30.1 C
Jakarta

Adakah Khilafah dalam Al-Quran?, Berikut Penjelasannya

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anAdakah Khilafah dalam Al-Quran?, Berikut Penjelasannya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di dalam Al-Quran kita memang menemukan term khalifah (خليفة), bahkan dengan berbagai bentukannya. Namun kita tak sesekali menemukan kata Khilafah, barang satu ayat pun.

Asal kata dasarnya dari kha-la-fa (خلف), kemudian bisa dibentuk menjadi kata lain, misalnya  yastakhlif (يستخلف). Kita temukan beberapa, namun tidak ada satu pun yang terkait dengan khilafah dalam arti sistem suatu negara.

Istikhlaf (استخلاف) juga kita temukan di dalam hadits, namun tidak ada kaitannya juga dengan sistem kenegaraan. Makna istikhlaf disitu adalah tindakan seorang imam yang batal shalatnya, lalu dia menunjuk salah seorang makmum untuk menggantikan dirinya menjadi imam.

Sedangkan kata khilafah (خلافة), baik secara lafazh atau pun yang maknanya sebagai sistem pemerintahan atau bentuk negara, sama sekali tidak ada dan tidak disinggung dalam Al-Quran.

Bahkan kita juga tidak menemukan satu pun ayat Al-Quran yang secara eksplisit membicarakan tentang khilafah rasyidah sepeninggal Nabi SAW, seperti khilafah Abu Bakar, Umar, Ustman atau pun Ali. Menyinggung saja tidak pernah, apalagi mewajibkan atau menganjurkannya.

Pengasong Khilafah Sabotase Ayat al-Qur’an untuk Kuatkan Ideologinya

Namun buat orang awam yang tidak punya basic ilmu Al-Quran dan Tafsir, kadang ‘main paksa’ ayat dan ‘main plintir’ sering terjadi.  Apalagi yang bicara pakai atribut keustadzan yang sekilas nampak meyakinkan.

  1. Contoh Pertama : Fitnah

Contoh keterpelesetan yang paling sering terjadi dan selalu terulang-ulang adalah kekeliran dengan istilah fitnah (فتنة) dalam lafadz ayat (والفتنة أشد من القتل).

Kata ‘fitnah’ di ayat itu tidak diterjemahkan dan ditulis apa adanya sebagai fitnah. Anehnya kita orang Indonesia terlanjur mengartikan kata ‘fitnah’ dengan makna yang jauh dari makna aslinya, menjadi :  menuduh orang tanpa dasar.

Padahal kata fitnah yang muncul beberapa kali dalam Al-Quran memang punya banyak sekali makna, namun tak ada satu pun yang maknanya: menuduh orang tanpa dasar.

Maksudnya menuduh tanpa dasar itu memang terlarang, haram dan berdosa serta dilarang agama. Tapi dalam istilah arab menuduh itu tidak menggunakan istilah fitnah. Bisa istilah ‘tuhmah’ alias tuduhan atau bisa juga menggunakan istilah ‘qadzaf’ kalau kasusnya zina. Atau istilah lainnya, yang jelas bukan ‘fitnah’.

Rupanya sudah terjadi pergeseran makna yang amat jauh, dari makna kata itu dalam bahasa Arab dengan hasil naturalisasinya ke bahasa Indonesia.

Tapi kita sering saksikan banyak sekali para ustadz ceramah pakai ayat ini untuk melarang orang menuduh tanpa dasar. Dan itu selalu terulang.

  1. Contoh Kedua : Alim

Contoh lain lagi misalnya istilah alim. Dalam bahasa Arab, kata alim (عالم) maksudnya orang yang berpengetahuan, atau (عليم) artinya yang sangat pakar dalam suatu ilmu.  Allah SAW disebut juga al-alim (العليم) yang berarti Maha Mengetahui.

Namun ketika diserap ke bahasa Indonesia, makna ‘alim’ mengalami pergeseran makna amat jauh sekali. Coba perhatikan  ungkapan : ‘Jangan Sok Alim’. Sok alim disini tidak ada kaitannya dengan ilmu, tapi ‘alim’ disini dalam arti sok suci, sok taat, sok fanatik.

Seringkali orang yang tenang, anteng, cool, tidak pecicilan atau  pekekean digelari : anak alim. Dan ‘alim’ disini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ilmu.

  1. Contoh Ketiga : Mobil
BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

Di dalam Al-Quran surat Yusuf  kita menemukan kata unik sekali yaitu ‘as-sayyarah’ (السيارة). Tapi kalau pakai istilah bahasa Arab zaman modern ini, kata itu berarti : mobil.

Tentu jadi bodoh sekali kalau kita bilang bahwa Syariah Islam memerintahkan kita bikin pabrik mobil.

Why?

Pertama, sayyarah di atas itu maknanya jelas bukan mobil. Mobil baru ada di abad 20, sedangkan Al-Quran turun pertama kali tahun 610 Masehi.

Kedua, ayat itu tidak ada kaitannya dengan syariat Islam.  Karena ayat itu bicara kisah Nabi Yusuf yang dijebloskan ke dalam sumur dan diharapkan nanti ditemukan oleh musafir atau pedagang yang istirahat ketika melintasi padang pasir dan ambil air di sumur itu.

Baca saja surat Yusuf itu:

قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

Seorang diantara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat”. (QS. Yusuf : 10)

Ketiga, sama sekali tidak ada perintah dalam ayat itu. Isinya kisah masa lalu, pesannya moralnya banyak, tapi tidak ada satu pun yang terkait dengan harus jadi musafir, atau sumur, atau padang pasir.

Apalagi bikin pabrik mobil, lebih nggak nyambung lagi.

–oOo–

Balik lagi kepada kata khalifah di atas, meski dalam Al-Quran ada kata ‘khalifah’, namun jelas sekali bahwa istilah khlifah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan format atau sistem kenegaraan.

Kalau pun khalifah mau diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, ya boleh saja. Tapi khalifah itu -sekali lagi- sama sekali bukan nama sebuah sistem pemerintahan dan bukan istilah bentuk negara.

Jadi kalau misalnya Allah mengangkat manusia jadi khalifah dalam arti penguasa atau pemimpin suatu masyarakat atau bangsa, masih bisa dan masih mungkin.

Tapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan sistem pemerintahan atau bentuk tatanan sebuah negara. Bahkan juga tidak ada hubungannya dengan istilah dalam hadits nabawi : ‘khilafah ala manhajin nubuwah’.

Namun begitulah, seringkali saya ketemu orang yang main paksa, ngotot, nggak mau ngaku kalau tidak paham. Yang kuliah tafsir siapa, tapi yang sok jadi guru siapa. Cukup unik bukan?

Kalau saya tanya, ngomong-ngomong ente bisa menafsirkan model begitu, ada rujukannya di kitab tafsir yang mana?

Apa dia jawab? Oh tidak perlu tafsir, ayatnya sudah jelas. Tafsir itu bikinan manusia, sedangkan Al-Quran itu bikinan Allah. Mana yang lebih kita ikuti, tafsir manusia atau Allah SWT?

Yah, sudah lah, saya diam saya. Kalah?

Terserah situ sajalah. Mau ngaku menang juga boleh.

Saya hanya senyum kecut dalam hati. Model-model kayak gini saya menyebutnya : ilmu cocokologi, alias ilmu main paksa ayat Quran. Walau pun nggak nyambung, pokoknya dipaksa saja.

Toh yang dengerin juga sama-sama tidak paham apa-apa tentang Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Asal goblek aja tuh bibir, fanboy pasti mengamini.

Saya kok malah kasihan melihatnya. Awam kok sampai segitunya ya?

Ahmad Sarwat, Lc, MA

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru