Pada saat yang sama, sekalipun kengerian Islam radikal tidak seekstrem takfirisme Khalid, namun radikalisme tersebut ada di negeri kita. Faktanya, dengan demikian, sama-sama mengerikan jika tidak segera ditumpas, bukan?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru