31.5 C
Jakarta

Aksi-Aksi Radikal, Datang atau Dipancing?

Artikel Trending

Milenial IslamAksi-Aksi Radikal, Datang atau Dipancing?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di sebuah laman sosial media, seseorang bertanya interuptif, karena saya seringkali bicara tentang term ‘radikal’. “Dari mana tahu mereka radikal?,” katanya. Mereka yang dimaksud adalah FPI, PA 212, atau GNPF, yang semuanya terlibat aksi tolak RUU HIP di senayan, pada Rabu (24/6) lalu. Sementara pembaca lantas mengetik di bawah postingan saya: “HTI dan radikal itu jualan lama, provokasi. Sekarang kita tahu siapa yang sebenarnya memecah belah.”

Komentar tersebut, secara eksplisit, adalah respons sangsi atas eksistensi radikalisme itu sendiri. Entah karena si komentator sudah melakukan riset, atau hanya ketidaksetujuan fanatis, tidak tahu pasti. Sebagaimana anggapan para pengikut, segala yang dilakukan pengaku ‘laskar Islam’ itu benar, termasuk pembakaran bendera PDIP yang kini tengah membuat para petinggi partai tersebut meradang. “Itu hanya kain biasa yang ada gambar kepala benteng,” desas-desus beredar.

Habib Rizieq Syihab, Imam Besar FPI, bukanlah orang yang anti NKRI. Jika dirinya sekarang bermusuhan dengan pemerintah, maka itu tak lebih dari perseteruan politik belaka. Lalu kenapa FPI, dalam tulisan sebelumnya, saya kategorikan radikal, sealiran dengan HTI? Karena, saya melihat pergerakannya. Mengkritik pemerintah itu lumrah, selumrah melakukan demo. Tetapi, apakah aksi anarkis, cita-cita merubah sistem, hingga memakzulkan presiden, belum laik disebut radikal?

Rasanya ada polarisasi antara FPI dan HTI, sehingga semakin hari sekat keduanya tambah buram, dan kader FPI bangga bawa-bawa bendera HTI saat demo. Secara geopolitik, bukankah ini penyelinapan HTI setelah tak punya payung massa? Ini akan saya ulas di tulisan lainnya. Yang jelas, gagasan Habib Rizieq tentang NKRI Bersyariah, yang sebenarnya sederhana dan tak sampai ingin mengobrak-abrik NKRI, kini malah tidak ada bedanya dengan cita-cita khilafah HTI.

Transformasi HTI ke FPI akan diulas di bagian lain. Sementara, tulisan ini hanya akan fokus terhadap aksi-aksi yang ada. Apakah aksi yang lebih kepada upaya menggulingkan pemerintah, yang singkatnya mari sebut sebagai ‘aksi radikal’, itu datang sendiri atau justru dipancing oleh kebijakan pemerintah?

Oknum Pemecah-Belah

Kita harus menggarisbawahi, mula-mula, bahwa benang merah radikalisme adalah pemberontakan terhadap pemerintah, atau paling tidak kritik dekonstruktif. Alih-alih memberikan masukan, melihat ketidakbenaran kebijakan pemerintah, mereka langsung ingin menggantinya secara keseluruhan. Misal, jika ada polemik pemilu, maka yang dihajar habis-habisan adalah demokrasi. Jadi, benang kusutnya adalah, kaum radikal memusuhi demokrasi. Apa pun persoalannya.

Dengan demikian, setiap aksi adalah respons dari stimulus yang terjadi sebelumnya. Pemerintah berbuat begini, mereka merespons begitu. Karena pelakunya mengerucut kepada HTI, FPI, dkk, maka label radikal pun melekat kepada mereka. Tentu, sampai di sini, radikalisme tidak bermakna stigmatisasi organisasi tertentu. Pergerakan menjadi tolok ukur. Bila cita dan agenda utamanya adalah melakukan konfrontasi terhadap pemerintah, pergerakannya disebut radikal.

Sungguhpun demikian, tidak semua stimulus adalah pancingan. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan kontroversial, seperti RUU HIP ini misalnya, atau tiadanya upaya pemulangan Habib Rizieq dari Arab Saudi, maka pemerintah tidak bermaksud memanas-manasi. Anggap saja PDIP, sebagai inisiator awal RUU HIP, keliru karena mengusulkan kebijakan yang memancing amarah umat Islam. Apakah PDIP, dengan segala kecerobohannya, berniat membuat polemik? Saya pikir tidak.

BACA JUGA  Agresi Wahabi dalam Kamuflase Salafi, Awas Jangan Tertipu!

Justru, respons yang muncul mengalami semacam gradualitas. Isu-isu komunis dibumbui sedemikian rupa untuk memancing riuh publik, hingga terjadi demo, bahkan kalau bisa hingga pemerintah runtuh. Makanya tidak heran, sekalipun Menko Polhukam Mahfud MD sudah memberikan pernyataan tegas tidak akan membiarkan komunisme bangkit, demo tetap terjadi. Dan parahnya, tuntutan demonstran berbendera HTI itu malah agar Jokowi mundur. Sangat tak masuk akal.

Maka dari itu, dipancing atau datang sendiri, aksi-aksi radikal itu sama saja. Ada yang sengaja menjelekkan pemerintah di satu sisi, dan ada yang memanas-manasi umat di sisi lainnya. Mereka ingin pemerintah dan masyarakat tidak lagi sehaluan, tidak kompak, agar negara tidak lagi kokoh. Mereka adalah oknum pemecah-belah: membenturkan umat Islam dengan pemerintah. Siapa mereka sebenarnya? Ibarat bayangan, yang tidak tampak, tetapi kuat sekali untuk menghancurkan.

Radikal Demi Politik

Agama Islam juga menjadi faktor besar dalam pembentukan pribad seseorang menjadi radikal. Dalam keadaan demikian, bukanlah suatu yang benar menisbatkan kesalahan kepada Islam, karena kesalahan sebenarnya adalah kapasitas keilmuan sesorang yang tidak mendalam tentang Islam itu sendiri,” demikian yang dituturkan dalam buku Kritik Ideologi Radikal, halaman 24, ketika menjelaskan bahwa agama adalah salah faktor radikalisme. Tetapi, bagaimana dengan politik?

Dalam setiap isu radikal, agama selalu disudutkan. Padahal, oknum mereka tidak memiliki pemahaman agama yang benar. Mereka tidak menguasai literatur-literatur keislaman, kecuali literatur politik yang berkiblat pada sejarah peradaban Islam. Mereka hanya tahu sejarah, lalu ingin menerapkannya secara bulat-bulat. Mengatakan ingin menjadikan Islam berjaya dengan mengaca pada kemajuan masa lalu tetapi pendekatannya politik murni, tanpa disokong keilmuan.

Akhirnya, mereka men-thaghut-kan sistem yang tak sesuai ideologinya. Mereka pun bercita merebut pemerintahan, berdalih atas nama Islam yang sebenanya murni untuk kepentingan politik mereka sendiri. Tidak lebih. Mereka tidak setuju dianggap radikal dengan tuduhan telah menista agama. Padahal, yang radikal itu adalah pergerakan politik mereka. Justru mereka yang mengeksploitas Islam karena menganggap khilafah Hizbut Tahrir adalah bagian dari syariat.

Menjadi radikal demi agenda politik ini jelas bukan kasus baru. Tetapi, yang bersangkutan selalu mengelak dianggap demikian, sekalipun pergerakannya ke arah itu. Mereka menggelar aksi-aksi mendelegitimasi pemerintah, sambil menganggapnya sebagai bentuk penyampaian aspirasi umat. Mereka sengaja datang, sembari menuduh pemerintah memancingnya melalui kebijakan yang menyudutkan umat Islam. HTI jelas benci NKRI setuhnya. Tetapi, mereka tidak punya organisasi. Lalu bagaimana dengan FPI, PA 212, dan GNPF?

Saya akan segera mengulasnya dalam waktu dekat. Insyaallah. Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru