26.1 C
Jakarta
Array

5700 KM Menuju Surga (Bagian XLVII)

Artikel Trending

5700 KM Menuju Surga (Bagian XLVII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

AKU TIDAK AKAN MENYERAH BIAR PUN AKU MATI DI PERBATASAN ARAB SAUDI

Malam itu petala langit begitu cerah dihiasi butiran-butiran bintang yang terlihat berserekan. Angin berhembus begitu lembut tatkala suara adzan maghrib berkumandang bertalu-talu. Semesta menutup siang untuk kemudian dipeluk oleh kegelapan malam.

Senad menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa kepada Allah SWT sebelum melakukan buka puasa terakhir selama dia berasa di perbatasan Arab Saudi. Diteguknya segelas air putih, yang selama ini menjadi menu sahur dan bukanya setiap hari. Begitu air itu mengaliri tenggorokannya dia merasakan seluruh tubuhnya merasakan titisan air yang mengaliri itu. Segar sekali rasanya.

Dari kejauhan sana, sayup-sayup suara takbir berkumandang begitu lembut seakan memenuhi petala langit dengan kesyahduannya. Namun entah kenapa setiap lengkingan suara takbir itu meninggalkan kesedihan yang menyayat di hati Senad. Berlebaran seorang diri, tanpa ada makanan yang bisa dinikmati, kue yang bisa dikunyah, bahkan tanpa segelas air teh sekali pun yang bisa ia teguk. Ia terpaksa harus menerima dengan ikhlas berleberan sendirian di tengah gurun pasir yang tandus itu dengan hanya berteman desir suara angin malam.

Ia terpekur sendiri sambil mulutnya bergerak-gerak mengikuti sayup-sayup suara takbir yang terdengar dari mikrofon-mikrofon masjid. Hatinya meluruh dibaluti kerinduan dan kesedihan,

“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,” gumannya pelan. Bibirnya bergetar ketika wajah orang-orang yang dicintainya berkelebatan di pelupuk mata. Tiba-tiba ia teringat perayaan Idul Fitri bersama ayahnya Mevda, ketika ia masih kecil dahulu. Ayahnya senantiasa mengajaknya ke masjid di malam Idul Fitri untuk sama-sama untuk mengumandangkan takbir sesudah ia dipakaikan pakaian-pakaian indah oleh sang ayah. Senad kecil waktu itu begitu antusias, bersama anak-anak kecil lainnya dia berbaur di masjid itu bertakbir dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan.

Usai mengumandangkan takbir bersama teman-temannya, ia pulang bersama ayahnya untuk kemudian disambut dengan pelukan dan ciuman oleh ibunya tercinta, Mevla sambil mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepadanya. Kenangan itu begitu melekat di relung hatinya. Indah. Indah sekali gumannya di dalam hati.

Kelebat wajah isterinya dan anak-anaknya makin membuat hati Senad rintik. Matanya mulai menghangat. Makin lama suara takbir itu berkumandang makin kuat kerinduannya kepada isteri dan anak-anaknya. Andai ia di rumah, tentu ia sedang mengumandangkan takbir bersama anak-anaknya di masjid yang tak begitu jauh darinya. Membagi-bagikan zakat fitrah dan berkumpul bersama keluarga tercintanya.  Senad tak kuasa membendung kerinduannya kepada anak dan isterinya, tiba-tiba air matanya meleleh ditingkahi suara isak memilukan bagi yang mendengarnya. Senad pun menangis sesenggukan di tengah kesepian, kondisi tidak menentu, rasa lapar, dan kondisi mengenaskan seumpama seorang tuna wisma.

Dalam ratapan tangisnya itu Senad berdoa kepada Allah,” Ya Allah aku tidak akan menyerah dengan kondisi ini biar pun aku harus mati di perbatasan Arab Saudi sampai aku bisa mendapatkan visa haji dari pemerintah Arab Saudi.” Ucapnya pelan.

Buliran-buliran air mata makin deras menetesi wajahnya ketika ia merasa semua orang diam dan tak ada satu pun yang menanyakan apakah dia lelah? Apakah Senad haus? Ia begitu kecewa dengan perhatian kedubes Bosnia di Arab Saudi yang ia nilai seakan tidak perduli dengan keberadaaan dirinya. Dia membeli bendera Bosnia dengan memakai uang yang seharusnya ia pakai untuk membeli makanan. Tapi kedubes Bosnia yang ada di Arab Saudi, sama sekali tidak berusaha membenatu menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.

Hatinya begitu miris, isak tangisnya makin kuat dan derai air mata makin deras membasahi pipinya, Senad berpikir Arab Saudi terlalu tega memperlakukannya seperti ini, menunggu tanpa ada kejelasan sedangkan Senad dalam keadaan berpuasa di tengah gurun pasir yang terik. Dan selama itu Arab Saudi tak pernah memberikan Senad walau segelas air pun untuk diminumnya.

Masyarakat Arab pun lebih suka duduk-duduk di mobil-mobilnya, menghabiskan waktu di resto-resto, di bawah bayangan pohon yang sejuk, di rumah-rumahnya, makan daging giling, dan mengirim pesan singkat yang bodoh kepada Senad, “Sampai manakah Senad?” ***

Ikuti penulis di:

Wattpad:birulaut_78

Instagram: mujahidin_nur

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru