34.3 C
Jakarta

Akad Menjadi Ruh Aktivitas Bank Syariah

Artikel Trending

KhazanahEkonomi SyariahAkad Menjadi Ruh Aktivitas Bank Syariah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Akad menjadi pembeda yang sangat fundamental antara bank syariah dengan bank konvensional. Sehingga dengan adanya kejelasa akad, maka transaksi yang ada di bank syariah bisa dipertanggung jawabkan secara hukum  Islam. Pada akhirnya, dari setiap akad akan diperoleh kesimpulan hukum (istimbat al-ahkam) apakah suatu produk perbankan halal ataupun haram.

Demikianlah aktivitas yang ada di bank syariah. Dimana, seluruh produk atau seluruh tranksaksi yang dilakukan akan didasarkan kepada akad. Dengan adanya akad, maka transaksi yang dilakukan akan dipandang sah—baik dari sisi hukum positif dan lebih-lebih dari sisi hukum Islam.

Menurut Fathurrahman Djamil (2012: 6) akad adalah hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada objek perikatan. Artinya, nasabah dengan bank syariah melakukan proses akad sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh syariat Islam.

Misalnya, bagaimana posisi dua orang yang berakad (baca: bank syariah dan nasabah), barang yang diakadkan (objek pembiayaan), harga yang diakadkan, jangka waktu masa akad, dan lain sebagainya. Seluruh hak dan kewajiban akan tertuang di dalam akad yang dibuat antara nasabah dengan bank syariah.

Hal tersebut menjadi penting untuk dilengkapi oleh bank syariah dan nasabah bank syariah. Sehingga dengan adanya kelengkapan dari apa yang menjadi syarat dan rukun, akan berimplikasi terhadap sah atau tidak sahnya suatu akad yang dilakukan. Itulah, mengapa keberadaan akad di bank syariah menjadi sangat fundamental untuk ditepati.

Adiwarman A. Karim (2016: 65) menambahkan bahwa akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dimana, bila nasabah dan bank syariah sama-sama bersepakat untuk berakad, maka keduanya wajib melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

Demikianlah, betapa pentingnya keberadaan akad yang ada di bank syariah. Sehingga, bila ada yang bertanya apa yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional? Salah satu pembedanya adalah keberadaan akad—yang berimplikasi terhadap sah atau tidak sahnya suatu transaksi baik dari sisi hukum positif ataupun hukum Islam. Walaupun demikian, masih banyak perbedaan lain antara bank syariah dan bank konvensional.

Akad dan Beri Pelatihan Berkesinambungan

Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang menerapkan hukum Islam—yaitu hukum yang didasarkan terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, harus mampu memberikan pengetahuan berkaitan dengan akad-akad kepada setiap SDM yang dimilikinya. Dengan memberikan pengetahuan tentang akad, setiap SDM akan mengimplementasikannya pada masing-masing bagian.

Sementara, untuk memahami akad yang didasarkan terhadap fatwa DSN-MUI, harus memahami dasar-dasar fikih muamalat, ushul fiqh, dan qawa’id fiqhiyah. Selain itu juga, harus memahami dasar-dasar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadist. Dasar-dasar tersebut harus diketahui, sebagai dasar seseorang untuk memahami fatwa DSN-MUI yang akan dituangkan ke dalam akad-akad yang akan diterapkan dalam transaksi bank syariah.

Untuk memberikan pemahaman tersebut, bank syariah harus mampu memberikan pelatihan secara berkesinambungan. Pelatihan secara berkesinambungan ialah berupa pelatihan secara berjenjang berkaitan dengan hukum Islam dan yang memiliki kaitan dengan hukum Islam.

Misalnya, bank syariah membuat jenjang pelatihan, mulai dari jenjang dasar, jenjang menengah, jenjang berpengalaman, dan lain sebagainya. Intinya, buat saja jenjang pelatihan sebagai bentuk klasifikasi pengetahuan berkaiatan dengan hukum Islam, yang muaranya untuk memahami fatwa-fatwa DSN-MUI.

Bila bank syariah tidak mampu memberikan pelatihan berkaitan pemahaman fatwa DSN-MUI terhadap seluruh SDM yang dimliki, maka fatwa-fatwa DSN-MUI hanya akan menjadi pemanis di dalam akad. Tatkala bank syariah dan nasabah melakukan transaksi. Bila demikian, keberadaan bank syariah dengan bank konvensional tak ada bedanya.

Dengan demikian, agar fatwa-fatwa DSN-MUI bisa terimplementasi, bank syariah harus rajin memberikan pelatihan berkaitan dengan akad-akad, khususnya berkaitan dengan fatwa DSN-MUI. Adapun narasumber yang diundang, adalah narasumber yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Maksud narasumber kompetensi ialah, narasumber yang memahami berkaitan dengan ilmu syariah dan ilmu perbankan murni. Dengan menghadirkan narasumber seperti hal tersebut, akan memudahkan akad-akad yang ada dalam fatwa DSN-MUI diketehui oleh setiap SDM bank syariah.

Adapun bentuk pelatihan berkesinambungan misalnya, dilakukan seminggu sekali setiap hari senen pagi sebelum kantor buka. Atau, boleh di sore harinya selepas jam kantor tutup. Ataupun dalam bentuk lainnya. Intinya, pelatihan yang dilakukan harus berkesinambungan, membahas akad-akad mulai dari awal hingga akhir—dan itintinya semua akad yang ada di bank syariah dapat dibahas dalam pelatihan tersebut.

Hasil Pelatihan, Masukkan Ke dalam SOP

Bagi setiap SDM yang telah mengikuti pelatihan akad, berilah tugas untuk menyusun SOP (standar operasional prosedur) di bagian mereka masing-masing. Tentu saja, penyusunan SOP tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, seperti yang telah dituangkan di dalam fatwa DSN-MUI, yang telah diajarkan dalam pelatihan sebelumnya.

Atau, bisa juga dengan memberi tugas untuk mengoreksi SOP yang telah ada di bagian masing-masing, misalnya SOP berkaitan dengan SDM (sumber daya manusia), SOP berkaitan dengan DPK (dana pihak ketiga), SOP berkaitan dengan pembiayaan, dan lain sebagainya.

Bila SDM yang bersangkutan menemukan pelanggaran terhadap SOP yang telah ada, pimpinan bisa memberikan reward terhadap SDM yang bersangkutan. Dengan demikian, SDM yang bersangkutan memang benar-benar telah memahami terhadap akad-akad yang ada di bank syariah—yang telah diajarkan dalam pelatihan sebelumnya.

Dengan demikian, maka pelatihan yang diselenggarakan oleh bank syariah berkaita dengan akad-akad yang didasarkan terhadap Fatwa DSN-MUI, bukan sekadar materi belaka. Akan materi yang langsung dipraktikkan di masing-masing bagian dari SDM yang bersangkutan.

Bila hal tersebut mampu dilakukan oleh bank syariah, maka akad-akad syariah sebagai ruh dari aktivitas bank syariah, akan mampu menghidupi aktivitas bisnis perbankan syariah yang bersangkutan. Sehingga keberadaan bank syariah memang benar-benar syariah, baik dari sisi zhahir dan lebih-lebih dari sisi batin.

Oleh: Hamli Syaifullah

Pengajar di Program Studi Manajemen Perbankan Syariah FAI-UMJ dan Mahasiswa Doktor Pengkajian Islam, Konsentrasi Perbankan dan Keuangan Syariah, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru